CASEL Tak Berfungsi; Dari Ledakan Emosi Hingga Ledakan Bom Bunuh Diri

oleh Ismail Fajar Romdhon

11 November 2025 | 08:16

CASEL Tak Berfungsi; Dari Ledakan Emosi Hingga Ledakan Bom Bunuh Diri

CASEL Tak Berfungsi; Dari Ledakan Emosi Hingga Ledakan Bom Bunuh Diri


Oleh: Ibrahim Fahmi, Pendidik.



Tragedi memilukan di SMAN 72 Jakarta menggemparkan dunia pendidikan. Dua ledakan bom rakitan di gerbang belakang sekolah dan di masjid ketika sebagian besar civitas akademika sedang melaksanakan ibadah jum’at terjadi pada hari Jum’at tanggal 7 November 2025.


Sampai saat ini pihak kepolisian masih mendalami motif dan modus operandi yang melibatkan seorang pelajar tingkat SMA sebagai terduga pelaku. Beredar dugaan terduga pelaku adalah korban bullying yang melampiaskan dendam amarahnya dengan melakukan tindakan kekerasan.


Tidak kalah mengejutkan, dalam peristiwa ini ditemukan beberapa barang bukti semacam senjata mainan dan benda lainnya. Pada senjata tersebut terdapat beberapa tulisan diantaranya beberapa nama tokoh teroris seperti Brenton Tarrant pelaku penembakan massal di sebuah di New Zealand tahun 2019 dan tulisan-tulisan lain yang mengindikasikan pengaruh kekerasan dari ideologi sayap kanan atau suprermasi kulit putih.


Banyak hal yang menarik perhatian publik dalam peristiwa ini, baik aspek psikologis terduga pelaku, relasi pertemanan, pengawasan sekolah, pengaruh media sosial hingga sentimen agama. Namun begitu pihak kepolisian menyampaikan keterangan bahwa terduga pelaku tidak terkait dengan kelompok tertentu juga dapat dipastikan tidak ada sentimen agama sekalipun peristiwa ini terjadi di tempat ibadah.


Mata publik selanjutnya mengarah kepada aspek psikologis yang menguatkan asumsi bahwa terduga pelaku adalah korban perundungan. Maka kritik tajam tentang pengawasan di lingkungan sekolah tak terelakkan. Pascainsiden ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI Prof. Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa kementeriannya akan menerbitkan Permendikdasmen Sekolah Aman. Dalam kesempatan lain pada diskusi Top Issue program Metro TV (10/11) dihadapan para pakar Wamendikdasmen Prof. Atip Hayat menyampaikan bahwa peran Catur Pusat Pendidikan sangat strategis di dalam mengantisipasi tindakan kekerasan di usia belajar.


Dalam insiden yang terjadi di SMAN 72 Jakarta beberapa pakar mengulas bahwa Catur Pusat Pendidikan bagi terduga pelaku telah gagal, memperhatikan pelaku adalah seorang anak broken home, lingkungan jelas tidak menjadi tempat menyembuhkan luka, sementara sekolah abai terhadap korban perundungan dan tulisan pada senjata mainan menunjukkan media memberi pengaruh buruk pada pelaku.


Sementara itu banyak diskusi yang malah mencari siapa yang bertanggungjawab terkait insiden ini. Tentu kita tidak menginginkan pihak-pihak terkait saling tunjuk menuduh siapa yang salah dan paling bertanggungjawab, apakah keluarga, masyarakat, lingkungan sekolah, media atau negara. Tidak boleh ada yang saling menyalahkan, karena tentu tragedi ini menjadi tanggungjawab bersama.


Dari sudut pandang pendidik/guru yang mengajar pada tingkat SMA, saya merasakan sekali permasalahan psikologis dan sosial anak di usia remaja. Dengan berbagai persoalan remaja baik perkembangannya pada fase pencarian identitas, tekanan keluarga dan disrupsi media sosial, emosi remaja seperti roller coaster yang begitu sangat dinamis dan mudah berubah. Oleh karena itu dalam pembelajaran sangat penting dilakukan pendekatan Collaborative for Academic, Social and Emotional Learning (CASEL) atau dikenal dengan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE).


Perilaku bullying dikalangan pelajar merupakan fenomena gunung es, dan pelakunya adalah anak yang pada awalnya juga sebagai korban. Maka yang harus kita perhatikan tidak hanya pada langkah kuratif korban bully tetapi juga tidak kalah penting pada langkah preventif pelaku bully. Pembelajaran Sosial Emosional atau CASEL memiliki fungsi preventif perilaku bully atau juvenile delinquency lainnya. Karena yang harus ditanamkan pada pelajar adalah tidak hanya bagaimana ia sukses sebagai siswa tetapi juga sukses sebagai manusia.


Pembelajaran Sosial Emosional mengasah lima kompetensi penting seorang siswa agar dapat mengendalikan emosi dan menjaga relasi sosialnya, yaitu; 1) Self Awarenes (Kesadaran Diri) dimana siswa mampu mengenali dan mengakui emosi dirinya, 2) Self Management (Regulasi Diri) dimana siswa mampu mengatur dan mengelola emosi, pemikiran dan perilaku secara efektif pada situasi yang berbeda, 3) Social Awareness (kesadaran sosial) adalah kemampuan memahami perspektif yang berbeda termasuk berempati terhadap kondisi individu dengan latar belakang yang berbeda, 4) Relationship Skills (keterampilan sosial) dimana siswa mampu menjalin dan mempertahankan hubungan/relasi yang sehat dan efektif dengan individu dari latar belakang yang berbeda, dan 5) Responsible Decision Making (Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab) dimana siswa membuat pilihan yang tepat dan konstruktif pada situasi tertentu.


Jika penerapan pendekatan ini dilakukan oleh setiap guru dalam pembelajaran, setidaknya kita telah berikhtiyar mencegah perilaku kekerasan yang mungkin muncul dikalangan pelajar. Oleh karena itu fokusnya bukan hanya pada penguatan peran guru BK dalam mengatasi perilaku perundungan seperti yang dikatakan para pakar di Metro TV tentang insiden di SMAN 72 Jakarta melainkan pada pendekatan pembelajaran yang menyentuh sosial emotional siswa. Guru BK biasanya fokus pada langkah kuratif, sementara langkah preventif adalah tugas setiap guru yang lebih intens berinteraksi dengan peserta didik.


Cileunyi, 10 Nov 2025.

BACA JUGA: Ketua PP Pemudi PERSIS Refleksikan Sejumlah Lomba di Silatnas VII: Cerdas Berakhlakul Karimah