Oleh: Dr. H Jeje Zaenudin - Wakil Ketua Umum PP Persis.
“Sudah jatuh tertimpa tangga” adalah peribahasa umum yang menggambarkan nasib orang yang tertimpa mushibah bertubi-tubi. Namun peribahasa itu sepertinya belum cukup mewakili penggambaran kesialan nasib mayoritas rakyat Indonesai saat ini. Apa pasal? Coba saja pikirkan dengan jernih. Dalam suasana menahan lapar selama bulan puasa Ramadhan, banyaknya jatuh korban jiwa dan yang sakit terinfeksi wabah covid-19, kesulitan hidup semakin meluas dengan pemutusan hubungan kerja maupun jutaan karyawan yang di rumahkan oleh berbagai perusahaan. Selain itu mushibah banjir dan longsor melanda beberapa daerah yang merenggut jiwa dan meluluh lantakan lingkungan tinggal mereka.
Dalam suasana keprihatinan yang bertumpang tindih itu satu-satunya harapan -setelah tawakkal kepada Allah- adalah kehadiran penguasa dengan berbagai kebijakan yang benar-benar pro rakyat dan empaty yang nyata dalam menanggung kesusahan mayoritas rakyat jelata. Namun seperti biasanya nasib rakyat selalu bertepuka sebelah tangan. Harapan tinggal lah harapan yang tidak pernah nampak jadi kenyataan. Yang terjadi justru sebaliknya, banyak tindakan pemerintah pusat yang dinilai dan dirasakan masyarakt kecil sebagai ketidakadilan alias kezaliman. Bahkan para ahli dan pengamat kebijakan publik mengeritiknya sebagai “penghianatan” atas hak-hak konstitusional rakyat.
Pertama. Pembebasan para tahanan terpidana kriminal dari penjara dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat melalui program asimilasi dengan dalih mencegah penularan covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan. Suatu keputusan yang membuat rakyat awam melongo. Bukankah di Lapas para tahanan itu lebih mudah dikontrol dan diberlakukan pembatasan pembesuk dibanding dengan dibebaskan yang mengundang kecemasan masyarakat mereka kembali bertindak kriminal dan lebih membahayakan. Terbukti diakui oleh pihak kepolisian bahwa banyak dari mantan tahanan itu kembali bertindak kriminal. Bahkan perampokan, pemerkosaan hingga pembunuhan sadis. Kenapa tidak dilakukan seleksi yang ketat bagi mereka yang akan dibebaskan itu hanya tahanan-tahanan yang benar-benar telah sadar dan tobat kembali ke jalan yang benar. Kerawanan itu semakin meningkat dengan situasi ekonomi yang sedang morat-marit. Orang baik-baik saja bisa berubah terpaksa bertindak kriminal karena susahnya mencari pekerjaan, apalagi bagi mereka yang baru keuar dari tahanan. Tidakkah mereka lebih aman di tahanan karena disuplay makanan dari Lapas?
Kedua. Penegakkan hukum atas peraturan PSBB yang nampak tidak adil bahkan zalim dipertontonkan secara kasat mata. Mesjid, warung-warung rakyat tempat usaha mencari sesuap rizki dipaksa tutup bahkan oknum Komnas HAM menganjurkan pemerintah agar memberi sanksi yang tegas kepada pengurus Mesjid yang masih maksa buka shalat Jumat dan ibadah berjamaah. Sementara Swalayan dan Mall besar milik tuan-tuan pengusaha aseng dengan leluasa masih dipadati orang yang belanja. Demikian juga tukang ojek dan angkot yang maksa menarik penumpang tidak sesuai prosedur dicegat polisi, namun Bandara penuh sesak dan antri panjang oleh para calon penumpang.
