Bagaimana hukum suami menolak ajakan istri bersenggama? Apakah sama dilaknat seperti ketika istri menolak ajakan suami bersenggama?
Jawaban:
Sebagaimana yang telah kita maklumi bersama, mahar atau mas kawin disebutkan dengan ungkapan “Al-Faridhah” yang artinya adalah kewajiban. Selain menunjukan hukum mahar itu wajib, ada pula makna khafiyyun (yaitu) Ketika suami memberikan mas kawin kepada istri dimana pada hakikatnya dia berjanji saya siap jadi suami yang melaksanakan kewajiban yang menjadi hak istri, begitu pula seorang istri Ketika menerima mas kawin.
Maka salah satu diantara kewajiban suami istri yang menjadi hak masing masing adalah terpenuhinya kebutuhan biologis masing-masing.
Sehingga dalam satu hadits diterangkan sebagaimana berikut ini:
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ»
Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah Saw., bersabda: Apabila seorang suami memanggil istrinya kekasurnya (untuk digauli), lantas dia (istri) menolak, lantas suami tidur dalam keadaan marah kepadanya, malaikat akan melaknat istri sampai subuh. (HR. al-Bukhari)
Hadis ini menerangkan betapa besarnya hak suami atas istri, salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan biologisnya dan berdosanya istri yang tidak memenuhi kewajiban yang menjadi hak suami.
Lalu bagaimana jika yang menolak untuk berhubungan itu suami?
Lafazh “Ar-Rajulu” pada hadis di atas adalah suami, dimana dia berposisi sebagai pemimpin dan mempunyai hak istimewa atas istrinya.
Dibalik suami sebagai pemimpin dan mempunyai hak istimewa, ada kewajiban yang luar biasa berupa memperhatikan yang dipimpinnya, salah satunya memenuhi kebutuhan biologis istri yang menjadi haknya.
Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan pergaulilah mereka dengan baik (QS. An-Nisa [4]:19)
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Kata ma’ruf (kebaikan) adalah segala perbuatan baik yang diketahui melalui pemikiran dan penelitian secara akal atau syariat. Lawan katanya adalah munkar. (Mufradat Fi Gharibil Quran, hal. 561)
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ، وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا، فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلْ! فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، قَالَ: فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ، قَالَ: نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فَقَالَ: نَمْ، فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ، فَصَلَّيَا فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَدَقَ سَلْمَانُ»
Dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari bapaknya, ia berkata: Nabi Saw telah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Lalu Salman mengunjungi Abu Darda’, lalu ia melihat Ummu Darda’ memakai baju yang kumuh, lalu ia berkata kepadanya: “Ada apa dengamu?” Ia (Ummu Darda’) menjawab: “Saudaramu Abu Darda’ tidaklah ada keinginan baginya dari dunia.” Lalu Abu Darda’ datang kepadanya dengan membuatkan makanan, lalu berkata: “Makanlah! Karena aku seorang yang saum.” Ia (Salman) berkata: “Tidaklah aku makan sehingga kamu juga makan.” Lalu ia makan. Maka tatkala malam hari, Abu Darda’ bangun, lalu ia (Salman) berkata: “Tidurlah.” Lalu ia tidur (lagi). Kemudian bangun (lagi), lalu Salman berkata: “Tidurlah.” Maka tatkala akhir malam, Salman berkata: “Bangunlah sekarang.” Lalu keduanya salat, lalu Salman berkata kepadanya: “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atasmu, bagi dirimu ada hak atasmu, bagi keluargamu ada hak atasmu, maka berilah hak kepada haknya. Lalu ia (Abu Darda’) menemui Nabi Saw. lalu menceritakan hal itu kepadanya. Maka Nabi Saw. berkata: “Salman benar.” (HR. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, III: 38 no. 1968).
Kesimpulan:
Suami yang tidak menunaikan kewajiban terhadap istrinya, padahal mampu menunaikannya maka ia berdosa, termasuk tidak memenuhi kebutuhan biologis istri.
BACA JUGA: Pemudi PERSIS Jakarta Gelar Seminar Pra Nikah Angkat Tema Nikah Siapa Takut, Hadirkan 2 Narasumber Hebat