Gagasan Besar Persatuan Islam.

oleh Reporter

16 Mei 2020 | 20:51

CITA BESAR PERSATUAN ISLAM.
Dr Jeje Zaenudin - Wakil Ketua Umum PP Persis
Ketika memulai menulis tema ini, saya lama termenung. Ternyata tidak mudah untuk menemukan rumusan apa yang sesungguhnya bisa diklaim sebagai “gagasan besar Persis” itu. Apa dan siapa yang representatif untuk menjadi referensinya. Apakah pemikiran personal dari para pendiri, tokoh, dan para pemimpinnya, ataukah apa yang tertuang dalam Qanun Asasi?

Pilihan saya akhirnya jatuh kepada Qanun Asasi Jamiyah Persis sebagai rujukan menemukan rumusan gagasan besar itu, dengan argumen bahwa pemikiran-pemikiran cemerlang dari para tokoh dan pimpinan Persis selama belum dilegitimasi sebagai ketetapan dan keputusan Jam’iyah tidak dapat dikatakan sebagai gagasan atau pemikiran institusi yang resmi. Dan nyatanya sampai sekarang sependek yang saya tahu, belum ada pemikiran komprehensif tentang “Blue Print” gerakan Jamiyah Persis yang telah disahkan oleh Jam’iyah secara resmi.

Kalaupun Tuan KH. Isa Anshari dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pimpinan di PP. Persis pada masanya pernah menuliskan Manifest Perjuang Persatuan Islam dan diterima secara aklamasi dalam Muktamar PERSIS 1957 tetapi pada periode-periode kepemimpinan berikutnya tidak jelas kedudukan dan keberadaannya dalam Jam’iyah. Sejatinya Manifest Perjuangan Persatuan Islam itu senantiasa dilegitimasi ulang dan disempurnakan pada Muktamar-Muktamar berikutnya.

Pada faktanya hanya Qanun Asasi dan Qanun Dakhili yang mempunyai legitimasi terkuat di tubuh Jamiyah karena ia senantiasa diupdate setiap lima tahun sekali kemudian diputuskan dalam musyawarah tertinggi Jamiyah yaitu Muktamar.

Background Sejarah

Berdirinya Persatuan Islam tentu tidak berada di ruang hampa, melainkan dalam konteks sosial dan setting sejarah yang konkrit. Maka apa yang dibicarakan dan dicita-citakan oleh para pendiri dan tokoh pimpinan Persis mencerminkan konteks dan setting sosial tersebut serta harapan-harapan kondisi masa depan yang di idealkan.

Pada awal abad keduapuluh dapat dikatakan sebagai pase penjelmaan gerakan kesadaran dan kebangkitan Islam dalam bentuk gerakan dakwah yang dilembagakan dalam wadah organisasi masyarakat sesuai dengan trend baru masa itu. Sebelumnya gerakan penyadaran dan kebangkitan Islam dipelopori dan digerakan secara individual atau kumunitas yang tidak terorganisir dalam ormas. Seperti gerakan panislamismenya Jamaludin Al Afgani dan Muhammad Abduh.

Jauh sebelum akhir abad keduapuluh sebenarnya kesadaran para ulama atas kemunduran dunia Islam sudah mulai bersemi. Terutama kemuduran di bidang pemikiran keagamaan dan ketertinggalan di dunia ilmu pengetahuan, ekonomi dan militer pada masa akhir dari Dinasti Abasiyah, yang kemudian puncak keruntuhannya adalah ketika Bagdad sebagai ibu kota khilafah dibumi hanguskan oleh pasukan Mongol.

Mulai abad ke 18, Kesultanan Turki Usmani yang sebelumnya berusaha menggantikan peran kekhalifahan Abasiyah tidak sanggup lagi mengontrol dan melidungi negeri-negeri muslim yang telah banyak terlepas dan satu persatu jatuh ke tangan kaum penjajah barat. Terutama yang sangat jauh dari pusat kekuasaan khalifah seperti kesultanan-kesulatanan Islam di Nusantara.

Pada awal abad ke dua puluh, kemunduran supremasi dunia Islam itu semakin lengkap dengan dibubarkannya kekhilafahan Turki Usmani dan beralih ke sistem sekuler pada tahun 1924. Maka keterpurukan dunia Islam yang sejak beberapa abad sebelumnya dirasakan di bidang ilmu dan keagamaan sekarang sempurna dengan keterpurukan simbol kekuasaan politik formal.

