Pemuda Persis dan Peradaban

oleh Reporter

02 Februari 2021 | 13:41

(Merespon tema Muktamar XIII Pemuda Persis dan Musyawarah Daerah X Pemuda Persis Kota Bandung)
Oleh: Zamzam Aqbil Raziqin

 

Berbicara mengenai Peradaban, maka pembicaraan itu tidak akan pernah lepas dari Ilmu. Sebagaimana teori yang begitu familiar dari bapak sosiolog dunia Ibn Khaldun yang menuliskan dalam kitab Muqaddimahnya bahwa Peradaban itu akan muncul ketika orang-orang mencintai ilmu, dan Peradaban akan runtuh ketika orang-orang menjauhi ilmu.

Ilmu itu sangat luas, dan ilmu yang tidak sampai kepada kita lebih banyak daripada ilmu yang sampai pada kita. Ilmu yang sampai pada kita cenderung hanya merupakan ilmu dari satu bangsa yakni Yunani, itupun karena penerjemahan yang cukup intensif yang dilakukan oleh Al-Makmun pada masa pemerintahannya selama menjadi Khalifah ketujuh Bani Abbasiyah.

Allah SWT berfirman:

“dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” QS Al-Isra : 85

Ayat ini memperkuat argumentasi bahwa ilmu yang sampai kepada kita hanyalah sedikit dibandingkan ilmu yang tidak sampai pada kita, sekaligus menunjukan bahwa hakikat ilmu adalah pemberian (given), maka sekeras apapun kita mencari ilmu jika Allah tidak memberikan maka sampai kapanpun ilmu yang kita cari itu tidak akan pernah kita dapatkan.

Pada umumnya ilmu sering diartikan sebagai sebuah penghukuman pada realitas dengan bersandar pada bukti dan dalil. Berbeda dengan para logikawan yang menyebutkan bahwa ilmu adalah “pengetahuan” (muthlaq al-idrâk), hal ini menunjukan bahwa setiap pengetahuan yang kita miliki adalah ilmu, walaupun pengetahuan itu tidak berdasarkan pada realitas, bukti, dan dalil. Lebih jelasnya apa yang disebut sebagai ilmu itu ialah hadirnya gambaran sesuatu dalam nalar (hushûl shûrah asy-syai’ ‘inda al-‘aql)1

Sekalipun pengetahuan apapun yang ada dalam kepala kita dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu, para logikawan telah membagi hal tersebut kedalam lima tingkatan2, diantaranya:

1.   Keyakinan

Tingkatan yang pertama adalah yakin, sebuah pengetahuan dapat dikateogrikan sebagai keyakinan ketika pengetahuan itu didukung dengan dalil dan bukti serta sesuai dengan realitas yang ada sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi keraguan. Ulama ushul fiqh menyebutnya dengan “Alyaqinu lâ yuzâlu bi syak” keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Sekalipun kaidah tersebut digunakan dalam penetapan sebuah hukum, namun penetapan hukum tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu pengetahuan yang bersandarkan pada dalil dan bukti sehingga disebut sebagai Al-yaqin.

Pengetahuan pada tingkatan keyakinan ini sederhananya seperti 2 + 2 = 4. Dalam ilmu matematika pengetahuan tersebut adalah keyakinan, kepastian dalam ilmu eksak cenderung tetap dan cukup sederhana, berbeda dengan kepastian dalam ilmu sosial sepertihalnya dalam ilmu hukum. Dalam terminology ilmu hukum 2 + 2 = 4 bukan merupakan kepastian, melainkan sebuah kesepakatan bersama (mutual agreement), lantas apakah ilmu hukum tidak memiliki kepastian? Jawabannya adalah tidak. Kepastian dalam ilmu hukum harus menempuh due process of law yakni proses hukum yang adil dan tidak memihak. Ketika 2 + 2 kemudian di uji dengan 3 + 1 hasilnya adalah 4, maka itulah yang disebut sebagai kepastian dalam ilmu hukum. 2 + 2 adalah objek pengetahuan, 3 + 1 adalah batu uji sedangkan 4 adalah hasil akhir dari proses tersebut.

Contoh sederhana lainnya dalam kehidupan kita sehari-hari kita sedang membayangkan langit berwarna biru di pagi hari, lantas kita keluar rumah dan menengadahkan kepala kita keatas pada saat itu kita melihat bahwa benar langit di pagi hari itu berwarna biru, maka pengetahuan kita yang awalnya hanya bayangan setelah dibuktikan dan sesuai dengan realitas maka pada saat itu pula pengetahuan tersebut ada pada tingkatan keyakinan.

