Oleh: HIMA PERSIS DIY
Selayang Pandang
Persatuan Islam atau akrab dikenal sebagai PERSIS merupakan organisasi masyarakat (ormas) sekaligus rahim bagi terlahirnya tokoh-tokoh besar, mulai dari pemikir, politikus, hingga ulama besar. Seperti, A. Hassan yang masyhur dengan pendekatan debat dan menulis sebagai jalan dakwahnya (Hizbullah, 2014, hlm. 289), dan Mohammad Natsir yang dikenal sebagai negarawan sejati. Bahkan dalam perjalannya, Natsir telah mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan lewat Mosi Integral Nastir-nya pada 3 April 1950 (Tobroni, 2017).
Pada masa awal pembentukkannya, memang benar jika ormas yang lahir 12 September 1923 ini terkesan keras dan tidak mencla-mencle dalam menyebarkan dakwahnya. Hal tersebut berdampak pada persepsi masyarakat terhdapnya. Akibat pendekatan komunikasi seperti itu, Noorracman (2019, hlm. 5) memaparkan jumlah pengikut PERSIS menjadi sedikit dan tidak berkembang pesat layaknya yang terjadi pada ormas Islam lainnya yang sezaman.
Selain itu apa yang hadir kini serta upaya dakwah Persatuan Islam masih dalam lingkup fikih, muamalah, dan sebagainya, belum sampai kepada isu penting lainnya di luar masalah teologis, salah satunya adalah isu ekologis atau lingkungan. Dapat dilihat “kawan sejawat”-nya dari kalangan ormas lain, semisal Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang turut memberi kontribusi besar terhadap isu lingkungan. Bahkan, pada Juli 2009 silam, keduanya diberi mandat sebagai delegasi dalam sebuah forum “Muslim Sever Year Action Plan for Cilmate Vhange Action” yang menghasilkan implementasi berkelanjutan terkait masalah lingkungan, semisal penerapan Eko-Pesantren, Eko-Masjid, Green Haji, dan Kota Hijau Berkelanjutan (Priyono, 2022).
Absennya PERSIS dalam isu lingkungan menjadi hal yang sangat disayangkan, mengingat pada tahun mendatang umur organisasi yang berporos di Jawa Barat ini genap 100 tahun. Oleh karena itu menjadi suatu keharusan bagi salah satu ormas Islam tertua untuk terjun dan merambah ke wacana serta kajian ekologis. Maka berangkat dari permasalah ini tulisan ini dibuat, sebagai suatu pandangan yang terbarukan, sebagaimana label PERSIS sebagai kaum berhaluan modernis.
Pembahasan
Islam dengan sematan rahmat bagi seluruh alam semesta, sudah seharusnya memiliki kepekaan lebih terhadap isu lingkungan. Nahasnya, dengan mayoritas umat muslim terbanyak sedunia, Indonesia masih abai dan minim dalam perawatan serta menjaga lingkungan. Hal ini terbukti dengan adanya data bahwa masalah umat Islam saat ini tidak adanya kesadaran mengimplementasikan ajaran Islam tentang lingkungan, serta islamisasi dalam menjaga keseimbangan alam pun belum terlihat (Ramadhan, 2021).
Saputro menjelaskan (2018, hlm. 3), realitas hari ini adalah realitas hadirnya pemahaman bahwa fragmentasi antara alam dan agama membawa kesan bahwa persoalan-persoalan ke-alam-an bukan bagian dari persoalan ukhrawi. Seolah-olah agama lebih merujuk pada nilai-nilai teologis dan sosial serta menyepelekan krisis ekologi yang tak kalah pentingnya dihadapi oleh seluruh umat manusia modern ini, baik skala nasional maupun global. Krisis ekologi secara umum telah menyebabkan berbagai masalah dalam kategori fatal seperti bencana alam, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan populasi serta degradasi dan hilangnya sumber daya alam (Fua, 2014, hlm. 20).
Padahal teks agama sendiri, seperti misalnya dalam Al-Qur’an, telah menyiratkan begitu pentingnya relasi manusia dengan alam ini. Dalam analisis yang dilakukan Syamsudin (2017) telah ditemukan bahwa sejatinya Allah mengajarkan asas kesatuan ekosistem global. Di mana hal demikian mengandung terminologis bahwa sejatinya isu lingkungan hidup itu akan senantiasa beriringan dan sejalan dengan baik dan buruknya perilaku manusia terhadap alam itu sendiri.
PERSIS dan Wacana Ekologis; Sebuah Grand Desgin
Jika menengok kawan modernisnya, Muhammadiyah, Ia telah mengambil langkah lebih dulu untuk permasalahan lingkungan. Dalam tulisannya, Setiawan (2022) memaparkan dengan kehadiran Majelis Lingkungan Hidup menjadi indikator kesuseksesan Muhammadiyah dalam mengimplementasikan triloginya; healing, heading, dan schooling. Lahirnya lembaga kajian yang fokus merespona dan mengkaji isu lingkungan telah memberi corak baru bagi ormas Islam sendiri khususnya.
