ETIKA BISNIS DALAM ISLAM (PART 03)

oleh Redaksi

22 Juli 2025 | 08:10

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM (PART 03)

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

Oleh: A. Zakaria

(PART 03)


Peringatan bagi Orang yang Tidak Mau Berusaha


Setiap manusia dituntut untuk berusaha dan kerja keras untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Tetapi kadang-kadang ada yang malas untuk berusaha bahkan justru istrinya yang kerja keras untuk mencari kebutuhan keluarganya. Istrinya tidak kenal lelah untuk mencari nafkah, iapun harus mengurus rumahnya, anak-anaknya, sementara suaminya santai-santai saja seperti tidak punya beban keluarga. Sifat seperti ini sangat dibenci oleh agama, sebagai-mana sabda Nabi SAW:


كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ. -رواه النسائى-


Cukup (besar) dosa seseorang yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungjawabnya.” (H.R. al-Nasai)


Hadits tersebut menggugah kita untuk berusaha dan kerja keras untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Nabi SAW bersabda;


لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حَزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيْهِ أَوْ يَمْنَعُهُ. -متفق عليه-


Sungguh seseorang memikul kayu bakar di pundak-nya lebih baik baginya daripada meminta-minta, apakah ia diberi atau tidak.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)


Nabi Dawud saja seorang nabi tidak makan kecuali dari hasil tangannya sendiri. Demikian juga nabi Zakaria, terkenal sebagai seorang tukang kayu untuk menghidupi keluarganya.


Andai Jatuh Bangun Dalam Berusaha


Banyak orang atau pengusaha yang jatuh bangun terus dalam usahanya, dicoba usaha ini salah, usaha yang lain salah, gagal dan gagal terus. Maka bagi seorang muslim tidak perlu berputus asa, kerja keraslah sambil bertawakkal kepada Allah dan mengevaluasi diri, dimana letak kesalahannya dan berdo’a kepada Allah.


Dalam suatu hadits dinyatakan: “Jika merasa gagal dengan qadar yang ia terima, cari lagi qadar yang lain.” Barangkali perlu proses yang panjang yang harus dijalani dengan tekun, tabah dan akhirnya berhasil juga. Banyak pengusaha yang sudah bangkrut dan dililit hutang akhirnya bangkit kembali dan mendapatkan jalan keluar yang cerah dan menggembirakan.


Di samping itu dalam hadits diungkapkan;


إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ ذُنُوْبًا لاَ يُكَفِّرُهَا إِلاَّ الْهَمُّ فِي طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ.


Banyak dosa di antara dosa yang tidak bisa dikifarati kecuali dengan sulit dalam mencari kehidupan.”


Berarti bagi seorang muslim harus tetap optimis karena dalam kesulitan itu pun ada hikmah yang besar, yaitu pengampunan dosa dan itupun merupakan suatu keuntungan bagi dirinya. Disamping itu juga Allah SWT menjanjikan;


إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا. (الشرح: 6)


Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemuda-han.” (Q.S. al-Syarh: [94] 6)


Nabi SAW juga bersabda;


مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حَزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ. -رواه البخاري ومسلم-


Tidak menimpa seorang muslim baik itu rasa lelah, penyakit menahun, bingung, sedih, gangguan dan kesulitan bahkan duri yang menusuknya kecuali Allah akan menjadikan kifarat terhadap dosa dan kesalahannya.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)


Dengan hadits tersebut hendaknya seorang muslim sadar, bahwa dibalik kesulitan dan kesedihan itu ada keuntungan yang besar, yaitu pengampunan dosa jika semua itu diterima dengan hati yang tabah, sabar, bahwa itu ujian dari Allah.


Hikmah dari Perbedaan Kaya dan Miskin


Banyak orang yang kerja keras dari pagi sampai sore tetapi hasil usahanya tidak memuaskan, hanya cukup untuk makan sehari-hari saja, itupun masih serba kekurangan. Tetapi banyak juga orang yang santai tetapi hasilnya menggembirakan. Ada sebuah ungkapan;


كَمْ مِنْ عَالِمٍ عَالِمٍ أَعْيَتْ مَذَاهِبُهُ، وَكَمْ مِنْ جَاهِلٍ جَاهِلٍ تَلْقَاهُ مَرْزُوْقًا.


