Kaifiyat Sholat Gerhana

oleh Sekretariat Dewan Hisbah

07 September 2025 | 14:28

Kaifiyat Sholat Gerhana

KAIFYAT SALAT GERHANA


Pertanyaan


Bagaimana Kaifiyat Salat Gerhana ? apakah mulai khutbah mesti setelah gerhana selesai ?

Abu Hasbi, Bumi Allah


Jawaban


Setelah hijrah Rasulullah Saw, hanya terjadi gerhana sekali saja. Menurut al-Ustadz E. Abdurrahman, ulama persatuan Islam dan juga ahli hisab, gerhana tersebut terjadi pada tanggal 29 Syawal 10 Hijriyah bertepatan dengan 27 Januari tahun 632 H.


Begitu juga menurut Prof Thomas Djamaludin, Sejak menerima risalah kenabian 17 Ramadan tahun Gajah ke-41 (Agustus 610 M) sampai beliau wafat 12 Rabiul awal 11 H (Juni 632) hanya ada lima kali gerhana matahari di Mekkah-Madinah. Itu pun hanya gerhana sebagian yang teramati di sana. Jalur gerhana matahari total/cincin tidak melintasi kedua kota suci itu. Hanya gerhana matahari total 613 M (10 tahun sebelum hijrah, 10 SH) yang melintas tidak jauh di sebelah selatan Mekkah. Jadi, salat gerhana itu merupakan salat gerhana matahari yang pertama dan yang terakhir yang dilaksanakan Rasulullah. Sebab sekitar 4 bulan setelah itu, 12 Rabiul awal 11 H (Juni 632 M), Rasulullah s. a. w. wafat. Dengan demikian salat tersebut merupakan salat gerhana yang pertama dan terakhir Rasulullah Saw.  Jika seandainya ada perbedaan kaifiyat salat gerhana, tidak bisa di thariqah al-jam’i tapi mesti ditarjih mana yang paling kuat. Dari hadis-hadis terkait dengan salat gerhana ada beberapa kaifiyat, semuanya menunjukan dua rakaat namun perbedaannya sebagai berikut :


  1. Setiap rakaat dengan satu kali ruku
  2. Setiap rakaat dengan dua kali ruku
  3. Setiap rakaat dengan tiga kali ruku
  4. Setiap rakaat dengan empat kali ruku
  5. Setiap rakaat dengan lima kali ruku


Dari kelima kaifiyat tersebut yang paling sahih adalah cara yang kedua, yaitu dua rakaat dengan setiap rakaat dua kali ruku. Berikut adalah hadis-hadis terkait dengan kaifiyat salat gerhana yang paling sahih


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ


Dari 'Aisyah bahwasanya dia berkata, "Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau berdiri dalam shalatnya dengan memanjangkan lama berdirinya, kemudian ruku dengan memanjangkan rukunya, kemudian berdiri dengan memanjangkan lama berdirinya, namun tidak selama yang pertama. Kemudian beliau ruku dan memanjangkan lama rukunya, namun tidak selama rukunya yang pertama. Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian mengerjakan rakaat kedua seperti pada rakaat yang pertama. Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya. (H.R. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/24)


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا جَهَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَتِهِ كَبَّرَ فَرَكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يُعَاوِدُ الْقِرَاءَةَ فِي صَلَاةِ الْكُسُوفِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ


dari 'Aisyah radliallahu 'anha: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana. Jika selesai dari bacaan Beliau membaca takbir kemudian ruku'. Jika mengangkat kepalanya dari ruku' Beliau membaca "sami'allahu liman hamidah Rabbanaa lakal hamd". Kemudian Beliau mengulang bacaannya dalam shalat gerhana dengan empat kali ruku' dalam dua raka'at dan empat kali sujud". (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/40)


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ مُنَادِيًا بِالصَّلَاةُ جَامِعَةٌ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ


Dari Aisyah Ra berkata : Sesungguhnya terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Saw kemudian beliau menutus muadzin untuk menyeru “asshalah jami’ah”. Lalu Rasulullah Saw maju dan salat empat kali ruku dalam dua rakaat dan empat kali sujud. (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/40)


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ انْخَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا نَحْوًا مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ تَجَلَّتْ الشَّمْسُ


dari 'Abdullah bin 'Abbas ia berkata, "Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian melaksanakan shalat, beliau berdiri dengan sangat panjang (lama) sekadar bacaan surah Al Baqarah. Lalu beliau ruku dengan ruku yang panjang, lalu mengangkat (kepala) berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian ruku kembali dengan panjang namun tidak sepanjang ruku yang pertama. Kemudian sujud. Kemudian beliau kembali berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama, lalu ruku dengan ruku yang panjang namun tidak sepanjang ruku yang pertama, lalu mengangkat (kepala) berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian beliau ruku kembali dengan panjang namun tidak sepanjang ruku yang pertama. Kemudian sujud. Kemudian beliau berlalu pergi sementara matahari sudah nampak kembali. (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/37)


Dari hadis-hadis diatas dapat disimpulkan kaifiyat salat gerhana sebagai berikut:


