Rencana Ekspor Ganja, Dr. Latief Awaludin: "Banyak Madharat daripada Manfaatnya".

oleh Reporter

02 Februari 2020 | 08:50

Bandung – persis.or.id, Usulan Legalisasi ganja Aceh yang yang digagas oleh politikus PKS Rafly dalam rapat Komisi VI DPR dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Kamis, 30 Januari 2020 merupakan gagasan yang berani tapi membahayakan. 
Dengan dalil pemanfaatan ganja Aceh untuk bahan baku kebutuhan medis dan turunannya, berkualitas eksport ke seluruh dunia yang membutuhkan, dan akan diatur dalam regulasi dan dikawal oleh negara sehingga menjadi pendapatan negara dan tentunya berdampak ekonomi kepada petani dan pengusaha. 
Dalil ini tidak bisa dibenarkan dalam pandangan ketua Bidang Garapan (Bidgar) Ekonomi dan Keuangan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Dr. Latief Awaludin kepda persis.or.id, Jum'at (31/1/2020)
Ganja (hasyisy) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya, tetrahidrokanabinol yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab). Tanaman ganja biasanya dibuat menjadi rokok mariyuan. Daun ganja bila diolah sedemikian rupa menjadi lintingan rokok, dibakar lalu asapnya dihirup, akan menimbulkan iskar (mabuk). 
Latief menjelaskan, dalam prespektif hukum Islam, dengan demikian jelas secara substansi ganja dewasa ini cenderung dijadikan bahan yang bisa mengarahkan kepada kemungkaran yakni memabukkan dan merusak akal sehingga statusnya sama dengan khamer. adanya unsur manfaat penggunaan ganja untuk dewasa ini sulit dikendalikan karena pemanfatannya  sudah menjadi zat adaptif yang membahayakan.
"Status hukum ganja sebelumnya difatwakan boleh (halal) oleh sebagian para ulama karena sudah menjadi budaya Aceh dimanfaatkan sebagai bumbu masakan, namun kondisi dewasa ini berubah"' ucap Latief.
Doktor Ekonomi Islam itu juga menerangkan, dalam kaidah para ulama ushul, hukum berubah karena perubahan kondisi, kebiasaan dan kemaslahatan. "Faktanya hari ini penggunaan ganja untuk kemungkaran di tengah rusaknya moral  manusia dan tentu dampaknya merusak generasi muda" tegasnya. 
“Dalam menghukumi sesuatu, hendaknya harus mengutamakan sisi madharat (bahaya/negatifnya) dari pada sisi manfaat (positif)”, ujar Latief.
Beliau juga menambahkan, bahwa dugaan ekspor ganja akan berdampak positif secara ekonomi belum tentu, justru sebaliknya bisa menemukan ganjalan dan pertentangan baik secara hukum, ekonomi, sosial dan politik, maka sesuai  kaidah fiqh menolak mafsadat harus didahulukan dari pada meraih manfaat.
"Cukup jelas, selain diharamkan secara syariat, dalam hukum positif ganja tidak dapat dilegalkan di Indonesia karena akan bertentangan dengan UN Single Convention 1961 dan UN Convention 1988 tentang narkotika dan obat-obat terlarang" tambahnya. 
Latief menegaskan, bahwa dalam konvensi tersebut disebutkan segala perbuatan yang menyangkut masalah ganja adalah sebuah tindak pidana yang harus dikenakan hukuman yang setimpal dengan hukuman penjara. Ketentuan-ketentuan dari kedua konvensi tersebut telah diratifikasi dan diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, baik mengenai penggolongan ganja dalam narkotika golongan I maupun ketentuan pidana yang cukup berat. (HL/JJ)

Reporter: Reporter Editor: admin