Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum
Setiap tanggal 27 Rajab, biasanya di Indonesia kalender akan berwarna merah sebagai tanda hari itu merupakan hari libur nasional untuk memperingati satu hari yang penting. Pada kalender akan disebutkan bahwa hari itu diliburkan karena menghormati tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia mendapatkan pengetahuan yang hampir sama, yaitu bahwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Saw. terjadi pada tanggal itu. Biasanya akan muncul pertanyaan dari peneliti sejarah yang kritis, yaitu: apakah benar Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal tersebut?
Asal Usul Tanggal 27 Rajab sebagai Hari Isra’ Mi’raj
Mengenai pilihan 27 Rajab sebagai hari Isra’ dan Mi’raj menurut Al-Mubarakfuri dalam Al-Rahîq Al-Makhtûm salah satunya bersumber pada tulisan Al-Qadhi Muhammad Sulaiman Salman Al-Mansurfuri (1867-1930) yang berjudul Rahmatan lil ‘Âlamîn. Kami kemudian menelusuri keberadaan kitab tersebut dan menemukan bahwa penulisnya memang dengan sangat tegas, tanpa pilihan lain, menyebut tanggal ini sebagai tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj Nabi Saw.
Pada tanggal 27 dari bulan Rajab tahun ke-10 dari kenabian, Allah Swt. meng-isra’-kan Nabi Saw. dan memperlihatkan kepadanya kerajaan-kerajaan langit dan bumi. Mula-mula ia pergi dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis. Di sana beliau shalat bersama para Nabi sebagai imam; kemudian naik ke langit dan bertemu dengan para Nabi dengan para Nabi di tempat masing-masing, sampai akhirnya tiba di Sidratul Muntaha; kemudian beliau mendapatkan kemuliaan berjarak sangat dekat dengan Allah Swt.; kemudian beliau menerima wahyu-Nya sebagaimana yang diketahui. (Al-Mansurfuri, Rahmatan lil ‘Alamin, Dâr El-Salam Riyadh, 1418 H: hal. 64-65).
Sayang sekali Al-Mansurfuri tidak menyebutkan alasan mengapa pilihannya jatuh pada tanggal tersebut sambil tidak menyebutkan kemungkinan tanggal lain seolah-olah ia begitu yakin dengan pilihannya ini. Ia juga tidak menyebut kesimpulannya itu diambil dari pendapat siapa, sekalipun sangat mungkin ia mengambil tanggal ini dari pendapat Imam Al-Nawawi dalam Al-Raudhah dan Al-Mawardi. Imam Al-Suyuthi (1455-1509 M) mencatat pendapat kedua ulama tersebut dalam kitabnya Al-Âyah Al-Kubrâ fi Syarh Al-Isrâ’ wa Al-Mi’râj (Dar El-Hadis Kairo, 2002: 23).
Al-Mubarakfuri sendiri memberikan catatan mengenai pilihan Al-Mansurfuri ini. Ia katakan bahwa tidak mungkin peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10 dari Kenabian. Ada dua alasan yang diajukannya. Pertama, Khadijah meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 Kenabian; beliau wafat sebelum turunnya perintah Shalat Lima Waktu. Kedua, semua ulama dan ahli sejarah sepakat bahwa kewajiban Shalat Lima Waktu diturunkan pada saat Isra’ dan Miraj. Oleh sebab dua alasan tersebut, tidak mungkin Isra’ dan Mi’raj terjadi sebelum meninggalnya Khadijah. (Al-Mubarakfuri,Al-Rahîq Al-Makhtûm, Dar Ihya’ Al-Turâts, 1976: 124).
Waktu Isra’ dan Mi’raj yang Benar
Selain karena alasan yang diungkapkan Al-Mubarakfuri di atas, ketidaktepatan memastikan tanggal 27 Rajab sebagai hari Isra dan Mi’raj juga disebabkan alasan lain yang lebih mendasar lagi, yaitu ketiadaan sumber yang pasti mengenai tanggal peristiwa ini. Tidak ada satupun hadis shahih yang menjelaskan secara sharîh (jelas dan terang) tentang kapan waktu peristiwa penting yang di dalamnya ada penetapan shalat lima waktu ini terjadi. Oleh sebab itu, semua penentuan waktunya bersifat spekulatif.