 

2.   Sangkaan

Tingkatan pengetahuan yang kedua adalah sangkaan (zhann), jika pengetahuan yakin kebenarannya mencapai 100% maka pengetahuan pada tingkatan sangkaan ini hanya berkisar dari 51 – 99%. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan pada tingkat sangkaan lebih condong pada kebenaran dibandingkan pada keraguan, walaupun untuk menuju kebenaran itu sendiri masih membutuhkan dalil dan pembuktian. Sekalipun begitu pengetahuan pada tingkat sangkaan ini juga tidak menutup kemungkinan adanya celah keraguan, walaupun celah keraguan itu bersifat lemah, berbeda dengan tingkatan yakin, dimana celah keraguan telah ditutup dengan rapat.

Pengetahuan pada tingkat sangkaan ini seperti proses pemeriksaan di kepolisian, mungkin kita sangat mengenal dengan istilah “Tersangka”3. Pada tahap ini seseorang yang disangka melanggar suatu ketentuan pidana, belum dapat dikatakan bahwa ia telah melakukan suatu kejahatan, namun terdapat bukti dan petunjuk bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Dalam fase ini pengetahuan polisi tentang perkara orang tersebut berhenti pada tingkatan sangkaan, dimana presentase kebenarannya adalah 51 – 99%.

Pengetahuan pada tingkatan sangkaan ini dapat naik menjadi tingkatan keyakinan, ketika di dukung oleh dalil dan pembuktian. Dalam proses hukum dalil dan pembuktian itu terjadi pada saat persidangan, sehingga jika kita mencermati setiap putusan hakim dalam perkara pidana, selalu di awali dengan kalimat “terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal… dst”. Putusan hakim tersebut merupakan lompatan kwalitatif dari pengetahuan sangkaan ke pengetahuan keyakinan.

Contoh sederhana lainnya pengetahuan pada tingkat sangkaan ini adalah ketika kita sedang berjalan kaki, kemudian kita melihat ada seorang pria turun dari mobil mengenakan pakaian rapih berjas dan berdasi, lalu orang tersebut masuk ke gedung perkantoran, kemudian pengetahuan kita mengatakan bahwa orang yang berpenampilan demikian adalah seorang direktur perusahaan. Ketika pengetahuan kita itu hanya di dukung oleh fakta-fakta yang nampak secara empiris maka pengetahuan itu sebatas sangkaan, namun ketika kita menambah unsur dalil dan pembuktian maka pengetahuan itu dapat naik ke tingkat keyakinan.

 

3.   Keraguan

Pengetahuan dibawah sangkaan adalah keraguan, pada tingkatan ini pengetahuan yang ada bersifat netral, tidak menguatkan satu sisi ataupun sisi yang lainnya baik sisi yang kuat (rajih) maupun sisi yang lemah (marjuh). Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan yang berada pada tingkat keraguan tidak memiliki sisi yang kuat dan tidak memiliki keistimewaan antara kemungkinan yang satu dengan kemungkinan yang lainnya, dalam arti lain bersifat setara.

Pengetahuan pada tingkat sangkaan ini seperti idealism seorang hakim dalam memeriksa suatu perkara di persidangan, ia akan berpijak pada pengetahuan yang netral, ia akan memandang bahwa tuntutan dari jaksa penuntut umum bernilai 50, begitupun pembelaan dari terdakwa bernilai 50. Ia harus berpijak pada keraguan dimana kemungkinannya bersifat setara.

Contoh sederhana lainnya adalah ketika kita sedang melaksanakan shalat magrib, kemudian ditengah-tengah kita lupa sedang berdiri di rakaat ke berapa, disatu sisi kita merasa berada dirakaat kedua, disisi lain juga kita merasa sudah berada pada rakaat ketiga. Pada fase ini pengetahuan kita berada pada tingkat keraguan, kita dipertemukan pada dua kemungkinan yang tidak menguatkan antara kemungkinan yang satu dengan yang lainnya.

