Suatu waktu, ketika STAIPI Bandung pergi ke kota Jogja di hari yang seharusnya dia cuci darah karena penyakit gagal ginjal,
Saya bertanya: Kalau di Jogja tidak ada tempat cuci darah bagaimana? Saya pulang pake ambulan. Jawaban dibubuhi simpul senyum yang membuat saya diam membisu, sambil membayangkan senadainya itu terjadi.
Dalam kebisuan itu saya hanya bergumam; Bayang-bayang kehadiran malaikat izra’il ternyata sudah menjadi teman harian dengan sahabatku ini.
Saya menyelami situasi psikologis yang tidak semua orang mampu untuk menghadapinya. Bukan waktu sebentar menjalani hidup menghadapi penyakit yang (secara medis) tidak akan pulih kembali.
Sejak 2005 penyakit gagal ginjal itu diderita, dua kali dalam seminggu harus cuci darah. Penyakit yang diderita setelah menjalankan tugas mulia sebagai jurnalis relawan PERSIS di Aceh pasca tsunami 2004.
Yang pertama, saya melibatkan diri dalam situasi psikologis ketika saya tahu bahwa penyakit itu tidak akan sembuh sampai akhir kehidupan. Ini berarti akhir menjalani hidup dirasa seolah di depan mata.
Lalu, apa yang saya harus lakukan selain pasrah sambil meyakini bahwa kematian adalah hal yang pasti. Namun semudah itukah memindahkan pengetahuan tentang kematian yang menakutkan menjadi keyakinan yang membahagiakan.
Saya hanya berkata dalam hati, itu berat. Lalu bagaimana sahabatku ini belajar pasrah? Jawabannya, karena memang tidak ada cara lain selain pasrah. Dan karena kepasrahan itulah sahabatku ini tetap enerjik dan dinamis.
Dari sini lalu saya harus belajar, haruskah untuk mencapai kepasrahan setiap orang harus menjalani hal yang sama dengan sahabatku? Adakah jalan lain mencapai pasrah tanpa harus mengalami hal yang sama?
Yang kedua, saya melibatkan diri dalam situasi psikologis sebagai seorang bapak dengan putri-putri yang masih kecil. Pasti, yang terfikir adalah siapa kelak seandainya kehidupan saya berakhir, sementara anak-anakku masih membutuhkan perhatian, kasih sayang dan bimbingan menghadapi masa depan.
Ternyata sahabatku ini sudah pasrahkan nasib masa depan putri-putrinya dalam genggaman Allah. Tidak lagi kwatir dan bimbang karena semua kepunyaan Alloh. Lalu muncul pertanyaan, sudahkan saya memiliki keyakinan bahwa anak-anakku dapat hidup esok hari karena mereka akan dirawat oleh Alloh.
Dua situasi psikologis ini yang banyak menghinggapi setiap diri kita, sehingga banyak orang yang takut dan bimbang. Sahabatku ini, telah mencapai maqam sabar. Ia telah menikmati bahwa kesabaran itu tidak pernah bertepi, karena membatasi sabar berarti bukanlah sabar.
Dan karena sabar itu pula sikap hidupnya tetap dinamis, ulet, dan tekun. Di tengah serba keterbatasan, masih semangat untuk melanjutkan studi S2.
Bukan gelar yang ingin diraih, tapi ingin menunjukkan bahwa dirinya sebagai pecinta ilmu, jurnalis sejat, pembelajar sejati, dan pengajar sejati. Tidak mengeluh saat harapan luluh, dan tidak mengalah di tengah pasrah.
Kesabaranmu, optimismu, ketenanganmu, keuletanmu, telah berhasil malampaui badai kehidupan teramat berat. Semoga menjadi ibrah bagi kami yang sehat. Amin.
***
Teruntuk: Yadin Burhanudin
Dari : Nurmawan