Hikmah Umar bin Khattab dan Penjarahan Rumah DPR dalam Persepktif Kausalitas
Oleh. Usman Adhim, S.H.I.*
Fenomena penjarahan rumah sejumlah anggota DPR yang tengah didemo rakyat bukanlah peristiwa yang lahir dalam ruang kosong. Ia bukan sekadar tindak kriminal yang bisa diberi label hitam-putih dengan mudah, melainkan sebuah ledakan sosial yang menyimpan banyak lapisan sebab-akibat. Ketika rakyat menjarah, sebenarnya ada sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar hasrat menguasai barang orang lain: ada kemarahan, ada penghinaan, ada luka kolektif yang dipelihara oleh arogansi wakil-wakil rakyat itu sendiri.
Para anggota legislatif yang semestinya menjadi penyambung suara rakyat, justru sering menampilkan wajah kesombongan, mengabaikan aspirasi, bahkan mempermainkan amanah. Rakyat diperlakukan bagai objek, bukan subjek. Maka, penjarahan yang terjadi tidak bisa dibaca semata sebagai tindakan kriminal, melainkan juga sebagai reaksi keras terhadap perilaku politik yang mencederai nurani rakyat. Dalam ilmu hukum, hubungan sebab-akibat ini dikenal dengan istilah kausalitas.
Apakah tindakan ini salah? Secara hukum, jelas penjarahan adalah pelanggaran. Namun, jika menggunakan kacamata ilmu sosial dan etika, kita tak bisa serta-merta menyebut para pendemo itu maling. Sebab tindakan mereka bukan berangkat dari hasrat kriminal murni, melainkan dari perasaan terzalimi yang tak kunjung mendapat jalan keadilan. Mereka ingin menunjukkan bahwa arogansi tidak bisa dibiarkan, bahwa kesombongan elit harus dibalas dengan pesan keras yang tak terlupakan.
Pandangan untuk tidak terburu-buru meneriakkan "maling" kepada para pendemo yang menjarah rumah wakil rakyat menemukan relevansinya dalam sikap Khalifah Umar bin Khattab. Diriwayatkan dalam al-Muwaththa’ karya Imam Malik, suatu ketika Umar tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seorang budak yang mencuri karena kelaparan. Umar berkata:
"Apabila orang-orang kelaparan, lalu ia mencuri, maka tidak ada potong tangan atasnya."
Umar tidak serta-merta menghukum, melainkan menelusuri akar persoalan. Ia melihat bahwa pencurian itu lahir dari ketidakadilan sosial dan kegagalan majikan memenuhi hak pekerjanya. Maka, Umar menolak bersikap parsial. Ia lebih memilih jalan hikmah—membaca realitas dengan kacamata sebab-akibat.
Dalam ajaran Islam, prinsip ini dikenal dengan istilah al-jazā’ (balasan). Setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan setiap konsekuensi lahir dari sebab yang mendahuluinya. Al-Qur’an pun menegaskan prinsip ini:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ (٧ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ (٨)
"Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (QS. Al-Zalzalah: 7–8)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap tindakan pasti berbalas. Jika ada penjarahan rumah wakil rakyat, maka ia adalah al-jazā’ dari kesewenang-wenangan, dari arogansi, dari kesombongan yang ditunjukkan para wakil rakyat itu sendiri. Dengan demikian, tanggung jawab tidak hanya terletak pada pundak rakyat yang marah, tetapi terutama pada para politisi yang gagal menjaga amanah, hingga rakyat kehilangan sabar dan kendali.
Tulisan ini bukanlah pembenaran mutlak atas penjarahan oleh demonstran. Tetapi penting untuk difahami bahwa tindakan rakyat tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan, dari luka panjang, dan dari jarak yang semakin jauh antara rakyat dan wakilnya. Menyederhanakan masalah dengan label "maling" hanya akan menutup pintu refleksi dan menafikan akar yang sesungguhnya.
Maka, jika ada yang harus dipelajari dari peristiwa ini, pelajaran pertama ditujukan kepada para anggota DPR itu sendiri: bahwa kesombongan politik, pengkhianatan terhadap amanah, dan sikap meremehkan rakyat pada akhirnya bisa berbalik menjadi bumerang. Rakyat bisa marah, dan ketika amarah itu meledak, ia tak lagi mengenal batas.(*)
*Pemerhati Pendidikan & HKI
BACA JUGA:Ketua Umum PP PERSIS Ajak Masyarakat Jaga Kedamaian dan Persatuan Bangsa