Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam (PART 03)

oleh Rogifi Rogib Piddiin

09 Juli 2025 | 08:57

Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam (PART 03)

Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam

Rogifi Rogib Piddiin

Part III


Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam


1.Hadis Sebagai Sumber Hukum Kedua


Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran. Melalui rasul sebagai manusia mulia yang akan menjelaskan segala perkara yang ada di dalam Alquran melalui hadisnya. (Muḥammad al-Ṣabbaġ, 1981).Di antara dalilnya sebagai berikut:


... وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.


… dan kami telah menurunkan Alquran kepadamu (Muhammad) agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir. (QS. al-Nahl [16]: 44)


Maka dari itu, berdasarkan ayat di atas Rasul merupakan seseorang yang menjelaskan agama dengan rinci melalui hadisnya, dialah yang mengemban amanah dari Allah untuk menyampaikan risalah-Nya serta menjelaskan apa yang terkandung di dalam ayat-ayat-Nya.


Lebih lanjut lagi Imam al-Marâghî memberikan suatu penafsiran terhadap ayat di atas, bahwasanya Allah telah menurunkan Alquran kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam sebagai peringatan untuk umat manusia, agar mereka mengetahui apa yang Allah turunkan kepada mereka, di antaranya berbagai macam hukum dan syariat serta keadaan umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan (sebagai pelajaran) karena mereka membangkang terhadap para utusan Allah. Di samping itu, tugas Nabi juga ialah agar menjelaskan hukum yang masih samar dan merinci hukum yang masih mujmal secara bertahap. Dengan demikian hal tersebut dipaparkan agar bisa tersingkap berbagai macam syariat yang tersembunyi serta dapat dengan mudah untuk difahami dan diamalkan.(Muṣṭafā al-Marāġī, 1946)


Berdasarkan penafsiran Imam al-Marâghî di atas yang digaris bawahi bahwasanya Rasul itu yang akan menjelaskan hukum yang masih samar dan merinci hukum yang masih terlihat mujmal. Kedua hal tersebut tidak akan terealisasikan dengan matang dan sempurna melainkan melalui hadis Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam. Maka dari itu sangatlah berpengaruh hadis Rasulullah terhadap hukum Islam, karena literatur Islam tidak akan paripurna dan komprehensif tanpa adanya penjelasan dari hadis Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam  melalui qaul (ucapan), fi‘l (perilaku) dan taqrîr (ketetapan) beliau.

2.Hadis Sebagai Bayân (Penjelas) Alquran


Alquran merupakan sumber hukum dan ajaran Islam yang memuat dalil-dalil yang bersifat umum dan global. Maka dari itu hadis akan menjelaskan dan merinci apa yang ada dalam Alquran, di antaranya ayatnya ada yang bersifat mujmal. Ayat yang mujmal artinya yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin (penjelas).(Idri dkk, 2021). Contohnya seperti ayat tentang shalat, shaum, zakat dan yang lainnya. Berikut contoh ayat Alquran yang memerlukan penjelasan hadis:


وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ.


Dan dirikanlah oleh kalian shalat, tunaikanlah zakat dan ruku‘lah bersama orang-orang yang ruku‘. (QS. Al-Baqarah [2]: 43)


Dalil di atas, di antaranya tentang perintah shalat masih bersifat umum dan global. Perintah di atas hanya memerintah untuk shalat dan tidak dijelaskan shalat itu seperti apa. Syariat shalat diperintahkan ketika di Madinah sekitar tahun kedua setelah Nabi Hijrah ke Madinah, maka tata cara atau rinciannya terdapat dalam hadis, yaitu sebagai berikut:


... صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ...


… Shalatlah kalian sebagaimana melihatku shalat … (Muḥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhāriy al-Ju‘fiy, 1422)


حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ فَصَلَّى، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَاحِيَةِ المَسْجِدِ، فَجَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ: ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ, فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ سَلَّمَ، فَقَالَ: وَعَلَيْكَ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ, قَالَ فِي الثَّالِثَةِ: فَأَعْلِمْنِي، قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ، فَكَبِّرْ وَاقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ وَتَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا.


