Penulis: Deni Solehudin
Bulan ini adalah bulan Muharram. Pertama kali ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khotob sebagai bulan pertama dalam penanggalan kalender hijriyah. Kalender ini dinamakan dengan Kalender Hijriah karena pada tahun pertama kalender ini terjadi peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 Masehi.
Hakekat hijrah sebagaimana disebutkan oleh Nabi Muhammad Sallallahu álaihi wa sallam bahwa “seorang Muhajir (orang yang hijrah) itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah."
Hijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah, sejatinya ia meninggalkan dari yang dulunya sesat dan menyimpang menuju jalan-Nya. Yaitu jalan Allah Subhanahu wa Taála.
Untuk itu, semua umat Islam khsusunya yang ada di Indonesia, termasuk Presiden, para pimpinan dan anggota dewan, dari RI 1 sampai RT 1 minimal satu hari satu malam tujuh belas kali memohon kepada Allah supaya diberikan petunjuk ke jalan yang lurus.
Mereka tentunya serius, tidak main-main senantiasa memohon dalam shalat mengucapkan :
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti "hidayah" ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik.
Hidayah apa yang mereka pinta?
Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti yang juga dibahas dalam Tafsir Al-Fatihah oleh Muhammad Abduh. (disalin dari tafsir kemenag, tafsir Al Maraghi dan Tafsir Al Manar)
1. Hidayah Naluri (Garizah)
Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya "naluri", dalam bahasa Arab disebut garizah. Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri" (mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan hidupnya.
Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya rasa "ingin tahu", "ingin mempunyai", "ingin berlomba-lomba", "ingin bermain", "ingin meniru", "takut", dan lain-lain.
Sifat-sifat Naluri
Naluri (garizah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada manusia dan binatang. Perbedaannya ialah naluri manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah manusia bisa maju, sedangkan binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.
Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri", orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri "ingin memelihara diri" itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena naluri "ingin tahu" orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri "ingin tahu" itu pula orang suka mencari-cari 'aib dan rahasia sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-naluri yang lain.
Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang hendak memadamkan naluri, karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri itu, namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam naluri untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana.
2. Hidayah Pancaindra
Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah swt dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:
(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan).
Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah melalui pintu-pintu pancaindra. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma'qulat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).
Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang mahhsusat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa "ilusi optik" (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khida' an-nadhar. Sebab itu manusia masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu "hidayah akal".
3. Hidayah Akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam naluri dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya, dan yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan pancaindra, dan ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain, di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul 'alaihimus-salatu was-salam.
b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia
Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-adyan al-wadh'iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia memperhatikan dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada "suatu Zat" yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara "menyembah Zat Yang Gaib itu".
Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah "Zat Yang Gaib", maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.
Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan "kepercayaan menyembah kekuatan alam", seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala. Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.
Bila manusia mau memikirkan: "Dari mana datangnya alam ini", akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid. [*]