Hilangnya kekuasaan politik formal dunia Islam dan terjurumuskan sebagian besar negeri muslim di Asia dan Afrika kedalam cengkraman kolonialisasi bangsa Kristen Barat membangunkan kesadaran kolektif para pemikir dan tokoh pergerakan muslim dunia bahwa ada yang salah dalam pemikiran dan perilaku keagamaan umat Islam. Maka berbagai kajian dan penyelidikan atas kemunduran dunia Islam itu dilakukan. Seperti yang tercermin dari beberapa karya intelektual musim masa itu umpamanya buku “Limadzaa Taakharal Muslimun wa taqaddama ghaeruhum” karya Syekh Sakib Arsalan  yang terinspirasi pertanyaan seorang ulama Islam dari Sambas, Indonesia, atau buku Madza hhasira al dunya bi inkhithâtil muslimin karya Syekh Abul Hasan Ali an Nadwi dari India, menegaskan tesis  dan kesimpulan yang sama. Yaitu bahwa keruntuhan peradana Islam itu  diantaranya yang paling utamanya adalah karena umat Islam telah jauh meninggalkan pimpinan kitab sucinya Al-Quran dan tuntunan Sunnah Nabinya, beralih kepada mengikuti pemikiran dan pengamalan ajaran yang justru tidak bersumber dari keduanya.

Dari kesimpulan itulah maka gerakan mengembalikan umat kepada ajaran Kitab dan Sunnah serta membersihkan ajaran Islam dari syirik, khurafat, tahayul dan bid’ah menjadi gerakan yang sangat vokal dan menggairahkan. Maka kitab-kitab para tokoh pemurnian Islam dari abad sebelumnya menjadi kajian utama. Seperti pemikiran-pemikiran puritanisme Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayim, hingga syekh Muhammad bin Abdu Wahhab dari Nejed Saudi Arabia.

Walaupun tidak semua ulama dan pemikir Islam pada masa itu setuju dengan penyebab kemunduran Islam itu karena terjerumus kepada adat istiadat yang tidak Islami dan meninggalkan Quran dan Hadits, karena gerakan itu dianggap gerakan yang anti madzhab dan tidak menghargai para ulama terdahulu, tetapi semuanya sepakat bahwa dunia Islam memang sangat jauh tertinggal dan terpuruk sangat dalam. Karena itu semua gerakan dan ormas Islam sepakat mengenai wajibnya memperjuangkan kebangkitan kembali Islam walaupun dengan penekanan perjuangan yang berbeda.

Para tokoh pendiri dan pimpinan Persatuan Islam dapat dipastikan tidaklah lepas dari konteks sosial dan dinamika pemikiran dunia Islam seperti itu. Maka gagasan pembaharuan dan pemurnian Islam itu tersimpul dalam jargon “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”. Jargon atau motto gerakan ini bukan istimewa untuk PERSIS melainkan jargon semua gerakan pemurnian di seluruh dunia. Keistimewaannya di PERSIS adalah karena ketegasan dan kejelasannya dalam merumuskan dan mengimplementasikan gagasan kembali kepada Al-Quran dan hadits dalam bidang Aqidah dan Ibadah (atau tepatnya fikih ibadah) sehingga melahirkan produk pemikiran yang murni di bidang fikih dengan mengacu langsung kepada Al-Quran dan hadits kemudian beriijtihad tanpa berpegang kepada salah satu madzhab yang ada. 

Jargon “Kembali kepada Al-Quran dan Hadits” dengan stressingnya aspek pemurnian akidah dan fikih ubudiyah, memang sangat kontroversial untuk masa itu. Maka tidak mengherankan jika gerakan pemikiran Persatuan Islam yang dituangkan dalam berbagai media massa yang diterbitkannya mendapat respon yang sangat besar, baik yang antusias mengikutinya maupun yang antusias menentangnya. Inilah salah satu penyebabnya yang menjadikan suara Persatuan Islam terdengar sangat nyaring melampaui struktur organisasi dan jumlah pengikutnya yang masih amat sedikit dibanding dengan ormas-ormas besar yang ada pada saat itu seperti SI, Muhamadiyah, dan NU.

Demikian dominannya kajian dan produk pemikiran di bidang khilafiyah dan bid’ah  fikhiyah ini sebagaimana terlihat salah satu contohnya dari kitab Soal Jawab A. Hassan dan kumpulan Al Fatwa di Majalah Risalah. Dampak negatif dari kesan seperti ini yaitu bahwa gerakan Kembali kepada Al-Quran dan Hadits dan gerakan Pemurnian Islam yang diperjuangkan PERSIS sering dipahami secara simplistis dan parsial oleh para peneliti dan para pengikutnya menjadi gerakan Pemurnian Fikih, atau gerakan Fikih Tanpa Mazhab, Fikih Quran-Sunnah. Ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab kesalah pahaman terhadap PERSIS yang melahirkan tuduhan bahwa PERSIS adalah ormas fikih mainded, fikih sentris, dan sebagainya. Sehingga aspek-aspek lain dari ajaran Al-Quran dan Hadits seakan bukan menjadi bagian dari tujuan pemurnian gerakan Persis. Sehingga ketika sudah banyak gerakan dakwah yang sefaham dengan PERSIS bahkan lebih keras dan lebih kaku dalam penerapan pemahan fikih atas nama kembali kepada Quran dan Sunnah dengan pemahaman yang lebih ketat yaitu kembali kepada “Quran Sunnah berdasar faham Salaf”, ghairah warga Jamiyah seperti jadi buyar dan kehilangan arah seakan tidak ada lagi “Jargon Identitas” yang bisa diklaim secara ekslusif. Yang lebih ironis lagi tidak sedikit yang malah berpindah gerakan meninggalkan Jamiyah yang dianggap sudah kurang “greget” lagi.   

Padahal dengan didirikannya Jamiyah Persis sebagai wadah gerakan dakwah, sebagaimana juga ormas-ormas pembaharuan yang lainnya seperti Muhammadiyah, adalah mengembalikan kejayaan Islam dengan mengembalikan umatnya kepada pimpinan Quran dan Sunnah. Sebab tegaknya Islam karena tegaknya masyarakat Islam, tegaknya masyarakat karena tegaknya individu, dan tegaknya individu karena tegaknya Ilmu Islam yang benar. Karena itu maka dakwah dan pendidikan menjadi bidang dan lapangan perjuangan yang utama.  

Dalam perjalanan sejarahnya Jamiyah Persis sukses merumuskan paradigma dan manhaj ijithad fikihnya dengan ditetapkannya buku panduan Thuruqul Istinbath  dan terlembagakan lembaga fatwa menjadi Dewan Hisbah. Pada saat bersamaan Jamiyah PERSIS belum melahirkan manhaj Aqidah nya secara komprehensif. Lebih jauh lagi belum terumuskan secara tertulis dan baku tentang manhaj harakah dan manhaj dakwahnya secara syumul dan tafshil. Namun bukan berarti tidak ada manhaj sama sekali, dengan tidak dirumuskan itu berarti bahwa konsep umum tantang dakwah dan harakah kembalikan secara langsung kepada Al-Quran dan Hadits Nabi.

Cita besar dan jalan mencapainya.

Cita besar gerakan Jamiyah yang valid dan legitimated adalah apa yang tertuang dalam tujuan Jamiyah dan terwariskan dari generasi ke generasi, dari periode ke periode kepemimpinan, sebagaimana tertuang dalam Qanun Asasinya. Yaitu bahwa Jamiyah ini bertujuan “Terlaksananya syariat Islam dalam segala aspek kehidupan secara kafah berdasarkan Al-Quran dan Hadits”. 

Berbicara aspek kehidupan yang hendak dikembalikan kepada tuntunan Al-Quran dan Hadits itu tentunya sangatlah luas. Mencakup dimensi aqidah, ibadah mahdhah, dan muamalah. Baik muamalah iqtishadiyah maupun muamalah siyasah. Namun untuk mencapai cita-cita besar tersebut, ternyata menghadapi tantangan besar dari luar dan dari dalam: Penjajah dan realitas ekonomi, politik, dan kesadaran serta ilmu keagamaan umat yang masih sangat rendah.

Maka dipilihlah target perjuangan yang lebih realistis dan sangat mendesak. Yaitu dakwah pemurnian ajaran Islam kepada umat. Ajaran Islam yang paling dominan pada kehidupan seorang muslim adalah aqidah dan ibadah mahdhoh. Maka wajarlah jika tema dakwah Jamiyah mendapat porsi besar diarahkan kepada gerakan pemurnian fikih. Tema-tema dakwah Jamiyah di bidang ideologi politik sampai pada tahun 1960-an juga sebenarnya masih sering menghiasi forum dakwah, mimbar jumat, tablig akbar, dan media massa Jamiyah PERSIS sebagai respon yang semestinya atas situasi sosial politik yang harus dihadapi para Pimpinan Jamiyah.  Namun tidak mendapat respon yang meriah dan antusias dari umat seperti antusias dan meriahnya pada isu-isu polemik masalah fikih.

