Memang jika kita melihat perjalanan kemerdekaan bangsa kita Indonesia sampai saat ini, realitanya masih menyisakan luka serta air mata dengan gelagat para pejabat dan juga generasi mudanya.
Dan tentu hal ini juga jika ditelaah, tidak luput dari tantangan zaman yang kian kompleks. Keadaan kondisi dunia yang tidak stabil, dampak dari konflik global seperti perang dagang antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China memberikan dampak yang kompleks terhadap Indonesia.
Dampaknya bisa positif, namun juga bisa negatif, terutama pada sektor ekspor, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi. Ditambah konflik perang konvensional antar negara barat dan konflik perang negara-negara di asia barat daya (timur tengah) hal ini memungkinkan merambat ke negara-negara G-20, salah satunya adalah Indonesia sebagai poros negara non-Blok. Ditambah ketidakstabilan yang melanda negara-negara di kawasan ASEAN.
Ditambah masifnya media informasi atau yang kita kenal dengan era disrupsi yang menyebabkan disinformasi dan kesalapahaman (post-truth). Sehingga ada kemungkinan pengaruh buda bangsa asing dapat bisa mempengaruhi wajah berpikir generasi hari ini. Hal ini tentu pernah diutarakan oleh seorang pakar Ekonom Indonesia, Prof. Ichsanuddin Noorsy.
Sebagi perbandingan juga renungan, mengutip perkataan Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam pengantar buku “Kita Belum Merdeka” yang di tulis oleh Ichsanuddin Noorsy dalam tulisan pengantarnya, ia menyampaikan bahwa saat ini ada dua kelompok utama elit Indonesia.
Kelompoik elite pertama adalah para nasionalis, para patriot kemerdekaan nasional yang ingin tetap mempertahankan kemerdekaan, di mana mereka senantiasa memelihara sekukuhnya “national sovereignty and territorial integrity Indonesia” artinya kedaulatan nasional dan integritas wilayah Indonesia, mereka yang senantiasa peka menolak kembalinya penjajahan model baru dalam bentuk apa pun”. Semboyan kelompok ini sekali merdeka tetap merdeka.
Sedangkan kelompok elite kedua adalah mereka yang menyukai kembalinya penjajahan, tidak sedikit di antara mereka berada dalam pemerintahan atau dekat dengan kekuasaan. Semboyan kelompok ini “nasionalisme itu kuno”, sambil menepuk dada mengagumi buku-buku fiksi baru dan dengan absurd-nya bilang “This is the end of nation state, the world is borderless and there is no more free lunch” artinya ini adalah akhir dari negara bangsa, dunia tanpa batas dan tidak ada lagi makan siang gratis.
Mungkin, kita generasi saat ini bukanlah kelompok elit pertama apalagi kelompok elit kedua seperti yang dijelaskan di atas. Melainkan anak generasi saat ini adalah bagian dari pewaris perjuangan yang belum tuntas, mengutip kata Tan Mala “Merdeka 100%” yang jika dikontekstualisasikan dengan kondisi hari ini seminimal anak generasi saat ini bisa mempertahankan ide nasionalisme kebangsaan (nasionalisme civic) yang murni dan utuh. Dengan menegakan kepala tampah pamrih, tidak terombang ambing dengan pantangan zaman, tidak lumpuh jiwa patriotisme dalam benaknya. Berdiri kokoh menegak hormat kepada warisan perjuangan para pendahulu. Merah-Putih, Burung Garuda terpatri sebagai simbol dan lambang negara yang tetap berdiri tunggal tidak terduakan di atas tanah langit bumi Indonesia.
Jangan sampai hawa nafsu menjadikan kita orang yang mengutamakan rasa marah dan kebencian terhadap pihak atau rezim penguasah sehingga kritik yang hadir mendistorsi makna 17 Agustus itu sendiri. Meski diketahui pemaknaan dari kisah film One Piece tersebut meliki kisah perjuangan dan perlawanan, apakah kita menginginkan tatanan dunia baru tanpa ada sistem Pemerintah Indonesia?
Cerita fiksi yang mendalam dan penuh makna ini lantas kemudian mendorong pengibaran simbol asing oleh beberapa kalangan masyarakat, kemudian dengan makna cerita yang dikait-kaitkan yang katanya memiliki kesamaan dengan situasi kebangsaan saat ini, sehingga pencocokologian dengan momentum sakral dari fakta perjalanan sebuah bangsa yang seyogianya itu lahir dari realitas sejara Nasionalisme civic-nya sendiri. Menjadi pertanyaannya kemudian, apakah perangkat lunak dari sebuah budaya asing (anime) telah merongrong mempengaruhi cara pandang generasi saat ini? Bisa salah.
Meski tujuanya adalah untuk mengkritik penguasa. Namun, yang perlu kita ingat bahwa sejarah bangsa ini terlahir jauh lebih besar dan penuh berdarah-darah dan air mata, jangan sampai kekecewaan terhadap pemerintah lantas simbol lain disandingkan dengan simbol sebuah bangsa berdaulat, lagi-lagi meski makna dan tujuan itu baik untuk mengkritik penguasa. Sebab menjadi kontroversial adalah di mana pengibaran ini datang di momentum sakral yaitu hari perjuangan kemerdekaan yang mestinya menjadi hari perenungan yang mendalam atau sebuah refleksi terhadap perjalanan bangsa ini yang akan memasuki satu abad (80 thn).
Tulisan singkat ini, bukan berarti penulis berpandangan kontra terhadap bentuk kritik terhadap penguasa yang bebal dan korup. Kritik terhadap penguasah korup harus tetap hadir. Sebab saya meyakini hal demikian sebagai bentuk cinta serta peduli terhadap tanah air Indonesia.
Namun di sisi lain, jika kita hendak terus beranggapan mutlak bahwa semua pemerintah atau pejabat negara, atau orang-orang yang dekat dengan pemerintah atau penguasah harus kita anggap pencela keadilan atau perusak jalanya kemerdekaan. Lantas haruskah negara ini kita bangung tanpa adanya instrumen pemerintahan. Sehingga semua orang punya hak untuk bisa mengatur negara Indonesia dengan sesuka-suka yang diinginkan, hingga keadilan dan kesejahteraan itu tercapai 100%.
"Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka." Ini menekankan pentingnya kepercayaan diri dan kemandirian bagi suatu bangsa untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak lain (Budaya lain). Bung Karno (Penyambung lidah rakyat Indonesia).
BACA JUGA:Hima PERSIS Jakarta Dukung Youth Expo: Peluang Cuan dan Edukasi Investasi bagi Mahasiswa