Kepemilikan Tanah dalam Islam dan Konflik Rempang: Kritik terhadap Ketidakadilan Agraria

oleh Redaksi

07 April 2025 | 09:25

Prof. H. Atip Latipulhayat, Ph.D

Oleh: Prof. Atip Latipulhayat, SH,. LLM.


Pengaturan mengenai kepemilikan tanah dalam Islam dikenal dengan istilah “ahkam-al-aradli” (Hukum Pertanahan). Para fuqoha kemudian meletakkan bahasan mengenai kepemilikan tanah itu dalam konteks pengelolaan aset oleh negara (al-amwal). Untuk menyebut beberapa contoh. Misalnya, Imam Abu Yusuf dalam “al-Kharaj”. Imam Abu Bait dalam “al-Amwal”. Bahkan Imam al-Mawardi juga membahasnya dalam “al-Ahkam al-Sulthaniyyah”. Ulama kontemporer semisal Abdul Qadim Zalum membahasnya dalam “al-Amwal fi Daulah al-Khilafah”. Atif Abu Zaid Sulaiman Aly dalam Ihya al-Aradli al-Mawat fi al-Islam”. 


Secara filosofis, dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di semesta termasuk juga tanah adalah milik Alloh Swt. Manusia adalah Khalifatullah yang diberi amanah untuk mengelola semesta, termasuk tanah. Islam tidak mengenal kepemilikan tanah seperti kapitalisme yang memberikan hak kepemilikan individu tanpa batas. Demikian pula tidak sama dengan sosialisme yang bertumpu pada sentralisasi kepemilikan negara. Islam mengakui hak milik individu juga mengakui hak milik sosial. Dengan perkataan lain hak kepemilikan tanah dalam Islam terdiri dari tiga bentuk yaitu; kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.


Paling tidak ada 4 bentuk kepemilikan tanah dalam Islam yaitu, hak membeli dan menjual tanah. Hak berkehendak, artinya pemilik tanah berhak untuk memberikan kepada siapapun yang dikehendakinya. Hak untuk menyerahkan tanah kepada badan Amanah. Hak untuk memberikan tanah kepada seseorang untuk menggunakannya.


Pengaruh hukum Islam dalam kepemilikan tanah tertanam sangat kuat di masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dilihat misalnya dari tradisi hukum yang pernah berlaku di Nusantara. Pertama adalah tradisi hukum “Chtonic” (bumi/tanah). Di Indonesia tradisi hukum ini dikenal dengan istilah hukum adat, yaitu sistem hukum masyarakat yang kehidupannya berbasis dan sangat bergantung kepada kepemilikan tanah secara komunal (tanah adat). Kedua adalah tradisi hukum Islam. Ketiga adalah tradisi hukum Barat. Ketiga tradisi hukum inilah yang kemudian membentuk sistem hukum Indonesia saat ini. 


Fakta mayoritas penduduk Indonesia, dahulu Nusantara adalah Islam, maka sesuatu yang dapat diterima apabila hukum adat di Nusantara identik atau diidentikkan dengan hukum Islam. Dalam konteks ini, dapat dipahami pula apabila sistem kepemilikan tanah dalam hukum adat yang bersifat komunal yang dikenal dengan istilah tanah adat juga terpengaruh oleh sistem kepemilikan tanah dalam Islam yang tidak memutlakkan kepemilikan individu dan juga tidak mengabsolutkan kepemilikan negara seperti sosialisme.


Kasus penggusuran tanah milik masyarakat Pulau Rempang di Provinsi Kepulauan Riau memperlihatkan dengan jelas pelanggaran terhadap hak kepemilikan masyarakat atas tanah yang didudukinya. Pelanggaran tersebut bukan hanya terhadap sistem kepemilikan tanah dalam Islam, tapi juga menurut ketentuan hukum positif. Masyarakat Pulau Rempang adalah masyarakat melayu yang telah mendiami wilayah tersebut ratusan tahun. Tanah yang diduduki dan dikelolanya merupakan tanah adat yang diwariskan secara turun temurun. Mereka sudah berada di wilayah tersebut jauh sebelum Indonesia ada dan berdiri sebagai sebuah negara. 


Masyarakat Pulau Rempang telah menyatu dengan tanah yang didiaminya ratusan tahun. Kehidupan mereka bertumpu kepada eksistensi tanah yang didudukinya. Oleh karena itu eksistensi masyarakat adat itu sangat tergantung kepada ada atau tidaknya tanah yang menjadi tempat mereka hidup dan menata hidupnya. Atas dasar ini di Indonesia dikenal istilah “tanah adat” atau “tanah ulayat”. Tanah yang tidak dimiliki secara individual, tapi secara komunal. Tanah yang pengelolaan dan pemanfaatannya untuk kepentingan bersama. Tanah adat tidak boleh diperjualbelikan, karena itu bukan milik perseorangan. 


Penggusuran masyarakat Pulau Rempang dalam tingkat tertentu dapat dimaknai sebagai upaya sistematis untuk menghilangkan eksistensi masyarakat adat. Keberadaan mereka sama sekali tidak merugikan atau menghambat pembangunan di wilayah Rempang. Pembangunan yang baik bukan menggusur pemilik sah atas tanahnya, melainkan “menggeser” mereka dan ditempatkan diwilayah yang tidak menjadikan mereka terasing dari habitat dan kebiasaannya. Mereka harus menjadi bagian dari pembangunan wilayah tersebut, bukan menjadi korban.


Sungguh merupakan hal yang ironis dan paradoks, sementara hukum adat sudah mendapat tempat yang layak dalam sistem hukum Indonesia misalnya dalam KUHPidana yang baru. Namun, di lain pihak justru masyarakat adat dan tanahnya yang menjadi sumber sekaligus simbol eksistensinya digusur dengan cara yang melanggar hukum. 


Dengan memperhatikan sistem kepemilikan tanah dalam Islam yang tidak memutlakkan kepemilikan pribadi seperti kapitalisme atau mengabsolutkan kepemilikan publik/negara seperti sosialisme, kasus penggusuran tanah milik masyarakat Pulau Rempang tidak akan terjadi. Islam mengakui dan menghargai hak kepemilikan individu atas tanah, namun juga memprioritaskan kepemilikan dan pengelolaan tanah untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak. 


BACA JUGA:

Konstruksi Hukum Fikih Batas Usia dan Dispensasi Nikah

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon