Penulis: Parid Ridwanuddin
(Alumnus PPI 76 Tarogong Garut, Pegiat Lingkungan Hidup, Jamaah Green Faith Indonesia)
Setelah menulis sekelumit isu keadilan antargenerasi di harian Pikiran Rakyat pekan lalu bagi PERSIS yang kini sedang menghelat muktamar ke-16 di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang layak mengembang kepeminpinan untuk mengemban mandat dan menjalankan gagasan kemajuan PERSIS?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting dijelaskan apa itu "gagasan kemajuan PERSIS". Apakah PERSIS punya gagasan kemajuan? untuk menjawab pertanyaan ini, saya selalu mengutip definisi Islam modernis yang banyak dikemukakan oleh para sarjana. Kenapa Islam modernis? kelahiran PERSIS, begitu juga Muhammadiyah dan gerakan keagamaan lainnya, pada abad ke-20, adalah indikator dimulainya masyarakat Islam modern di Indonesia. Begitu pernyataan Mukti Ali dalam bukunya Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia.
Di antara gagasan utama kaum modernis adalah penekananya yang sangat kuat untuk melakukan ijtihad, khususnya ijtihad dalam permasalahan yang bersifat muamalah (kemasyarakatan) dan penolakannya yang sangat kuat terhadap sikap jumud serta taklid dalam beragama. Dalam bahasa lain, ciri atau semangat dari modernisme adalah kepercayaan dan pendiriannya yang sangat kuat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Bagi kaum modernis, selain praktek taklid harus dihilangkan dalam beragama, pada saat yang sama mereka menyerukan bahwa ajaran Islam harus diterjemahkan secara rasional sehingga mampu menjawab persoalan dalam dunia modern. Oleh sebab itu, berusaha menghadirkan Islam dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan zaman merupakan satu kepentingan kaum modernis.
Jika berhenti pada titik ini, kita akan melihat betapa PERSIS, sebagai gerakan modernis, memiliki gagasan kemajuan. Inilah yang membuktikan kenapa ornag-orang semacam A. Hasan dan M. Natsir berminat bergabung dengan PERSIS. Bahkan, Bung Karno sangat berminat dengan gagasan-gagasan kemajuan PERSIS pada masanya. Dengan memiliki gagasan kemajuan ini, PERSIS tidak berarti harus mengumandangkan jargon "Islam Berkemajuan" seperti Muhammadiyah. PERSIS perlu memiliki jargon sendiri dalam memberikan warna keislaman di Indonesia bahkan dunia.
Sayangnya, gagasan kemajuan PERSIS, selama ini hilang dalam wacana keislaman, keumatan, kemanusiaan, serta wacana penyelamatan kehidupan. Jika wacananya tidak ada, bagaimana kita bisa menemukan aksi atau gerakan yang mengartikulasikan gagasan kemajuan PERSIS? Kenapa gagasan kemajuan PERSIS tidak pernah muncul? Di antara persoalannya adalah PERSIS sejak lama terlalu fokus pada gerakan "inward looking", suatu pola gerakan yang ditempuh oleh organisasi yang hidup di era politik tertutup. Jika saat ini kita hidup di era politik terbuka, maka seharusnya geraknnya adalah "outward looking".
Di antara hal yang mendorong PERSIS terus berada pada posisi "inward looking" adalah corak kepemimpinan PERSIS yang homogen, terutama dalam disiplin ilmu pengetahuan. kepemimpinan yang dimaksud tentu tidak hanya di level pusat, tetapi juga sampai ke level akar rumput. Untuk mengubah PERSIS menjadi organisasi yang bergerak secara "outward looking", perlu didorong keragaman atau heterogenitas disiplin ilmu pengetahuan mulai dari level atas sampai akar rumput.
Hal berbeda, terlihat di kalangan anak-anak muda PERSIS, terutama di kalangan himpunan mahasiswa. Telah banyak kader PERSIS yang mendalami ilmu-ilmu di luar disiplin ilmu yang mainstream di PERSIS. Keragaman disiplin ilmu ini akan menjadi kekuatan PERSIS pada masa yang akan datang jika dikelola dengan baik.
Tak hanya itu, karena terlalu fokus pada gerakan "inward looking", PERSIS sejak lama telah mengalami beragam transformasi kelembagaan, tetapi tidak diimbangi dengan transformasi gagasan.
Untuk mengurai persoalan semacam ini, diperlukan sosok pemimpin yang dinilai memahami akar persoalan.
Tak hanya itu, sosok pemimpin ini juga wajib memiliki penguasaan disiplin ilmu-ilmu keislaman, sekaligus ilmu-ilmu non-Islamic Studies yang saling melengkapi dan memperkuat perspektif perubahan di PERSIS. Dari sekian nama yang beredar, nama Atip Latiful Hayat (Kang Atip) tampaknya sangat memberikan harapan untuk mengemban dan menjalankan mandat serta gagasan kemajuan di PERSIS.
Dengan latar belakang dan kepakaran ilmu dalam bidang hukum internasional, kekayaan pengalaman dalam berorganisasi, keluasan jaringan nasional sekaligus internasional, kefakihan dalam ilmu-ilmu keislaman, serta konsistensi sikap, Kang Atip dapat membawa PERSIS menjadi organisasi yang mampu melakukan tranformasi gerakan dari "inward looking" menjadi "outward looking". Lebih jauh, dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, Atip dinilai akan mampu menjadikan PERSIS sebagai gerakan Islam yang dihormati tak hanya di level nasional, tetapi juga di level global.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa pewaris gagasan modernisme Islam di tubuh PERSIS ada pada diri Kang Atip. Hal ini telah ia buktikan dalam perjalanan panjang karir keilmuwan plus keulamaaannya selama ini. Salah satu misi pentingnya adalah "menghadirkan Islam" pada abad kedua PERSIS. Ini adalah jargon modernisme Islam yang telah lama hilang dalam tubuh PERSIS.
Pada dekade-dekade mandatang, PERSIS akan menghadapi tantangan yang kompleks, di antaranya tantangan dunia yang semakin digital dan terhubung melalui internet, kesenjangan pendidikan, degradasi lingkungan hidup, krisis iklim, kompetisi antar negara, dan beragam tantangan lainnya. Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, kekautaan SDM PERSIS penting disiapkan. Pada titik inilah, keberagaman penguasaan disiplin ilmu pengetahuan wajib dimiliki oleh kader-kader PERSIS. Dalam situasi semacam ituah, komitmen Kang Atip tentang konvergansi ilmu pengetahuan akan terbukti serta terartikulasikan dengan sangat baik.
Akhirnya, keputusan politik mengenai pemimpin PERSIS untuk satu periode ke depan ada di tangan para muktamirin. Namun, masa depan PERSIS ada di tangan kader-kader muda PERSIS yang saat ini sedang menempuh sekolah di beragam perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri.
[]