Para Pimpinan PERSIS yakin bahwa dakwah membutuhkan kekuatan segala unsur. Kekuatan umat membutuhkan pengorganisasian. Maka berjamaah secara formal membutuhkan lembaga organisasi. Organisasi yang formal tentu saja membutuhkan legalistas kekuasaan. Maka menjadi kebutuhan untuk mendaftarkan Persis ke badan kehakiman Pemerintah Hindia Belanda saat itu.

Pada tahap awal konsentrasi gerakan PERSIS lebih kepada nasyrul fikroh, penyebarluasan pemikiran.  Kekuatannya ada pada figur-figur individual yang mumpuni, kharismatik, dan nama besar. Namun kurang dan lemah dalam pembangunan dan pengembangan struktur dan imprastruktur jamiyah. Dengan nama-nama besar dan suara yang nyaring tetapi rumah Jamiyah dan penghuni organisasinya masih sangat sedikit.

Sebelum terealisirnya cita-cita besar yaitu mewujudkan masyarakat muslim yang bersyariah secara kafah, maka harus ada dulu intisari masyarakat muslim yang siap menjadi “Ummat Pelopor”. Maka lahirkan jargon atau ungkapan “Shuratun Mushagharatun Anil Islam..”  yaitu kelompk muslim yang telah menjadi miniatur Islam. Mereka itu terdiri dari “Barisan ulama, zuama, ashabun dan hawariyun Islam” yang siap menjadi “mujahid” di medan perjuangan dakwah dalam perang fisik dan menjadi “Mujtahid” yang berperang pada tataran pemikiran dan dakwah. Dengan para pimpinan dan para kader Jamiyahnya yag punya karakteristik seperti diatas itulah maka diharapkan PERSIS menjadi satu “Jam’iyah yang berwawasan al Jamaah” atau dengan ungkapan lain, “Al Jamiyah taqumu maqama al daulat” yaitu Jamiyah yang mewujudkan kehidupan para anggotanya sebagai masyarakat muslim yang bersyariah secara utuh menurut kemampuannya.

Kenapa gagasan besar ini muncul? Karena memang setting sosial politik dunia Islam saat itu sedang dalam keterpurukan dan kehilangan kepemimpinan politiknya. Secara internasional yaitu runtuhnya kekhalifahan dan secara regional dan lokal sedang dalam masa penjajahan Barat. Maka ketika masa penjajahan berakhir, dilanjutkan kepada perjuangan merumuskan bentuk dan isi negara Indonesia ini sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mencapai gagasan besar itu, maka material yang pertama dan utama serta terpenting adalah ketersediaan sumberdaya insani yang memadai. Jalan utama untuk mempersiapkan itu semua adalah “Pendidikan”. Pada tahap berikutnya pendidikan yang layak dan berkualitas juga membutuhan dukungan finansial yang memadai.  Maka karena itu pemberdayaan ekonomi umat juga menjadi suatu keharusan yang mendesak.

Maka seluruh unsur, elemen, struktur, dan usaha Jamiyah dibuat, dirancang, dikordinasikan dan digerakan untuk menuju terwujudnya cita-cita besar yaitu Terlaksananya syariat Islam dalam segala aspek kehiduan secara kafah berdasar Quran dan Sunnah.

Konsep bersyariat “secara kafah” tentu saja mengacu kepada praktek syariah dimasa Nabi, yaitu mencakup aqidah, ubudiyah, muamalah, dan akhlak dalam tataran individu, keluarga, dan masyarakat. Sehingga terwujudlah aqidah salimah, ibadah sahihah dan akhlakul karimah yang menjadi fondasi bangunan Masyarakat Muslim Indonesia yang Ideal.

Khatimah.

Dari alur pemikiran di atas, saya berpendapat bahwa pada tataran filosofis, teoritis, dan normatif sudah cukup memadai tersedia dalam warisan pemikiran para pemimpin dan pendiri Jamiyah PERSIS. Yang dibutuhkan saat ini adalah rumusan  Blue Print dan Manhaj Harakah Jamiyah yang syamil-mutakamil, utuh dan lengkap sesuai dan sejalan dengan konteks zamannya. Sehingga seluruh bidang yang menjadi instrumen gerakan dakwah Jamiyah di bidang Pendidikan, Dakwah, Ekonomi, Siyasah, I’lamiyah, dan semuanya secara integral menuju kepada perwujudan cita-cita besarnya, yaitu “Masyarakat yang bersyariah secara kafah” dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wallahu A’lam.
Bekasi, 23 Ramadhan 1441 H 

 

 

Reporter: Reporter Editor: admin