Rosulullah s.a.w. menjelaskan dalam sebuah hadits:

“Dan jika seseorang daripada kalian ragu-ragu (syakk) dalam solatnya, maka harus meyakini (bilangan) mana yang benar, kemudian hendaklah dia sempurnakan, lalu memberi salam kemudian sujud dua kali.” (Riwayat al-Bukhariy, no. Hadith: 386)

Berdasarkan hadits ini apabila pengetahuan kita berada pada tingkat keraguan atau dihadapkan pada dua pertentangan, maka kita dituntut untuk memutuskan perkara yang meyakinkan yaitu melalui kesadaran dan pengetahuan.4

 

4.   Ilusi

Satu tingkat dibawah keraguan adalah ilusi (Wahm), pengetahuan pada tingkatan ini cenderung pada kemungkinan yang lemah (marjuh), berlawanan dengan pengetahuan yang bersifat sangkaan dimana condong pada kemungkinan yang kuat (rajih). Dalam arti lain pengetahuan pada tingkatan ini merupakan pengetahuan yang berlawanan dengan yang kuat (rajih). Presentase kebenaran pada tingkatan ilusi ini antara 1 – 49%.

Tingkatan ilusi ini seperti halnya seorang terpidana ingin lepas dari vonis hukuman, keinginannya merupakan pengetahuan pada tingkat ilusi karena lebih condong pada kemungkinan yang lemah (marjuh).

Disisi lain kita dapat menilai bahwa pengetahuan pada tingkat ilusi ini merupakan suatu keyakinan yang telah terbentuk, namun bukan bersandarkan pada suatu kebenaran yang mutlak cenderung pada kesalahan dan tidak memiliki dasar. Pengetahuan pada tingkat ilusi ini sebenarnya memiliki peranan dalam mekanisme pembentukan sebuah keyakinan. Dalam menjalankan fungsinya seringkali pengetahuan pada tingkat ilusi ini mengambil bahan baku dari pengalaman atau bahkan imaginasi. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan ilusi dapat dijadikan sebuah pijakan awal, para filsuf seringkali menjadikan tingkat pengetahuan ini sebagai anak tangga, untuk mencapai pada tujuan seseorang membutuhkan pijakan awal, dan dalam pengetahuan pijakan awal itu berada pada tingkatan ilusi.

Namun tingkat pengetahuan ini dapat menjadi suatu hal yang buruk ketika dianggap sebagai sebuah kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dirubah. Pada fase ini pengetahuan seseorang terhambat, pada fase ini pula pengetahuan ilusi menjadi berbahaya ketika diletakan pada perjalanan ruhani seseorang.

 

5.   Kebodohan

Tingkatan dari pengetahuan atau ilmu adalah kebodohan (jahl), pada tingkatan ini kita perlu membedakan kebodohan kedalam dua terminology, ada kebodohan yang memang di dimaknai sebagai tidak tahu sama sekali tentang sesuatu, maka hal ini memang bukanlah sebuah pengetahuan. Namun ada juga kebodohan yang dimaknai sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang bertolak belakang dengan kenyataan dan disertai dengan keyakinan.

Al-Jurjânî dalam at-Ta’rîfât, mendefinisikan jahl (kebodohan) sebagai berikut:

“Al-Jahl adalah meyakini sesuatu yang menyelisihi hakikatnya. Mereka menolak bahwa al-jahl kadang juga bermakna tidak adanya pengetahuan, padahal tidak demikian. Yang sebenarnya adalah sesuatu yang ada dalam benak. Al-Jahl al-Basîth adalah tidak adanya ilmu dalam suatu perkara yang menjadikannya berilmu. Al-Jahl al-Murakkab adalah suatu ungkapan untuk menyebut keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataannya.”

Pengetahuan pada tingkat paling bawah ini seperti halnya seorang koruptor, pengetahuan seorang koruptor terhadap hukum dapat dikatakan merupakan tingkatan kebodohan. Ia meyakini bahwa perbuatannya dalam melakukan tindak pidana korupsi adalah sesuatu hal yang benar, keyakinannya itu bertentangan dengan kebenaran yang telah mutlak, oleh karenanya pengetahuan ini disebut sebagai tingkatan terendah yakni kebodohan.

Pengetahuan pada tingkat ini harus benar-benar dihindari karena dapat menjerumuskan kita pada jurang kesesatan, jika presentase dari pengetahuan lainnya masih memungkinkan mencapai pada tingkat kebenaran, maka pengetahuan pada tingkat kebodohan ini memiliki presentasi 0% untuk mencapai kebenaran.