  1. Takbiratul ihram.
  2. Membaca doa iftitah dan ta’awwudz secara pelan (sir).
  3. Membaca Al-Fatihah dan surat lain dengan jahar, dan hendaklah memanjangkan bacaan, yaitu memilih surat yang panjang.
  4. Bertakbir lalu ruku’ dan memanjangkan ruku’, yaitu membaca bacaan ruku’ dengan mengulang-ngulangnya.
  5. Kemudian bangkit dari ruku’ seraya mengucapkan, ”Sami’allahu liman hamidah,” jika badan sudah berdiri tegak membaca, ”Rabbana walakal hamdu,” dengan posisi tangan menjulur (irsal) tidak langsung sedekap.
  6. Setelah itu tidak turun sujud, namun kembali membaca Al-Fatihah dan surat panjang, akan tetapi lebih pendek dari yang pertama, dengan posisi tangan bersedekap.
  7. Bertakbir lalu ruku’ dengan ruku’ yang panjang, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama.
  8. Kemudian bangkit dari ruku’ seraya mengucapkan, ”Sami’allahu liman hamidah,” jika badan sudah berdiri tegak membaca, ”Rabbana walakal hamdu.” Dan hendaklah memanjangkan berdiri I’tidal ini
  9. Bertakbir lalu sujud dengan sujud yang panjang, yaitu dengan mengulang-ngulang bacaan sujud dan berdoa.
  10. Kemudian bangkit untuk duduk di antara dua sujud seraya bertakbir, lalu duduk iftirasy dan hendaklah memanjangkan duduknya.
  11. Kemudian sujud kembali seraya bertakbir dan hendaklah memanjangkan sujud, namun lebih pendek dari sujud sebelumnya.
  12. Bangkit ke raka’at kedua seraya bertakbir, setelah berdiri untuk rakaat kedua maka lakukanlah seperti pada raka’at yang pertama, namun lebih pendek dari raka’at yang pertama
  13. Kemudian duduk tasyahhud, membaca shalawat, dan salam ke kanan dan ke kiri.


Ada beberapa masalah yang biasa menjadi pertanyaan. Apakah berakhirnya gerhana merupakan syarat waktu selesainya salat dan mulai khutbah gerhana. Karena dalam hadis disebutkan:


ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ تَجَلَّتْ الشَّمْسُ


Kemudian beliau bersujud kemudian berpaling (setelah selesai salat) bertepatan dengan matahari telah terang kembali.


Keterangan tersebut bukanlah dalil bahwa salat itu mesti sampai matahari terang kembali dan khutbah mesti setelah berakhirnya gerhana, akan tetapi saking panjangnya bacaan yang dibaca oleh Nabi Saw. Dalam hadis Ibn Abbas diatas diterangkan kira-kira sepanjang surat al-Baqarah, akibatnya salat menjadi panjang dan berakhir bertepatan dengan berakhirnya gerhana matahari. Dengan demikian yang menjadi sunahnya adalah qiraah baca surat dalam dalam setiap qiyam qiraah dalam satu rakaat dengan keutamaan membaca surat-surat panjang, dan setelah selesai salat dilanjutkan dengan khutbah. Dengan demikian keterangan matahari mulai terang kembali atau gerhana telah berakhir hanya kesesuaian waktu saja, tidak menjadi syarat waktu ataupun sebab hukum.


Masalah kedua, berkaitan dengan matan hadis


قَالَتْ عَائِشَةُ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ سُورَةً طَوِيلَةً ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ اسْتَفْتَحَ بِسُورَةٍ أُخْرَى ثُمَّ رَكَعَ حَتَّى قَضَاهَا وَسَجَدَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ فِي الثَّانِيَةِ


Aisyah berkata : telah terjadi gerhana, maka Nabi Saw mendirikan salat dan membaca surat yang panjang kemudian ruku dan memanjangkannya, kemudian bangkit dari ruku lalu memulai dengan membaca surat yang lain, kemudian ruku hingga selesai dan bersujud. Kemudian melakukan kaifiyat yang sama pada rakaat yang kedua. (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 2/65)


Dari hadis diatas mungkin ada yang berkesimpulan bahwa pada qiyam pertama dan kedua atau kedua saja, tidak membaca al-Fatihah, karena dzahirnya beliau memulai rakaat dengan tidak membaca al-Fatihah, tapi langsung membaca surat. Cara memahami hadis tersebut bukan secara manthuq, tapi secara dalalah al-iqtidha. Tidak disebutkan bukan berarti tidak membaca, tapi mafhum didalamnya dipastikan membaca al-Fatihah. Argumentasinya berdasarkan qarinah hadis lain yaitu:


عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ


Dari Ubadah bin As Shamit sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda” Tidak sah salat bagi yang tidak membaca Al Fatihah.” (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 152).


Hadis diatas menegaskan bahwa qiyam membaca al-fatihah merupakan rukun rakaat, karena ada dua kali qiyam dalam satu rakaat, maka menjadi dua kali membaca al-Fatihah. Karena itu jika difahami tidak membaca al-Fatihan dengan konsisten pendekatan manthuq, maka akan menjadi tidak berfaidah serta bertentangan dengan dalil lain terkait dengan salah satu rukun rakaat yaitu qiyam membaca al-Fatihah.. Secara siyaq al-kalam, penekanan hadis tersebut terkait dengan keutamaan membaca surat yang panjang pada qiyam yang pertama, demikian pula pada qiyam yang kedua dengan membaca surat yang lain, setelah membaca surat al-Fatihah tentunya.


(Istifta Risalah bulan Oktober 2017)



BACA JUGA:

PP PERSIS Imbau Jamaah Laksanakan Shalat Gerhana Bulan Total 7–8 September 2025