Banyak orang yang pandai tetapi sulit kehidupannya dan banyak juga orang yang bodoh tetapi mendapatkan rizki yang banyak.”


Dalam Alquran banyak diungkapkan, di antaranya firman Allah SWT:


وَٱللَّهُ فَضَّلَ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلرِّزۡقِۚ فَمَا ٱلَّذِينَ فُضِّلُواْ بِرَآدِّي رِزۡقِهِمۡ عَلَىٰ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَهُمۡ فِيهِ سَوَآءٌۚ أَفَبِنِعۡمَةِ ٱللَّهِ يَجۡحَدُونَ. (النحل: 71)


Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?.” (Q.S. al-Nahl: [16] 71)


Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah-lah yang melebihkan seseorang dari yang lainnya dalam perolehan rizki, seharusnya mereka sadar untuk berbagi rizki dengan yang lain agar mereka sama merasakan kenikmatan.


ٱللَّهُ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُۚ وَفَرِحُواْ بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا مَتَٰعٞ.     (الرعد: 26)


Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Q.S. al-Ra’d: [13] 26)


قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ. (سبأ: 36)


Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyem-pitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui.” (Q.S. Saba’: [34] 36)


Hikmah dari Perbedaan Kepemilikan Harta


Dalam hal perbedaan kekayaan terdapat hikmah yang besar, diantaranya firman Allah SWT:


وَلَوۡ بَسَطَ ٱللَّهُ ٱلرِّزۡقَ لِعِبَادِهِۦ لَبَغَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٖ مَّا يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ بِعِبَادِهِۦ خَبِيرُۢ بَصِيرٞ. (الشورى: 27)


Dan Jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesung-guhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. al-Syûra:  [42] 27)


Ayat ini menjelaskan hikmah, mengapa tidak semua orang Allah luaskan rizkinya, yaitu karena khawatir mereka bertindak melebihi batas dan berbuat durhaka di muka bumi. Dalam hadits qudsi juga dinyatakan sebagai berikut;


إِنَّ مِنْ عِبَادِى مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالْغِنَى وَلَوْ أَفْقَرْتُهُ لَكَفَرَ، إِنَّ مِنْ عِبَادِى مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالْفَقْرِ وَلَوْ أَغْنَيْتُهُ لَكَفَرَ، إِنَّ مِنْ عِبَادِى مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالسَّقَمِ وَلَوْ أَصْحَحْتُهُ لَكَفَرَ، إِنَّ مِنْ عِبَادِى مَنْ لاَ يَصْلُحُ إِيْمَانُهُ إِلاَّ بِالصِّحَّةِ وَلَوْ أَسْقَمْتُهُ لَكَفَرَ. -الخطيب-


Sesungguhnya di antara hamba-Ku ada orang yang tidak kuat imannya kecuali jika ia kaya dan jika Aku jadikan ia fakir pasti dia kufur. Sesungguhnya di antara hamba-Ku ada orang yang tidak kuat imannya kecuali jika ia fakir dan jika Aku jadikan ia kaya pasti dia kufur. Sesungguhnya di antara hamba-Ku ada orang yang tidak kuat imannya kecuali jika ia sakit dan jika Aku jadikan ia sehat pasti dia kufur. Sesungguhnya di antara hamba-Ku ada orang yang tidak kuat imannya kecuali jika ia sehat dan jika Aku jadikan ia sakit pasti dia kufur.” (al-Khathîb)


Ini menunjukkan bahwa kondisi manusia itu bermacam-macam. Ada yang kuat iman jika dia miskin dan jika dia kaya dia sombong dan mengingkari agama. Ada juga orang yang sebaliknya, ia kuat iman jika ia kaya ia dapat berinfaq mengeluarkan zakat dan bersedekah, tetapi jika ia miskin ia tidak sabar dan banyak melanggar ketentuan agama.


