Retrospeksi Sejarah Muktamar: Respon dan Usulan

oleh Reporter

09 Mei 2020 | 11:16

Oleh: Dr. Pepen Irpan
Tulisan ini hadir pasca-diskusi online Dewan Tafkir tentang sejarah “Dari Muktamar Ke Muktamar.” Namun sebelum lebih jauh, ana terlebih dahulu ingin menghaturkan terima kasih kepada al-ustadz Uyun, al-ustadz Hasan Ridwan, dan al-Ustadz Haris Muslim—atas respon positif terhadap satu-dua catatan ana terkait Muktamar. Wabilkhusus, juga kepada kang Muslim Mufti, laksana “kakak” yang selalu mendorong “adiknya.” Maaf, apresiasi ini telat dituliskan, karena ana mesti rehat dulu.   
Coretan sederhana ana tentang Retrospeksi Muktamar Persis hanyalah reflektif. Ana sebelumnya mohon izin kepada Ketua Dewan Tafkir, bahwa kaitan dengan ide-idenya itu sendiri tidak dituliskan, namun hendak langsung “diutarakan secara lisan" dalam forum diskusi. Tadinya, ana pikir, itu akan lebih efektif. Namun, senyatanya, malah berkebalikan. Selain karena kondisi fisik yang sedang tidak fit, juga masalah “waktu”—yang sama sekali tidak terperhitungkan oleh ana.  