Isq ibn Manshûr telah menceritakan kepadaku, Usâmah telah menceritakan kepada kami, ‘Ubaidullâh ibn ‘Umar telah menceritakan kepada kami, dari Sa‘id ibn Abî Sa‘îd, dari Abî Hurairah: bahwasanya seseorang masuk masjid lalu ia shalat, sedangkan pada waktu itu Rasulullah ada di ujung masjid, maka orang tersebut datang dan mengucapkan salam kepada Nabi. Sehingga Nabi pun berkata kepadanya: ulangi shalatmu, sesungguhnya kamu belum shalat, maka ia pun mengulangi shalatnya hingga salam, Nabi pun berkata lagi: bagimu ulangi shalatmu, sesungguhnya engkau belum shalat. Ia pun berkata pada yang ketiga kalinya, terangkanlah kepadaku (tata caranya), Nabi bersabda: apabila kamu hendak shalat, maka sempurnakanlah wudlu, lalu menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbir dan bacalah apa yang mudah menurutmu yang ada dalam Alquran. Kemudian ruku’lah sampai tenang ruku’nya, lalu angkatlah kepalamu (i’tidâl) sampai tegak berdirinya, lalu sujudlah sampai tenang sujudnya, kemudian angkatlah kepalamu (duduk iftirâsy) sampai lurus dan tenang duduknya, lalu sujudlah sampai tenang sujudnya, kemudian bangkitlah dari sujud sampai berdiri tegak kembali. Kemudian lakukanlah hal itu pada semua shalatmu. (Muḥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhāriy al-Ju‘fiy, 1422)


3.Hadis Sebagai Penguat Alquran


Adanya hadis di samping menjelaskan dan merinci apa yang ada di dalam Alquran, hadis juga dalam membentuk hukum Islam berfungsi sebagai penguat apa yang ada di dalamnya. Seperti halnya perintah shalat dan zakat, serta larangan tentang syirik dan riba, semuanya ada dalam Alquran. (A. Zakaria, 2011). Maka dengannya adanya hadis menguatkan perintah dan larangan tersebut. Misalnya perintah melakukan shalat terhadap keluarga di dalam Alquran sebagai berikut:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى.


Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat serta hendaklah bersabarlah dalam memerintahnya, Kami tidak meminta rizki kepadamu, tapi Kamilah memberikan rizki kepadamu. Dan akibatnya itu bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha [20]: 132)

Di dalam hadis dikuatkan kembali tentang memerintahkan keluarga untuk shalat, yaitu untuk memerintahkan anak kita shalat, dengan sabdanya:


عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.


Dari ‘Amr ibn Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat semenjak usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (pukulan mendidik) ketika mereka menolak shalat, tatkala usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah mereka dari tempat tidur. (Abū Dāwud Sulaimān al-Sijistānī, n.d.)


Hadis di atas menjadi penguat terhadap ayat Alquran surah thaha ayat 132, bahwasanya ketika memerintahkan keluarga untuk shalat, khususnya anak-anak ialah lebih ditekankan lagi ketika mereka usia tujuh tahun. Ketika mereka berusia sepuluh tahun dan ternyata membangkang untuk melaksanakan shalat, hendaklah mereka dipukul dengan pukulan mendidik tentunya dan tempat tidur mereka harus segera terpisah dari orang tuanya.

4.Hadis Sebagai Pengembangan Hukum


Adanya hadis merupakan sebagai pengembangan terhadap hukum yang berada di dalam Alquran. Suatu hal yang memungkinkan ketika Alquran menjelaskan tentang suatu hukum syara tidak secara rinci. Maka posisi hadis akan mengembangkan hukum yang ada dalam Alquran. Misalnya terdapat ayat Alquran tentang perintah membaca Alquran sebagai berikut.


أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا.


Atau lebih dari seperdua itu (sepertiga), dan bacalah Alquran secara tartîl. (QS. al-Muzzammil [73]: 4)


Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menjelaskan ayat di atas, bahwasanya yang dimaksud dengan membaca tartîl itu ialah:


اقرأه على تمهل، فإنه يكون عونا على فهم القرآن وتدبره.


Bacalah Alquran secara perlahan-lahan, maka sesungguhnya akan membantu (pembacanya) untuk dapat memahami dan mentadaburi makna yang terkandung di dalam Alquran. (Abū al-Fidā Ismā‘īl ibn Kaṡīr, 1999).