Karena ketidakjelasan tersebut, maka tidak mengherankan ada banyak pendapat mengenai kapan terjadinya peristiwa ini. Imam Al-Suyuthi telah mencatat pendapat-pendapat para ulama dan sejarawan tentang perbedaan-perbedaan perdapat dalam masalah ini di kalangan para ulama. Berikut ulasan dari Al-Suyuthi.
“Ada yang mengatakan peristiwa ini terjadi sebelum kenabian, namun ini pendapat yang syâdz (ganjil). Mungkin yang berpendapat semacam ini berpegang pada hadis Al-Thabrani di atas yang menjelaskan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum kelahiran Fatimah. Ia memang dilahirkan sekitar tujuh tahun sebelum kenabian. Akan tetapi hadisnya sangat lemah. Sementara pendapat mayoritas adalah setelah kenabian, namun mereka berbeda-beda mengenai waktu pastinya.
Ada yang berpendapat setahun sebelum Hijrah (ke Madinah). Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud yang juga dipegang oleh Imam Al-Nawawi. Ada juga yang berpendapat delapan bulan sebelum Hijrah sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Al-Jauzi. Abu Rabi’ bin Salim berpendapat enam bulan sebelum Hijrah. Ibrahim Al-Harabi yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Munir berkesimpulan sebelas bulan sebelum Hijrah. Ibnu Faris mengatakan lima belas bulan sebelum Hijrah. Al-Sudi berpendapat tujuh belas bulan sebelum Hijrah. Ibnu Abdil Barr berkesimpulan delapan belas bulan sebelum Hijrah. Ada juga yang mengatakan dua puluh bulan sebelum Hijrah. Ibnu Al-Atsir berpendapat tiga tahun sebelum Hijrah.
Al-Zuhri mengatakan lima tahun sebelum Hijrah. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan alasan Khodijah sempat shalat bersama Nabi Saw. Khodijah sendiri wafat tiga atau lima tahun sebelum Hijrah, sementara tidak ada perbedaan pendapat bahwa kewajiban shalat ditetapkan pada malam Isra’. Pendapat ini dibantah bahwa shalat yang dilakukan khodijah adalah sholat yang ditetapkan pada awal kenabian, yaitu shalat dua rakaat pagi dan sore. Ada juga yang berpendapat lima tahun setelah kenabian; lima belas bulan setelah kenabian; dan satu setengah tahun setelah kenabian.
Adapun mengenai bulan terjadinya, Ibnu Munir berpendapat bulan Rabi’ul Akhir yang juga dipilih oleh Imam Al-Nawawi dalam Syarh Shahih Al-Muslim. Namun, dalam Al-Fatawâ Al-Nawawi menetapkan bulan Rabi’ul Awwal. Dikatakan dalam Al-Raudhah terjadi pada bulan Rajab. Al-Waqidi berpendapat bulan Ramadhan. Al-Mawardi mengatakan bulan Syawwal, tetapi yang masyhur ia mengatakan Rajab. Ibnu Sa’ad malah menetapkan tanggalnya, yaitu 17 Ramadhan. Ibnu Munir juga Al-Harabi mengatakan tanggal 27 Rabi’ul Akhir.” (Al-Âyah Al-Kubrâ fi Syarh Al-Isrâ’ wa Al-Mi’râj; Dar El-Hadis Kairo, 2002: 23).
Kalau kita memperhatikan penjelasan Imam Al-Suyûthi di atas, maka sebetulnya tidak ada satu pun sejarawan atau siapa saja yang dapat mengetahui secara pasti kapan peristiwa ini terjadi. Menetapkan tanggal 27 Rajab sebagai hari Isra’ dan Mi’raj adalah sebuah kecerobohan yang fatal; apalagi kalau dibarengi dengan keyakinan. Bahkan, dalam rekaman Al-Suyuthi, ia tidak menemukan satu ulama pun sebelum zamannya yang menetapkan tanggal tersebut. Pendapat itu rupanya baru ada pada abad ke-19 dalam kitabnya Al-Mansurfuri, penulis India yang sezaman dengan Sir Muhammad Iqbal. Ketidakjelasan ini jelas merupakan kesengajaan yang dibuat Allah Swt. Seandainya penting bagi umat Islam untuk mengetahuinya secara pasti, maka pasti Allah Swt. dan Rasul-Nya tidak akan membiarkan masalah ini menjadi samar. Adalah juga penting agar di negeri ini umat tidak dibodohi dengan penetapan tanggal merah setiap tanggal 27 Rajab. Wallâhu A’lam.
BACA JUGA:Ngahirup-huripkeun Deui Budaya Tatanen Urang Sunda