Di sisi lain PERSIS sendiri perihal isu lingkungan, masih belum memiliki kesadaran struktural, masih personal. Dengan kata lain, pemufakatan, pengkajian, dan hal yang menyangkut ekologis masih berada di taraf paradigma para anggotanya, belum sampai kepada suatu kelembagaan yang memang benar-benar fokus untuk menelaahnya lebih dalam lagi, seperti NU yang telah membentuk Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) pada tahun 2010.
Hal ini dapat dilihat dari produktivitas karya tulis atau kajian agama yang membahas lingkungan dalam perspektif Islam. Seperti dalam lingkup Muhammadiyah, ada buku mengenai isu ini, di antaranya Teologi Lingkungan, Akhlak Lingkungan, dan Fikih Air. Sedangkan untuk PERSIS sendiri, seperti yang disebutkan sebelumnya, hingga kini belum ada buku yang mengatasnamakan PERSIS itu sendiri, sebut saja Fikih Maritim karya Lamlam Pahala, anggota Dewan Tafkir PP PERSIS, Maman Abdurrahman mantan Ketua Umum PP PERSIS 2010-2015 dengan Memelihara Lingkungan dalam Ajaran Islam serta Eko-Terorisme: Membangun Paradigma Fikih Lingkungan (Ridwanuddin, 2021).
Penutup
Dari pemaparan singkat demikian, sedikit banyaknya dapat diketahui. Sebetulnya esensi Islam bukan hanya sebatas teologis yang selanjutnya menyangkut peribadatan, tidak. Lebih dari itu, agama perlu dipahami lebih luas. Mengingat umat Islam kini kehilangan jati dirinya; Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam arti bahwa umat Islam mengetahui teks-teks agama, tetapi yang perlu dilakukan itu lebih dari hanya sekedar tahu, yaitu bagaimana hal tersebut diamalkan melalui tindakan yang nyata.
Sebagai ormas golongan modernis yang memecah kemandegan agar setiap muslim berfikir kritis, sudah seharusnya PERSIS membuka dirinya untuk terjun langsung dalam masalah ekologi yang sudah dirasa urgen ini. Inilah langkah awal yang dapat dilakukan Persatuan Islam agar bisa berumur panjang, dan tentunya diakui ataupun tidak sudah seharusnya PERSIS berbenah diri, intropeksi, dan mulai mencanangkan ide-idenya untuk menjadi lebih baik lagi.
Daftar Pustaka
Fua, J. L. (2014). Aktualisasi Pendidikan Islam dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menuju Kesalehan Ekologis. Al-TA’DIB: Jurnal Kajian Ilmu Kependidikan, 7(1), 19–36. https://doi.org/10.31332/atdb.v7i1.241
Hizbullah, N. (2014). Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama Dan Pejuang Pemikiran Islam Di Nusantara Dan Semenanjung Melayu. Buletin Al-Turas, 20(2), 285–296. https://doi.org/10.15408/bat.v20i2.3761
Noorrachman, Much. M. (2019). Strategi Dakwah Persatuan Islam (PERSIS) Melalui Program “PERSIS Dakwart” [Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah]. https://doi.org/10/1_cover.pdf
Priyono, J. (2022, Februari 1). Nahdlatul Ulama, Ekologi, dan Krisis Iklim. Alif.ID. https://alif.id/read/joko-priyono/nahdlatul-ulama-ekologi-dan-krisis-iklim-b241860p/
Ramadhan, D. N. S. (2021, Juni 9). “Generasi Terakhir” ingatkan peran Muslim menjaga alam dari krisis. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/2202426/generasi-terakhir-ingatkan-peran-muslim-menjaga-alam-dari-krisis
Ridwanuddin, P. (2021, September 24). 98 Tahun PERSIS: Gairahkan Dakwah Ekologis. IBTimes.ID. https://ibtimes.id/dakwah-ekologis/
Saputro, A. D. B. (2018). Nilai-nilai Pendidikan Ekologi dalam Al-qur’an: Analisis Tafsir Maudhu’i karya tim Kementerian Agama RI [Masters, UIN Maulana Malik Ibrahim]. http://etheses.uin-malang.ac.id/10020/
Setiawan, H. (2022, Maret 14). Menghijaukan Muhammadiyah Melalui Gebrakan Ecotheology. GEOTIMES. https://geotimes.id/opini/menghijaukan-muhammadiyah-melalui-gebrakan-ecotheology/
Syamsudin, M. (2017). Krisis Ekologi Global dalam Perspektif Islam. Jurnal Sosiologi Reflektif, 11(2), 83–106. https://doi.org/10.14421/jsr.v11i2.1353
Tobroni, R. (2017). Komunikasi Politik Mohammad Natsir. Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 39–60. https://doi.org/10.15575/cjik.v1i1.1208
Editor: Dhanyawan