Sesat Nalar Pemerintah

oleh Reporter

10 Januari 2017 | 17:43

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, sesat diartikan tidak melalui jalan yang benar, berbuat yang tidak senonoh; menyimpang dari kebenaran, salah pendirian (pendapat) dan bingung. Jika dikaitkan dengan nalar atau akal, diartikan dengan gila. Ya, pemerintah bisa dikatakan gila dan telah menyimpang dari jalan kebenaran dalam mengambil kebijakan. Mulai dari menaikkan harga BBM non subsidi Pertamax-Dexlite Cs, menaikkan tarif baru penerbitan STNK dan BPKB untuk motor (berkisar 100-181%) dan mobil (berkisar 233-300%) hingga mencabut secara bertahap subsidi listrik untuk pelanggan rumah tangga 900volt ampere. Tiga kebijakan tersebut yang secara hamper bersamaan ditetapkan awal tahun 2017 menjadi kado ‘terindah’ untuk rakyat Indonesia. Dlam menaikan harga BBM non subisidi, pemerintah diduga telah melanggar aturan. Ya, kenaikan tersebut ditetapkan melalui surat keputusan Direktur Pemasaran PT Pertamina No. Kpts-002/F00000/2017-S3 dan 003/F00000/2017-S3. Padahal, sebagaimana dalam Perpres No 191 tahun 2014 pasal 4 harga dasar dan harga eceran BBM (meliputi BBM Tertentu, BBM Khusus Penugasan dan BBM umum/non subsidi) ditetapkan oleh menteri ESDM. Tidak hanya itu, kebijakan pemerintah yang hendak menyesuaikan dan mengevaluasi harga BBM kepada  mekanisme pasar bertentangan dengan UUD 45 sesuai dengan keputusan MK no perkara 002/PUU-I/2003. Dalam hal ini, tentu saja pemerintah telah sesat nalar, mengeluarkan sebuah kebijakan yang bertentangan dengan aturan yang ada. Itu dalam kasus menaikan harga BBM. Dalam hal menaikan biaya pengurusan kendaraan bermotor. Kebijakan tersebut dinilai sangat memberatkan masyarakat. Ditambah belum bisa dipastikannya penggunaan dari hasil kebijakan itu. Apakah untuk pembangunan khusus transportasi umum, atau justru diperuntukan untuk pembangunan secara umum. Apalagi bila melihat pernyataan terbaru dari menteri keuangan, Sri Mulyani, bahwa Negara akan kembali berutang untuk membayar bunga utang (detik.com). Jangan-jangan, kenaikan biaya pengurusan kendaraan itu salah satunya diperuntukkan untuk menambal utang pemerintah. Semoga saja tidak!!! Walaupun misalnya, seperti dikatakan oleh KSP, Teten Masduki, tidak ada kenaikan tarif pajak pengurusan STNK. Yang dinaikkan adalah biaya administrasi pengurusan STNK dan BPKB. Kenaikan tersebut tetap saja akan memberatkan rakyat. Sebab, yang menjadi pokok persoalannya adalah kenaikan tarif yang muaranya membebani rakyat. Pun demikian dengan pencabutan subsidi listrik 900 volt ampere. Sebab, tidak sedikit juga yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang sudah menjadi pelanggan listrik 900volt. Dari 22.9 juta rumah tangga pengguna listrik tersebut, klaim pemerintah sebagian besarnya adalah yang tidak berhak mendapatkan subsidi listrik tersebut. Namun demikian, bila pemerintah pola piker kebijakannya seperti itu, maka pemerintah secara tidak langsung sebenarnya telah menggiring ‘pemiskinan relativ’ dan ‘pemiskinan bertahap’ kepada masyarakat yang secara langsung terdampak dari kebijakan itu, pemerintah nampaknya sudah kebingungan dan logika salah. Padahal, langkah dan kebijakan yang rasional dan riil sebenarnya, apabila alasaannya benar-benar karena banyaknya pengguna listrik 900volt yang tidak berhak, mengapa tidak dilakukan konversi massal pelanggan 900volt ke 1300volt atau 2200volt saja? Pemerintah menerapkan logika 'buruk rupa, cermin yang dipecah' , atau merubah bentuk kaki ketimbang merubah sandal apabila terjadi ketidaksesuaian antara realitas dengan idealitas. Logika atau sesat nalar inilah yang sekarang menghinggapi pemerintah. Apakah pemerintah benar-benar sedang menerapkan kebijakan tersebut karena berbagai alasan yang diungkapkan selama ini, atau justru pemerintah memang sedang dalam kondisi sakit parah dalam keuangan Negara, sehingga kemudian mengeluarkan kebijakan yang semakin membebani rakyat? Pemerintah sebaiknya jujur tentang hal ini, jangan sampai berbagai alasan-alasan kebijakan itu sebenanrnya hanya untuk menambal keuangan Negara yang saat ini dalam keadaan darurat. ‘Sakitnya’ Keuangan Negara 2017? Hasil riset JP. Morgan yang berujung pada