Membangun Militansi Dakwah

oleh Reporter

31 Desember 2019 | 13:06

Oleh: Dr. Jeje Zaenudin

 

Al-Quran menegaskan bahwa, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru manusia kepada Allah sementara ia juga berbuat saleh serta menyatakan bahwa saya adalah bagian dari orang yang tunduk patuh kepada Allah (minal muslimin)” (Surat Fushilat: 33)

Dakwah adalah jalan yang paling mulia, karena ia adalah jalan yang membimbing manusia kepada Allah. Oleh sebab itulah para petugas dakwah yang pertama-tama adalah manusia-manusia mulia pilihan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul. Hingga ketika masa nubuwah telah berakhir dengan wafatnya Rasul penutup, yaitu Nabi Muhammad SAW, barulah tugas dakwah yang agung ini dipikulkan kepada umatnya, yaitu kaum muslimin.

Peristiwa pemindahan tugas perjuangan dakwah dari pundak Rasulullah kepada umatnya secara resmi disampaikan oleh Rasululah pada waktu Haji Wada’, dimana beliau menyatakan, “Alâ fal yuballigh al syâhid minkum al ghâib….(ketahuilah! Agar hendaknya orang-orang yang hadir saat ini menyampaikan kepada orang-orang yang tidak hadir!)”.

Peristiwa yang amat bersejarah itu oleh Dr. Mohammad Natsir (yarhamuhullah) disebut sebagai peristiwa “Timbang Terima Risalah Dakwah” dari Nabi kepada ummatnya. Dengan kata lain, bahwa para da’i adalah penyambung lidah para Rasul dan pelanjut perjuangan mereka. Pada bukunya, “Fiqhud Da’wah”, selanjutnya Mohammad Natsir juga menyatakan,

"...Disamping menyadari akan kedudukan dan fungsi yang tinggi dari pendukung da’wah, baiklah seorang muballigh menyadari, bahwa dimana dan dizaman manapun dia melakukan pekerjaan da’wah itu, tidak pernah ia akan sunyi daripada ujian dan cobaan yang harus ditempuhnya. Baik dalam arti lahir, ataupun batin, atau kedua-duanya, lahir dan batin. Tidak reda-redanya peringatan Ilahy kepada para Rasul dan Nabi, dan pembawa dakwah pada umumnya, bahwa mereka akan berjumpa dengan bermacam-macam cobaan (Q.S. Al-Ahqaf: 35)

“Berteguh hatilah kamu sebagaimana berteguh hatinya ahli-ahli berteguh hati dari para Rasul” (M. Natsir, 2008: 293)

Begitu banyaknya macam cobaan dan ujian dalam dakwah, kata Natsir, tidak sedikit kemudian para da’i yang tergelincir dari jalan dakwah dan melenceng jauh dari tujuan dan niyatnya semula alias lupa daratan, terutama, kata beliau, kalau cobaan itu datang berupa harta benda dan kedudukan dunia yang sejalan dengan nafsu syahawat manusia.

Meskipun dalam dakwah itu terdapat berbagai unsur-unsurnya yang banyak, akan tetapi posisi da’i adalah posisi sentral dalam keberhasilan dan kegagalan dakwah, maka sepatutnya memang yang jadi fokus perhatian kita adalah lebih tertuju kepada kualitas para dai itu sendiri. Disinilah letak urgensinya pembahasan berkaitan dengan militansi dai.

 

Militansi Dakwah.

Kata militant diambil dari bahasa Latin, militare yang berarti “to serve as a soldier” (mengabdi sebagai seorang prajurit). Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi militant yang biasanya digunakan untuk kata benda (noun) atau sifat (adjective).

Sebagai kata benda, militant digunakan as a term for warriors who do not belong to an established government military organization. (sebagai suatu istilah untuk pejuang yang tidak mempunyai organisasi militer sebuah pemerintahan yang sudah berdiri).

Terkadang secara umum militant digunakan untuk menunjukan kepada orang yang selalu berkonfrontasi dengan orang lain, tidak peduli dengan tindakan-tindakan yang menggunakan cara-cara jahat dan keji. Atau ditujukan kepada individu dan kelompok yang mempunyai sikap dan perilaku agresif dalam memperjuangkan idealismenya.

Sedang militant sebagai kata sifat sering diartikan "vigorously active and aggressive” (bekerja dengan semangat dan agresif, penuh inisiatif), atau "Having a combative character” (Mempunyai watak/semangat bertempur)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan, Militan artinya bersemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras. Militansi berarti ketangguhan dalam berjuang (menghadapi kesulitan dalam berperang dan sebagainya)

Pengertian Militansi dalam paper ini mengacu pada definisi yang digunakan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas. Maka Militansi Dakwah berarti semangat perjuangan yang menggelora dan ketangguhan yang membaja dalam menjalankan tugas dakwah.

Semangat, gairah, dan ketangguhan dalam sebuah perjuangan merupakan buah penggodokan yang matang. Penggodokan itu tiada lain adalah proses Kaderisasi yang berkesinambungan. Dalam kaderisasi itulah para da’i digembleng mental dan fisiknya dengan prinsip-prinsip perjuangan. Diantara sekian banyak prinsip perjuangan dakwah yang harus dipegang erat oleh setiap mujahid dakwah adalah Keyakinan, Kecintaan, Pengorbanan, dan Kesabaran

 

Keyakinan

Keyakinan yang mutlak akan kebenaran apa yang diperjuangkan yaitu agama Allah

 

…. dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (Q.S. Al-Hajj: 67)

 

Keyakinan yang kuat bahwa dakwah adalah jalan perjuangan yang paling mulia dan paling terhormat.

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik."

 

Keyakinan yang mantap bahwa kemenangan pasti diberikan Allah, cepat atupun lambat; di dunia ataupun di akhirat

"Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang", (Ash Shaffaat : 171-173)

 

Kecintaan.

Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya

Kecintaan kepada ilmu (menghidupkan ruh ijtihad dan bercita-cita menjadi mujtahid).

Ayat pertama yang turun kepada Rasululah adalah peritah membaca, Iqra!, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar berdoa, “Wahai Tuhanku, tambahkanlah imu kepadaku!” (Surat Tha-ha: 114).

Di antara doa Rasulullah,”Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan amal yang diterima”. (Shahih Ibnu Majah).

Kecintaan kepada ummat (menumbuhkan ruh jihad agar menjadi mujahid).

Seorang da’i adalah pelanjut misi Rasul Allah. Rasulullah adalah orang yang amat cinta terhadap umatnya, sehingga penderitaan umat itu terasa berat dan menyesakkan dada beliau. Inilah yang mendorong beliau ingin membebaskan penderitaan umat dari jalan kesesatan, kebodohan, dan keterbelakangan.

 

"Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin ." (Q.S. At-Taubah : 128)

Kecintaan kepada umat telah mendorong gerakan dakwah Persis melalui tiga jalur; dakwah, pendikikan dan sosial. Dengan dakwah persis berjuang menyelematkan aqidah dan ibadah umat dari penyelewengan; dgn pendidikan persis berjuang membebaskan umat dari kebodohan dan keterbelakangan; dengan sosial persis berjuang memberdayakan umat agar mampu mandiri dan berbagi

Pengorbanan

Pengorbanan waktu, tenaga, dan fikiran

Pengorbanan harta

Pengorbanan jiwa raga

Kesabaran.

Sabar dalam menuntut ilmu

Sabar dalam mengamalkan ilmu

Sabar dalam mendakwahkan ilmu

 

Sabar dalam menghadapi tantangan dan rintangan dakwah

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (Q.S. As-Sajdah: 24)

 

Antara Militasi dan Strategi; Antara Komitmen dan Managemen.

Disamping militansi dalam gerakan dakwah, penting juga diajarkan strategi yang matang. Singa Podium, KH. Isa Anshary pernah mengingatkan,

"Iman yang sudah kering dan tauhid yang sudah layu itulah tanda dan alamat kemusnahan dan keruntuhan yang pasti tibanya kepada kaum muslimin. Jiwa yang segan berjuang, enggan

berkurban, takut kulit terkelupas,, takut kematian, cinta dunia, dan benda, diperhamba oleh dunia dan benda, segala itu adalah alamat telah lenyapya kualitas iman dari dada manusia." (Mujahid Dakwah : 1995, hl.96).

"…..Salah satu dari kelemahan perjuangan umat Islam sejak puluhan tahun hingga sampai kini ialah tdak memiliki teori perjuangan dan strategi perjuangan. Ideologi berjuang tanpa

dsiertai teori berjuang telah membuat kita terkurung dalam lingkaran yang tidak berujung dan berpangkal; disitu situ juga, seperti menghesta kain sarung. Umat ini harus kita persiapkan bukan saja dalam lapangan semangat, ruh dan jiwa jihad tapi harus kita persiapkan dgn perlengkapan dan persyaratan berjuang, tahu membuat  perhitungan. Mengembalikan ruhul jihad dan ruhul qurban, ke dalam jantung dan budinya, meningkatkan tarap perjuangan dan meningkatkan kemampuan berkurban".(hal. 103)

Dengan kata lain, bahwa membangun militansi para da’i melalui penguatan aqidah dan ideologi juga harus dibarengi dengan penataan managemen organisasi pergerakan (tandhim) dakwah.

Sebagai penutup tulisan ini, baiklah kita bawakan nasihat emas dari dua orang Mujahid Dakwah Islam Indonesia, yang juga merupakan dua kader terbaik dan terkemuka dari Syekh Ahmad Hassan (guru besar Persatuan Islam), yaitu DR. Mohammad Natsir dan KH. Isa Anshary. Dalam bukunya yang termasyhur, Fiqhud Da’wah, Mohammad Natsir mengatakan,

“Seorang muballigh menyambung pekerjaan para Rasul dan nabi. Tetapi dia bukan Rasul dan bukan Nabi, dia adalah manusia biasa. Tidak maksum dari kekurangan dan kelemahan-kelemahan. Maka dengan kesadarannya akan kekurangan-kekurangan serta

kekuatan yang ada padanya, serta kesadaran pula akan beratnya tugas yang harus dipikul, seorang muballigh tidak boleh putus-putusnya melatih diri, guna memperoleh kekuatan batin yang lebih besar, guna mencapai maqam ruhani yang lebih tinggi dan bersih guna mmebawa dakwah yang suci itu lebih taqarrub ilallah, lebih mendekatakan jiwa kepada Ilahy Yang memiliki dakwah itu sendiri, yakni lebih dari para awam yang dipanggilnya. (Fiqhud Dakwah, 2008: 320).

Sementara, KH. Isa Anshary yang digelari “Asadul Minbar” alias Singa Podium, di dalam kitabnya,“Mujahid Dakwah”, mewasiyatkan “enam pegangan” bagi para mujahid dakwah. Agama hanya akan dapat dirasakan oleh orang yang menegakan dia dalam dirinya. Bahagia dan sa’adah hanya akan dirasakan oleh orang yang membela keyakinan, kebenaran dan keadilan. Kemenangan dan kejayaan hakiki hanya akan diberikan kepada para pejuang yang rela berkorban, kuat menahan penderitaan dan kepapaan.

Kesabaran dan ketahanan berjuang hanya akan dberikan kepada mukmin yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Tegakkan dengan keyakinan dan perjuangan, karena makna dan guna hidup terletak pada keyakinan dan perjuangan. Belajarlah memfanakan diri guna kepentingan cita dan agama (Mujahid Dakwah: 11)

 

Reporter: Reporter Editor: admin