Sebagai sejarahwan, tentu setelah merefleksi masa lampau, maka pertanyaannya kemudian adalah: so what? Apa benang merahnya dengan hari ini, dengan Muktamar 2000? Masa lampau itu terlalu luas, seyogyanya apa yang dipilih oleh kita untuk “sengaja diberitahukan sebagai pengetahuan sejarah” kepada publik jamiyyah hari ini? Dalam konteks itulah, kenapa kemudian diambil tagline—apa yang ana sebut—sebagai dan berupa “to add value for Muktamar itself.” 
Tentu, value-added ini tidak akan muncul setiap kali Muktamar. Ia muncul hanya ketika hadir aktor (bukan personal, namun lebih bersifat kelompok) yang tepat pada momentum sejarahnya. Aktor yang “berinteraksi” dengan struktur sosial (budaya, politik dan ekonomi) yang melingkarinya. Aktor yang kemudian mempunyai gagasan untuk “mengubah” dan sekaligus “bertempur” untuk “perubahan” yang dicita-citakannya itu. Termasuk pada Jam’iyyah kita tercinta. 
Dengan begini, maka jelas bagi kita, bahwa Muktamar dalam momentum tertentu, tidak hanya sekedar menjadi “panggung politik”: kompetisi kepemimpinan dan oleh karenanya menjadi penahbisan kekuasaan jamiyyah. Tentu, ada momen tertentu, ketika Muktamar menjadi—apa yang ana sebut: “panggung ide.” Ketika momen ini hadir—dan berbahagialah muktamirin yang menjadi saksi sejarah momen tersebut—aktor-aktor Jamiyyah muncul dengan gagasan-gagasan besarnya. Dialektika sejarah mun muncul. Ketajaman gagasan dari sang aktor Jamiyyah “diasah” dengan tantangan-tantangan krusial. Dan Muktamar pada momen itulah puncak-klimaksnya. Muktamar menjadi ‘panggung ide’ para pemimpin jamiyyah yang visioner.
Kaitan dengan visi pula yang kemudian ditonjolkan sebagai value-added dalam tulisan tersebut. Namun, tentu kita mudah menyebut—misal untuk Muktamar 2000—perlunya ide-ide yang visioner. Lalu, seperti apa yang yang disebut gagasan visioner itu? Seperti mudahnya kita berucap: ke depan kita harus ini dan itu. Its’s ok, so what?  Ini yang kemudian jadi “problem perencanaan”: antara utopia vis-à-vis visibilitas. Antara, di lain pihak, struktur berhadapan dengan kultur.  
Disinilah, dalam tulisan retrospeksi Dari Muktamar ke Muktamar, pembahasan tiba-tiba dimulai dengan ide “Djihad Terentjana”-nya dari ustadz M. Isa Anshary era 1950-an. Sebuah strijdprogram dan urgensieprogram. Sengaja pula ana sebut umur ustadz Isa Anshary waktu itu: 43 tahun—sebagai pengingat kepada generasi muda Persis hari ini. Kelebihan Isa Anshary, ia tidak hanya bicara tentang “djihad terentjana”, tapi juga menyusun formula perencanaannya. Nyaris hampir sempurna di dua karya legendarisnya: Falsafah Perdjuangan Islam dan Manifest Perdjuangan Persatoean Islam. Disamping elaborasi sejarah dan norma-norma agama, ustadz Isa Anshary juga mengulas tantangan umat Islam, tidak hanya masalah komunisme tapi juga nativisme, liberalisme, opportunism, dan reformisme (dalam artian negatif). Ustadz Isa juga berbicara tentang model strategi perjuangan yang berbeda: Amar Ma’ruf dengan pola bottom-up, sementara Nahi Munkar dengan pola sebaliknya, top-down.        
Sesungguhnya, ana mengharapkan diskusi yang mengelaborasi aspek perencanaannya itu, serta gradasi perjuangan yang ditetapkannya: Bermula dari apa, menuju ke mana, tahapan yang harus dilalui, dan ultimate goal: target utama yang ingin dicapai.  Tadinya ana berpikir akan ada diskusi, salah satu respon yang muncul terutama dari kader muda, adalah: Manifest Perjuangan Persis jilid II di era Milenium kedua. Tentu dengan konten dan gradasi yang berbeda, karena momentum Muktamar 2000 juga berbeda. Misalnya saja, mengutip idenya Prof. Kunto, adalah semacam Manifest Keilmuan Persis (ini sekedar misal saja).
Kembali ke soal perencanaan. Salah satu bagian yang krusial dalam Perencanaan Jangka Panjang Jam’iyyah adalah milestone. Puncak-puncak tahapan dari gradasi yang ditetapkan. Setiap tahap ada puncaknya, sebelum dalam beberapa tahap, menuju ke puncak yang utama ( ultimate goal). Namun, ini hanya bisa disusun rapih jika kita telah menetapkan “ujung tahapan” yang ingin dicapai tersebut, serta “posisi” jam’iyyah di saat sekarang ini.
Oleh karena itulah, ana bicara terkait indikator dan dimulai dengan evaluasi dalam sebuah perencanan. Namun bukan sekedar evaluasi kegiatan, misalnya apakah kegiatan ini terlaksana atau tidak. Harus evaluasi yang mendasar. Yakni, evaluasi yang dikaitkan dengan impack. Ada dua orientasi evaluasi mendasar ini. Pertama, dampak kehadiran jam’iyyah di tengah masyarakat umum (ummat Islam dan bahkan non-muslim serta negara). Kedua, dampak kehadiran jamiyyah khusus pada anggotanya sendiri. Harus real, valid dan tentu saja terukur. Indikatornya harus jelas. Dari hasil evaluasi mendasar inilah, kita menjadi tahu “posisi kita saat ini” menuju tujuan yang ingin kita capai.      
Dan supaya perencanaan jam’iyyah ini terkelola dengan baik, maka faktor penting selanjutnya adalah kepemimpinan. Namun kepemimpinan yang dimaksud bukan terkait Ketua Umum an sich. Kolektivisme dan kolaborasi adalah kata kunci di era Milenium ini, menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Jadi, pada Jamiyyah, dengan begini tidak diharapkan lagi muncul sistem kepemimpinan tunggal. Oleh karena itu, secara Qanuni, diusulkan penyusunan formula baru tentang kepemimpinan kolektif-kolegial. Termasuk pada Muktamar 2000, sebagai konsekuensinya tidak lagi memilih seorang Ketua Umum, namun justeru memilih figur-figur utama yang menjadi “Pemimpin Kolektif Jam’iyyah.” 
Tidak berhenti disitu. Hal penting yang harus kita sadari adalah terkait system adaptasi dan masa transisional. Setiap perubahan membutuhkan keduanya ini. Baik perubahan transformatif Jamiyyah yang bersifat kultural, ataupun perubahan rekayasa Jamiyyah ( social engeneering) yang bersifat struktural. Dan strategi adaptasi serta transisi ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari tahapan Perencanaan Jangka Panjang Jamiyyah itu sendiri. Dan jika itu diawali di Muktamar 2000 kali ini, maka kita sekaligus adalah generasi transisional tersebut. Transisi menuju era Tinggal Landas Jamiyyah Persis. The second generation in the new millennium of Persis! 
Tulisan reflektif tentang retrospeksi Muktamar diakhiri dengan cerita tentang “Al-Jama’ah”. Tentang visi-misi Jamiyyah yang berwawasan Al-Jama’ah pada era duet ust. Shidiq Amin dan ust. Entang Muchtar. Entah kebetulan menjadi close statement, atau memang garis sejarah para pemimpin Persis itu sendiri, sesungguhnya itu dimaksudkan sebagai proses kesinambungan—yang dipahami oleh para pendahulu kita—jihad Jam’iyyah. Sebuah “benang merah” yang disarikan oleh para guru kita—tentang gerak pendulum sejarah jihad Persis. ( Wal-Lâhu a’lam). 
Sekali lagi, ana menghaturkan terima kasih kepada para senior Jamiyyah yang mau mendengarkan “ocehan” kader muda Persis yang masih “seumur jagung” ini. Bâarakal-Lâh fîkum.

Merdeka-Grt, 080520
Be A Bee!
*) Anggota Dewan Tafkir Persis 2016-2020

Reporter: Reporter Editor: admin