Dari kelima tingkatan pengetahuan tersebut saat ini sudah pada tingkatan mana pengetahuan kita terhadap terma Peradaban? Hal ini merupakan tantangan yang harus kita jawab bersama, sebelum kemudian kita mengimplementasikan terma Peradaban itu pada pola gerak organisasi dan menjadikan term Peradaban sebagai sebuah tema. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran atas pertanyaan itu, walaupun demikian tulisan ini sangat terbuka untuk di kritisi dan diluruskan jika terdapat kekeliruan.

Untuk menjawab pertanyaan diatas kita harus mulai dari jawaban yang paling mendasar mengenai terminology Peradaban itu sendiri “Bagaimana Peradaban yang dimaksud oleh Pemuda Persis?”

Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang dimaksudkan untuk dijawab secara teoritis “Peradaban adalah…” melainkan pertanyaan yang harus dijawab secara subjektif, yang menggambarkan sebuah terminology baru tentang Peradaban dalam prespektif Pemuda Persis. Mengapa harus demikian? Hal ini merupakan konsekwensi logis sekaligus tanggung jawab moril dari sifat organisasi Pemuda Persis.6

Rumusan baru terkait terminology Peradaban ini menjadi penting untuk Pemuda Persis, bukan untuk menyaingi teori-teori Peradaban yang telah banyak lahir dari para ahli, melainkan terminology ini memiliki fungsi sebagai batu pijakan bersama dalam mendudukan cita-cita Peradaban Pemuda Persis itu sendiri.

Jika memakai rumusan teori revolusi paradigma Tomas Khun:

“The term "paradigm" being the point of push in Thomas Khun's epistimology is on the revolutionary development of science, in the sense that the old paradigm will evolve with a new paradigm to achieve a scientific truth.”

Kita dapat memberikan sebuah ukuran dan gambaran tentang berlakunya sebuah paradigma yang lahir dalam tulisan ini mengenai Peradaban dan Pemuda Persis, artinya paradigma Peradaban dalam tulisan ini tidaklah mutlak, namun ia akan tetap dan terus berlaku sampai lahir paradigma baru yang lebih kuat sehingga datang kebenaran yang ilmiah.

Peradaban bagi Pemuda Persis bukanlah sebuah visi atau keadaan utopis, ia bukanlah cita-cita dan harapan, melainkan Peradaban bagi Pemuda Persis adalah Proses. Untuk itu timbul sebuah keyakinan bahwa Pemuda Persis sejak dulu hingga saat ini sedang menginjak peradabannya sendiri dan akan tetap begitu sampai akhir perjuangannya. Jika perjuangannya berhenti maka pada saat itulah Peradaban bagi Pemuda Persis telah runtuh. Hal ini sangat realistis sebab Peradaban bagi Pemuda Persis adalah segala bentuk proses berkembangnya organisasi. Oleh sebab itu sebetulnya Peradaban bukanlah capaian, dan kita tidak perlu mencapai Peradaban, sebab segala bentuk aktifitas kita di Pemuda Persis adalah butir Peradaban.

Ketika kita memposisikan Peradaban sebagai sebuah visi, cita-cita yang tinggi, mimpi, atau harapan, maka artinya kita telah meletakan posisi Peradaban itu pada ujung perjuangan organisasi. Pada kondisi ini akan timbul satu kemungkinan yakni sampai kapanpun Pemuda Persis tidak akan pernah mencapai Peradabannya. Oleh sebab itu tugas kita sebagai mujahid Pemuda Persis bukan hanya membangun Peradaban, melainkan menciptakan, merawat dan menjaga Peradaban.

Dalam merawat dan menjaga Peradaban, kita tidak dapat melakukannya hanya dengan satu orang saja. Bahkan Rosulullah pun dalam membangun Islam tidak sendirian, ia dibantu oleh para sahabat sehingga terbentuk suatu kekuatan yang dinamakan “Ukhuwwah Islamiyyah”, kekuatan yang dibangun oleh Rosulullah dan para sahabatnya merupakan tauladan utama bagi kita dalam membangun Pemuda Persis.