Ayat di atas memerintah untuk membaca Alquran dengan tartîl. Mufassir  Ibnu Katsîr memberikan sedikit penjelasan tentang bacaan tartîl itu sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Tentunya beliau menjelaskan tidak sembarangan dalam melakukan interpretasi terhadap ayat Alquran. Maka dari itu ternyata dikembangkan kembali di dalam hadis bahwasanya Nabi membaca Alquran itu sebagai berikut.


حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: كَانَتْ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ، وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ.


‘Amr ibn ‘Âshîm telah menceritakan kepada kami, Hammâm telah menceritakan kepada kami, dari Qatâdah ia berkata: Anas pernah ditanya tentang bagaimana bacaan (Alquran) Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam?, maka Anas menjawab: bacaannya madd (diberikan tempo), kemudian dia membacanya itu: Bismillâhirrahmânirrahîm, yaitu Bismillâh – arrahmân – arrahîm; membaca dengan memberikan jeda. (Muḥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhāriy al-Ju‘fiy, 1422)


Bahkan lebih lanjut lagi tentang pahala membaca teks suci Alquran ini, tidak dijelaskan di dalam Alquran itu sendiri, tetapi dijelaskan secara rinci di dalam hadis Nabi sebagai berikut.


عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللَّهِ فَاقْبَلُوا مِنْ مَأْدُبَتِهِ مَا اسْتَطَعْتُمْ، إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ حَبْلُ اللَّهِ، وَالنُّورُ الْمُبِينُ، وَالشِّفَاءُ النَّافِعُ عِصْمَةٌ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ، وَنَجَاةٌ لِمَنْ تَبِعَهُ، لَا يَزِيغُ فَيُسْتَعْتَبَ، وَلَا يَعْوَجُّ فَيُقَوَّمُ، وَلَا تَنْقَضِي عَجَائِبُهُ، وَلَا يَخْلَقُ مِنْ كَثْرَةِ الرَّدِّ، اتْلُوهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْجُرُكُمْ عَلَى تِلَاوَتِهِ كُلَّ حَرْفٍ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ وَلَامٌ وَمِيمٌ.


Dari Abî al-Ahwash, dari ‘Abdillâh radliyallâhu 'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam telah bersabda: Sesungguhnya Alquran ini hidangan dari Allah, maka terimalah hidangannya semampu kalian, sesungguhnya Alquran ini tali Allah, cahaya-Nya yang jelas, sebagai obat yang bermanfaat yang akan menjaga kepada orang yang berpegang teguh dengannya serta sebagai penyelamat bagi orang yang mengikutinya, tidaklah ada yang menyimpang maka dia akan diluruskan (dibenarkan), tidak ada yang bengkok melainkan dia akan ditegakkan, dan tidak akan pernah selesai keistimewaannya, dan tidak akan pernah usang karena banyaknya orang yang menolak. Bacalah Alquran maka sesungguhnya Allah akan memberikan kalian pahala atas bacaannya setiap huruf dengan sepuluh kebaikan, adapun sesungguhnya aku tidaklah membaca alif’lam’mim itu satu huruf, akan tetapi Alif, Lam dan Mim. (Abū ‘Abdillāh al-Ḥākim, 1990)


Di dalam riwayat lain dijelaskan pula masih tentang keutamaan membaca ayat suci Alquran dengan pahala:


عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ، وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ، لَهُ أَجْرَانِ.


Dari ‘Âisyah, ia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam telah bersabda: orang yang mahir (pandai) terhadap Alquran akan ditempatkan bersama para malaikat yang mulia, sedangkan orang yang membaca Alquran dengan terbata-bata padanya, ia berusah payah (mempelajarinya) baginya dua pahala. (Muslim ibn al-Ḥajjāj, n.d.).


Itulah sekelumit tentang contoh bahwasanya hadis itu akan mengembangkan hukum syariat yang ada di dalam Alquran. Bahwasanya tentang membaca Alquran saja, Nabi sudah memberikan contoh bagaimana membaca Alquran dengan tartîl dan menjelaskan tentang keutamaan pahala membaca Alquran.


BACA JUGA:

Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam (PART 02)