penurunan level investasi dari overweight menjadi underweight, yang membuat pemerintah ‘kebakaran jenggot’ karena dianggap akan membuat keuangan Negara tidak stabil, adalah erly warning bagi pemerintah. Ada atau tidaknya hasil riset tersebut, sebenarnya keuangan Negara saat ini memang sedang dalam keadaan tidak stabil. Bahkan, sejak awal diangkatnya sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani telah menyampaikannya. Karenanya, terjadi pemangkasan anggran besar-besaran hingga akhir tahun kemarin. Kondisi keuangan Negara tahun 2016 mengalami deficit 307,7 triliun. Namun, kondisi tersebut masih bisa dikatakan terbilang aman, sebab telah lolos dari batas 3% sesuai amanat UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 12 ayat (3). Defisit tahun 2016 mencapai 2,46% dari Produk Domestik Bruto. Keuangan Negara pada tahun 2016 bisa diselamatkan dengan adanya program tax amnesti pajak. Jika penerimaan pajak tanpa dana penebusan dari Tax Amnesty defisit anggaran akan mencapai Rp 414,7 triliun atau mencapai 3,3% dari PDB atau melebihi batas 3% sesuai Undang-undang. Adanya Tax Amnesty yaitu sampai periode 2 (31 Desember 2016) yang mencapai Rp 107 triliun membantu pemerintah terhindar dari keterpurukan atau menyalahi undang-undang. Artinya secara politik para konglomerat (Wajib Pajak Besar) telah menyelamatkan keuangan rezim Jokowi. Bagaimana dengan keuangan Negara, dalam hal ini APBN tahun 2017? Seperti diutarakan sendiri oleh menteri keuangan, Sri Mulyani, RAPBN 2017 akan ada defisit Rp.332,8 triliun atau 2,41 dari PDB. Dari defisit itu 67% adalah untuk membayar bunga utang. Dari manakah deficit tersebut akan ditambal oleh pemerintah? Bagaimana pemerintah menyelamatkan anggaran 2017? Pada RAPBN 2017 keseimbangan primer (total penerimaan dikurangi belanja negara tanpa pembayaran hutang) masih negatif Rp 111,4 triliun. Dengan kondisi anggaran seperti itu belanja negara tahun-tahun sebelumnya belum mampu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau penerimaan negara yang seharusnya. Keseimbangan primer yang sehat apabila sebelum memperhitungkan pembayaran bunga utang akan mendapatkan surplus, bukan defisit. Jika APBN 2016 masih bisa ditolong dengan Tax Amnesty, bagaimana dengan RAPBN 2017? Sampai kapan TA akan berlanjut? Apakah jika dilanjutkan sepanjang tahun 2017 tetap akan menambah penerimaan negara secara signifikan? Padahal, seperti diurai Gde Siriana (Soekarno Institute For Leadership), capaian TA periode 2 (Oktober - Desember 2016) rendah karena WP besar sudah mengikuti TA di periode 1. Oleh karenanya pada periode 3 nanti, fokus TA lebih menyasar pada UMKM dan profesi. Atas dasar itu, kita patut mempertanyakan, jangan-jangan berbagai kebijakan menaikan BBM dan pengurusan biaya kendaraan bermotor memang untuk menutupi defisit RAPBN 2017? Ini bukan ujaran kebencian atau hoax, namun lebih pada hak warga Negara dalam menyuarakan pendapat sekaligus sebagai civil society yang memerankan fungsi dan perannya sebagai social control terhadap keberlangsungan jalannya pemerintah saat ini. Perlu mendapat perhatian publik bahwa persoalan anggaran negara bukan pada defisit yang aman, tetapi seharusnya Pemerintah mengupayakan anggaran yang aman. Sehingga, pemerintah tidak membebani rakyat dengan program-program ambisiusnya. Seluruh program pemerintah harus bertujuan untuk sebenar-benarnya memakmurkan rakyat, bukan hanya untuk ambisi melanggengkan kekuasaannya semata. Logika Terbalik Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa. Mulai dari wilayah daratan, lautan hingga udarnya. Daratan Indonesia dikenal memiliki kandungan batu bara, emas, tembaga, timah, nikel, minyak bumi yang sangat besar. Sementara lautannya terhampar luas dengan cadangan minyak bumi yang luar biasa besar juga (blok masela dan Pulau natuna), berbagai jenis ikan yang banyak dan bergizi, permata dan masih banyak lagi. Belum lagi jalur laut Indonesia adalah wilayah yang sangat strategis. Faktor inilah yang menjadi penyebab utama nusantara menjadi objek penjajahan di zaman dulu. Dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda (1602-1942), Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1692), Perancis (1806-1811) dan Jepang (1942-1945), karena begitu besar potensi kekayaan alam nusantara. Dalam konteks itulah kita bisa mafhum mengapa para founding father negara indonesia merumuskan dasar negara dalam kerangka konstitusi dengan sangat luar biasa. Rumusan tujuan dan cita-cita negara begitu sangat ketat. Semuanya diformulasikan dengan filosofi yang jelas dan tegas untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD45), tercantum cita-cita, yaitu Merdeka, Bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sementara Tujuan Bangsa Indonesia dirumuskan untuk Membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum/bersama, Mencerdaskan kehidupan bangsa, Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial. Tujuan dan cita-cita bangsa tersebut harus menjadi dasar pemerintah dalam mengelola dan mengemban amanah. Kerap kali pemerintah mengemukakan alasan demi rakyat dan untuk rakyat dalam berbagai kebijakannya. Namun, ketika ada kebijakan yang dianggap membebani rakyat, tidak jarang pemerintah mengemukakan alasan ‘rakyat jangan dimanja’, ‘rakyat harus bisa bersaing’ dan sebagainya. Seakan Negara ini menerapkan kapitalisme liberal, yang membiarkan rakyatnya berjuang sendiri, berjibaku sendiri dan bertarung dengan prinsip yang kuat akan semakin kuat, yang lemah akan semakin lemah. Logika ‘rakyat jangan dimanja’, ‘rakyat harus bisa bersaing’ adalah logika salah karena bertentangan dengan dasar Negara kita. Undang-undang dasar (UUD45) dengan sangat tegas mewajibkan Negara hadir untuk rakyat. Negara harus melindungi segenap tumpah darah seluruh bangsa. Itulah tujuan Negara kita yang telah dirumuskan secara visioner oleh para founding father bangsa ini. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya berjibaku dan berjuang sendiri. Seluruh kekayaan alam diperuntukan untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat dan menciptakan keadilan social secara merata. Adalah ironis, aneh bin ajaib yang terjadi dewasa ini. Logikanya menjadi terbalik. Pemerintah sejatinya yang diberikan mandate untuk mengelola dan menguasai Negara sesuai dengan amanat konstitusi, berada pada out the track, kaki di kepala, kepala di kaki. Rakyat yang seharusnya diberikan keadilan social, dilindungi segenap tumpah darahnya, justru ‘dipaksa’ menjadi sapi perah pemerintah. Pemerintah bukannya memberikan problem solving terhadap apa yang dihadapi rakyatnya tapi malah menjadi problem konflik bagi rakyatnya. Pemerintah yang seharusnya meringankan beban rakyat, mensejahtrakan rakyat, namun yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat dipaksa untuk meringankan beban pemerintah. Rakyat dipaksa untuk menambal ambisi pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya, bukan dalam rangka memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. Bukan rahasia lagi apabila logika terbalik ini begitu kasat mata terlihat. Penggemplang pajak dimanja dengan Tax Amnseti (pengampunan), masyarakat kecil justru  diberikan beban lebih membayar pajak. Apabila berbagai kebijakan menaikan tariff itu adalah untuk mengamankan anggaran pemerintah, terlebih 67% nya adalah untuk membayar bunga utang, pemerintah telah benar-benar mendzalimi rakyat. Pemerintah membuka peluang pekerja asing, bahkan hingga pekerja buruh kasarnya untuk bekerja di Indonesia bersamaan dengan masih banyak warganya yang menganggur. Pemerintah berencana dan berkeinginan perusahaan milik Negara (BUMN) dipimpin oleh ‘bule’, padahal masih banyak warga negaranya yang mumpuni sesuai bidangnya. Negara seakan menjadi asing bagi warganya. Memberikan berbagai kemudahan kepada orang luar, namun menafikan warganya sendiri. Membiarkan warganya berjibaku untuk bersaing dengan pihak luar tanpa membekalinya dengan skil dan kualitas tinggi. Apabila ini terus terjadi, pemerintah benar-benar telah jauh dari cita-cita dan tujuan bangsa yang telah diwariskan dengan tumpah darah para pahlawan dan pejuang bangsa ini. Sebagai pengingat untuk kita semua, Bung Hatta pernah mengatakan: ‘lebih baik Indonesia Tenggelam ke Dasar lautan daripada jadi embel-embel bangsa lain (Jongos Asing dan Aseng)’.   *** Oleh: Nizar A. Saputra, ketua umum PP Hima Persis
Reporter: Reporter Editor: admin