Kaum memiliki peran besar dalam dakwah Nabi. Mereka adalah orang-orang yang rela meninggalkan kampung halaman, baik harta maupun keluarga mereka yang ada di Mekkah demi mengikuti Nabi di Madinah, kaum ini terdiri dari sahabat sahabat Nabi yang berjuang dan telah terukir nama-namanya di sejarah seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan lainnya. Sedangkan kaum Anshar adalah orang-orang yang rela menolong dan membantu segala kebutuhan Nabi dan para sahabat beliau selama mereka menetap di Madinah, baik dalam hal moril maupun materil, oleh karena itu mereka disebut kaum Anshar (umat penolong).8

Selain daripada kaum Muhajirin dan Anshar, ketika itu juga muncul kaum nasrani yang menyembah berhala. Kelompok-kelompok tersebut pada saat itu bersama-sama menyambut dan menerima kehadiran Muhammad s.a.w. walaupun ada sebagian kaum yahudi yang tidak suka dengan kehadiran Nabi mencoba untuk menggeser kepemimpinan Nabi bahkan sempat menjalin kerja sama dengan Quraisy Mekkah untuk memusuhi Islam.9

Kebijakan politik yang pertama kali ditempuh Nabi adalah upaya menghapuskan jurang pemisah antar suku-suku dan berusaha menyatukan seluruh penduduk Madinah sebagai suatu kesatuan masyarakat. Pada sisi lainnya Nabi berusaha mempererat hubungan antara masyarakat Anshar dan Muhajirin, melalui ikatan persaudaraan antar mereka. Nabi sangat menyadari bahwa dasar fondasi imperium Islam tidak akan kuat kecuali didasari oleh kerukunan dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang majemuk yang sangat diperlukan adalah sikap toleransi antar umat beragama. Dalam hal ini kebijakan yang ditempuh Nabi bersandar pada prinsip “saling hidup menghidupi”.

Sosio kultural yang dibangun oleh Rosul pada masyarakat Madinah, telah berhasil menghilangkan sekat dan membangun persaudaraan yang begitu kuat, dan menghilangkan sikap sekterianisme atau kesukuan. Dalam waktu yang cukup singkat beberapa aliran keagamaan juga bersatu antara Islam, Nasrani, dan Yahudi, begitupun dengan kaum ploretarian dengan kaum borjuis. Semua itu dibangun berdasarkan asas-asas yang diterapkan oleh Rosulullah s.a.w. diantaranya adalah: al-ikha, al-musawah, al-tasamuh, al-tasyawur, al-ta’awun, dan al-adalah.11

  1. Al-Ikha (Persaudaraan) menjadi asas pertama yang diletakan oleh Rosul sebagai pondasi dalam membangun Islam. Pada asas ini kita perlu menerapkan konsep Ta’aruf (saling mengenal), juga di ikuti dengan konsep Tafahum (saling memahami), sehingga asas persaudaraan tidak sekedar tau, tapi juga saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Dua konsep Ta’aruf dan Tafahum akan menciptakan rasa Tsiqah (saling mempercayai) dan hal ini merupakan bekal penting dalam menciptakan peradaban.
  2. Al-Musawah (Persamaan), dalam bahasa aktifisme dikenal dengan kata egaliter atau setara. Ajaran rosulullah menegaskan bahwa semua manusia adalah sama dihadapan Allah, dan yang membedakannya hanyalah ketaqwaan. Esensi dari ajaran tersebut adalah menghilangkan sekat-sekat sosial, kaya dengan miskin, akademisi dan bukan akademisi, bahkan senior dan junior. Asas Al-Musawah ini telah meruntuhkan eksploitasi terhadap status sosial seseorang, namun di sisi lain asas Al-Musawah ini perlu di dudukan pada peran dan fungsinya.
  3. Al-Tasamuh (Toleransi), dalam konteks organisasi asas ini diletakan untuk memberikan kedewasaan berfikir dan bersikap dalam organisasi, bahwa kita harus memiliki rasa toleransi terhadap perbedaan pendapat dan argumentasi. Kita harus saling menghargai dan menilai bahwa dibalik pendapat seseorang ada niat baik yang tulus dan suci. Dengan asas Al-Tasamuh ini aktifitas berorganisasi menjadi tanpa beban ketika kita dihadapkan pada perbedaan-perbedaan, sebab kita menyadari bahwa belum tentu diri kita atau pendapat kita itu lebih baik dari orang lain.
  4. Al-Tasyawur (Musyawarah), corak masyarakat di Indonesia telah sejak lama diwarnai oleh asas musyawarah, sebagaimana sila ke empat yang meletakan asas musyawarah perwakilan sebagai Grundnorm (Norma Dasar). Segala bentuk keputusan dan kebijakan di Pemuda Persis harus didasarkan pada asas musyawarah, sehingga tidak ada dominasi pendapat mayoritas atas pendapat minoritas, Asas ini harus menjadi identitas Pemuda Persis sehingga menolak asumsi bahwa Pemuda Persis adalah gerakan non-kolektif, justru Pemuda Persis adalah cerminan gerakan kolektif islam yang di dalamnya memberikan arti dan makna sesungguhnya tentang kolektif itu melalui asas Al-Tasyawur.
  5. Al-Ta’awun (Tolong menolong) dalam berbuat kebajikan merupakan tugas moril seorang aktifis Pemuda Persis. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqoroh ayat 148 “… maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan”, asas ini merupakan tingkatan tertinggi dalam penerapan Ukhuwwah Islamiyyah, rasa persaudaraan itu tidak hanya kita mengenal dan memahami namun jauh dari itu kitapun siap berkorban untuk saudara kita. Bahkan kepentingan saudara kita berada di atas kepentingan kita sendiri, dalam arti lain kita lebih mencintai saudara kita dibandingkan dengan mencintai diri kita sendiri. Berdasarkan asas inilah kemudian lahir konsep Tadhiyah (pengorbanan), konsep ini tidak hanya sebatas pengorbanan secara materil (harta) namun juga secara moril (jiwa).
  6. Al-Adalah (Keadilan), asas ini erat kaitannya dengan hak dan kewajiban kita sebagai aktifis Pemuda Persis. di sisi lain kita memiliki hak-hak untuk di dapatkan, di sisi lain juga kita memiliki kewajiban untuk ditunaikan. Asas ini akan meletakan posisi kita pada tugas dan fungsinya masing-masing, banyak ruang yang harus di isi oleh Pemuda Persis, oleh sebab itu tugas kita adalah berbagi peran secara adil, serta mengisi segala aspek yang diperlukan dalam membangun, menciptakan, merawat dan menjaga peradaban.