Ketiga. Untuk menangani wabah covid-19 dan dampak-dampaknya, Presiden memilih cara mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2020 yang salah satu Pasalnya sangat membahayakan keselamatan uang rakyat. Karena dengan Perpu itu pemerintah pusat punya kewenangan membuat anggaran dan menggunakannya secara leluasa tanpa bisa dipidanakan apabila terjadi penyelewengan dan pelaksnaanya. Sehingga Perpu ini digugat para pembela kedaulatan rakyat yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK). Namun anehnya, Perpu yang berbahaya bagi keselamatan uang rakyat sekaligus merampas banyak kewenangan lembaga negara termasuk kewenangan anggaran DPR itu dan sedang digugat di Mahkamah Konstitusi, bukannya dikritik apalagi ditolak oleh para dewan wakil-wakil rakyat yang terhormat itu, sebaliknya malah dengan cepat dan sigap segera disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang melalui proses persidangan yang dinilai cacat prosedur oleh para ahli.
Keempat. Pada saat mayoritas rakyat jelata sesak nafas menghemat anggaran pengeluaran rumah tangga dan berharap pemerintah bermurah hati menurunkan BBM dan Tarif Dasar Listrik, Penguasa malah memutuskan untuk menaikan iuran BPJS. Tentu saja mengundang reaksi keras dari banyak kalangan rakyat. Karena selain keputusan tersebut sebelumnya telah dibatalkan di Mahkamah Agung, tetapi mengapa sekarang diulangi lagi.
Kelima. Dalam suasana melonjaknya angka pengangguran dalam negeri akibat banyak perusahaan tutup dampak pandemi covid-19, penguasa justru mengijinkan tenaga kerja asing khususnya dari China untuk bekerja di berbagai perusahaan milik China di Indonesia. Kebijakan tuna rasa ini tentu saja memancing kemarahan rakyat juga para tokoh yang pro rakyat untuk menentangnya. Tidak diketahui akan seperti apa kebijakan selanjutnya dari rezim ini setelah menunda sementara kedatangan rombongan tenaga kerja asing ini dengan alasan masa pandemi virus corona.
Keenam. Suasana sepuluh terakhir Ramadhan adalah momentum paling ditunggu bagi umat Islam yang sedang berpuasa untuk melengkapi kesempurnaan puasa dengan Iktikaf dan mengharap lailatul qadar, tapi lagi-lagi penguasa tuna rasa. Bersama BPIP para petinggi negeri ini malah menggelar konser musik dengan dalih malam penggalangan dana bagi para penggiat seni yang terdampak karena wabah covid-19. Selain dikritik sebagai tindakan merendahkan martabat negara karena ketidak mampuan melayani penderitaan rakyat secara profesional dan kenegarawanan, juga karena telah menjatuhkan martabat kepala negara menjadi seolah kepala yayasan yang mengemis mencari sumbangan amal. Selain itu juga tidak memahami suasana batin mayoritas umat Islam yang sedang rindu Iktikaf tidak diperbolehkan ke Mesjid, sementara konser musik amal malah diselenggarakan dan dihadiri para petinggi negeri meskipun dilaksanakan secara virtual dan disiarkan berbagai stasiun televisi.
Seakan-akan situasi jiwa rakyat yang sedang khusyu berpuasa dan batin mereka yang prihatin dengan berbagai kesulitan yang bertubi-tubi bukan membangkitkan empaty para elit penguasa melainkan dijadikan segelintir mereka menjadikan kesempatan membuat kebijakan-kebijakan yang tuna rasa.
Penderitaan mayoritas rakyat jelata menjadi semakin lengkap karena dalam situasi seperti ini para pendekar pembela HAM yang biasa nyaring berkoar-koar ataupun para pejuang kesiangan yang konon pro rakyat seperti sudah menjadi macan ompong yang kehilangan nyali.
Mampukan para ulama pewaris nabi dengan kehalusan budinya dan kecintaannya kepada umat bangkit menangkap dan menyuarakan kegelisahan masyarakat saat ini?
Bekasi, 26 Ramadhan 1441 H.
Kepesantrenan
19 Januari 2025 | 14:04
Daurah Al-Qur’an PPI 100 Banjarsari: Membangun Kecerdasan Spiritual Santri