Oleh karenanya tidak boleh seseorang berburuk sangka kepada Allah karena penderitaan yang ia alami, siapa tahu itulah yang terbaik untuknya menurut Allah. Maka dengan perbedaan adanya yang kaya dan yang miskin terdapat banyak hikmah dalam kehiduapn sosial di masyarakat, yaitu;


  1. Adanya saling menutupi kebutuhan sosial antara yang satu dengan yang lainnya, karena jika semua anggota masyarakat sama kaya pasti semuanya akan menderita.
  2. Peluang untuk beramal shaleh.
  3. Untuk merasakan betapa besarnya nikmat yang ia peroleh dibanding dengan yang lainnya.
  4. Menambah kuat ukhuwwah di antara masyarakat.
  5. Menambah kuatnya iman karena masing-masing menyadari bahwa semua itu adalah takdir Allah yang harus ia terima dengan lapang dada dan berserah diri kepada Allah.


Bersyukurlah Jika Menjadi Orang yang Sukses


Kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kesungguhan, keahlian atau kemampuan seseorang tetapi juga karena kehendak dan izin Allah yang Dia anugerahkan untuknya. Dalam hal ini berbeda sikap mental Qarun dan Nabi Sulaiman, dalam Alquran diungkapkan sebagai berikut;


... إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ... (القصص: 78)


…sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku…” (Q.S. al-Qashash:      [28] 78)


Demikian menurut Qarun. Sementara Nabi Sulaiman menyatakan;


...هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ... (النمل: 40)


…ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya)…” (Q.S. al-Naml: [27] 40)


Dalam hadits yang lain Nabi menasihati orang yang sukses dengan sabdanya:


إِنَّمَا تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ.


Sesungguhnya kamu mendapat pertolongan dan perolehan rizki adalah dengan sebab bantuan mereka yang lemah/ miskin.”


Oleh karenanya mereka yang sukses hendaklah menyadari bahwa kesuksesan itu adalah anugerah Allah dan berkat bantuan mereka yang lemah, tentu saja dituntut ada kepedulian dan perhatian kepada yang miskin.


Jujurlah jika menjadi orang Miskin


Setiap orang pasti saling membutuhkan, yang kaya butuh bantuan yang miskin, yang miskin pun pasti butuh bantuan dan perhatian yang kaya. Untuk lancarnya hubungan di antara masing-masingnya, maka tentu setiap orang harus memiliki daya tarik untuk mengundang perhatian yang lainnya, jika yang kaya memiliki kedermawanan dan kemurahan hati, tentu saja akan menjadi daya tarik yang kuat, membuat orang simpati kepadanya.


Demikian juga jika yang miskin memiliki kejujuran, tentu saja akan membuat yang kaya penuh perhatian dan kepedulian. Dengan hal itu timbullah persaudaraan yang kuat, jalinan silaturahmi yang mendalam dan hilanglah kecemburuan dan kecurigaan di antara mereka.


Pernah seorang pengembala kambing diminta bantuan oleh ‘Umar bin Khaththab untuk mem-berikan seekor atau 2 ekor kambingnya untuk bekal dalam perjalanannya. Si pengembala tidak berani untuk memberikan walau seekor kambing kepada ‘Umar karena ia sadar bahwa kambing itu bukan miliknya, ia hanya penggembala saja.


Akhirnya kata ‘Umar; “Juallah kambing itu kepadaku dan andai majikanmu mempertanyakannya, katakanlah kambing itu dimakan serigala.” Pengembala menjawab: “Jika aku berbuat seperti itu, dimana Allah?” Majikanku bisa aku kelabui tetapi Allah tidak bisa aku kelabui, Allah pasti tahu perbuatanku ini.


Mendengar jawaban si pengembala, ‘Umar pun menangis karena terharu dengan jawabannya. Itulah kejujuran seorang pengembala, padahal tentu saja gaji atau upahnya tidak akan sebesar gaji anggota DPR. Bayangkan kalau kaum buruh jujur, para pegawai memiliki rasa amanah, tentu saja akan aman dan tenteram tetapi tidak mungkin memiliki kejujuran kalau tidak memiliki iman yang kuat. Andai orang yang tidak beriman jujur, paling seperti jujur kucing. Kucing tidak berani mengambil goreng ikan yang ada di meja makan karena ada penghuni rumah, ia takut dipukul, tetapi di saat penghuni rumahnya tidak ada, maka ikan bisa habis dimakannya.


BACA JUGA:

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM (PART 02)

Reporter: Redaksi Editor: Gicky Tamimi