Keimanan dan Ukhuwah haruslah menjadi modal utama bagi Pemuda Persis dalam membangun, menciptakan, merawat dan menjaga Peradaban. Pemuda Persis harus mampu melahirkan sebuah sosio kultural dengan berpijak pada ke-enam asas di atas, dari sosio kultural itulah kemudian pemuda persis meninggalkan titik-titik Peradabannya.

 

 

 

Referensi:

  • Muhammad Ridha al-Muzhaffar, al-Manthiq hlm 15, dikutip dari buku “Ilmu Mantik, panduan mudah dan lengkap untuk memahami kaidah berpikir” Muhammad Nuruddin, Depok: Keira, 2019 hal 32
  • Ibid hal 33
  • Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 angka 14 Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut di duga sebagai pelaku tindak pidana, lebih lengkap penjelasan tentang terminology Tersangka dalam hukum pidana dapat membaca Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Vol 17, No 2 (2017).
  • Mohd Syahmir Alias, “Tingkat-tingkat keyakinan Ilmu dalam Islam: Suatu Penelitian Aksiologis”, Jurnal ‘Ulwan Jilid 1 2017 hal 9
  • Al-Jurjānī, Kitâb at-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983, hlm. 80 dikutip dari Abdul Rahman Umar, “Konsep Jahl dalam Al-Quran” Râyah al-Islâm: Jurnal Ilmu Islam – Volume: 1, No. 1 (April) 2016, hal 54 – 55
  • Pasal 4 Qaidah Asasi Pemuda Persis tahun 2015 – 2020, “Pemuda Persis bersifat organisasi kader dan harakah tajdid” hal 14
  • Ulfa Kesuma dan Ahmad Wahyu H, “Pemikiran Thomas S. Khun Teori Revolusi Paradigma” Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam, Volume 21 Nomor 2 September 2020, hal 166
  • Pasal 4 Qaidah Asasi Pemuda Persis tahun 2015 – 2020, “Pemuda Persis bersifat organisasi kader dan harakah tajdid” hal 1
  • K Ali, “Sejarah Islam (Tarikh Pramodern)”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003 hal 62
  • Ibid, hal 64
  • Ibid, hal 65-66
  • Siti Mariyam dkk, “Sejarah Peradaban Islam, Dari Masa Klasik Hingga Modern”, Yogyakarta: Lesfi, 2009, hal 32
Reporter: Reporter Editor: admin