Menerima Bantuan dari Anggota Legislatif atau Calon Anggota Legislatif

oleh redaksi

17 Maret 2025 | 08:08

Menerima Bantuan dari Anggota Legislatif atau Calon Anggota Legislatif

Bagaimana hukumnya menerima uang atau bantuan dari anggota Legislatif atau Caleg?


Jawaban:


Memperhatikan pertanyaan ini tampak sekali bahwa padanya mengandung dua pertanyaan yang intinya sama, yaitu menerima uang, barang atau jasa lainnya dari orang yang sekarang sedang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau dari calon anggota legislatif baik yang masih berstatus DCS (Daftar Calon Sementara) maupun yang sudah berstatus DCT (Daftar Calon Tetap). Selanjutnya muncul masalah lain yaitu orang yang sekarang sedang menduduki anggota Dewan Perwakilan Rakyat lalu berusaha untuk mendaftar lagi untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode berikutnya.


Pertama, hukum menerima pemberian dari anggota DPR. Hal ini haruslah diperhatikan sumber uang yang diberikan tersebut. Jika itu merupakan dana aspirasi yang memang hak rakyat tentu halal untuk diterima baik dalam bentuk uang ataupun barang atau berupa dana reses yang bebas digunakan oleh anggota DPR. Demikian pula apabila sumber dana itu adalah harta pribadinya, pemberian ini pun halal untuk diterima. Tetapi apabila pemberian itu merupakan bagi-bagi hasil korupsi, atau bagi-bagi dalam bentuk proyek pemerintah yang dibagikan dengan secara sembunyi-sembunyi, maka hukumnya haram dan wajib ditolak. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin hati-hati dan kritis pada saat akan menerima bantuan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat.


Kedua, setiap menjelang musim pemilu tidak sedikit pemberian baik berupa uang, barang atau jasa yang datang silih berganti dengan masif. Pemberian yang dilakukan di momen krusial seperti ini tentu saja memancing pertanyaan tentang hukum menerima pemberian baik berupa uang, barang atau jasa dari caleg yang masih berstatus DCS (Daftar Calon Sementara) dan dari calon yang sudah DCT (Daftar Calon Tetap). Maka barang tentu ini tidak seperti hibah, hadiah ataupun sedekah biasa yang diberikan tanpa pamrih yaitu agar dirinya dipilih oleh yang memberi pemberian itu pada saat pemilihan legislatif. Dan pola pola seperti inilah yang membuat para anggota DPR jauh dari kualitas yang diharapkan baik secara mental, kecakapan dan wawasan demi perbaikan Nusa, bangsa dan Negara.


Pemberian bantuan berupa uang, barang atau jasa seperti ini tentu bukan pemberian ikhlas tapi berupa rayuan yang seringkali membuat orang menjadi rikuh untuk tidak memilih orang tersebut. Mengingat bantuan di saat seperti itu kentara dengan maksud dan tujuan individual atau kelompok tertentu, bahkan motif pertanyaan tersebut di atas pun di antaranya disebabkan karena adanya kekhawatiran akan syubhat atau bahkan haramnya pemberian tersebut maka kami berkesimpulan menerima pemberian tersebut haram karena tidak bersih dari unsur risywah.


Ketiga, menerima pemberian dari orang yang sekarang sedang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, maka hukumnya bisa masuk ke nomor satu dan nomor kedua, yaitu halal apabila bersumber dari dana aspirasi, dana reses atau dana pribadi. Akan tetapi akan menjadi haram hukumnya apabila dana dari sumber-sumber ini dimanfaatkan untuk kampanye karena hal inipun tidak bersih dari unsur risywah.


Pemberian yang diberikan kepada perorangan atau kelompok dari individu atau kelompok tertentu dengan maksud untuk membuat tercapainya kepentingan dirinya yang mengakibatkan terebutnya hak orang lain, apalagi jika sampai tidak memperdulikan benar atau salah, halal atau haram, hak atau batil, yang demikian merupakan bagian dari risywah/ sogokan yang haram.


Kami haturkan beberapa ta’rif risywah menurut para ulama agar menjadi bahan perbandingan:


الرِّشْوَةُ وَهِيَ ما يُعْطَى بِدُوْنِ حَقٍّ لِقَضَاءِ مَصْلَحَةٍ أَوْ إِحْقَاقِ بَاطِلٍ أَوْ إِبْطَالِ حَقٍّ


Risywah adalah sesuatu yang diberikan tanpa hak untuk menetapkan kemashlahatan atau membenarkan sesuatu yang batil atau membatalkan yang hak. (Mu’jam al-Lughah al-Arabiyah al-Mu’ashirah – Ahmad Mukhtar: 2/ 897)


الرِشْوَةُ مَا يُعْطِيْهِ الشَّخْصُ الحَاكِمَ وَغَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ أَوْ يَحْمِلَهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ


Sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim dan yang lainnya untuk menetapkan putusan baik bagi dirinya atau untuk menyampaikannya kepada sesuatu yang ia maksudkan. (Al-Misbah al-Munir: 120)


الرِشْوَةُ هِيَ كُلُّ هَدِيَّةٍ قُصِدَ بِهَا التَّوَصُّلُ إِلَى بَاطِلٍ


Segala bentuk hadiah yang dimaksudkan dengan hal itu untuk sampai kepada yang bathil. (Ahkam al-Qur’an li ibn al-Arabi: 2/ 485)


Variasi ta’rif yang dikemukakan oleh para ulama disebabkan perspektif mereka tentang aspek tertentu dari risywah itu sendiri. Akan tetapi perbedaan ta’rif tersebut tidak menjadikan pertentangan, melainkan saling menguatkan dan melengkapi satu sama lainnya.


Terkait risywah Rasulullah Saw telah memperingatkan bahayanya, hal ini termaktub dalam hadis-hadit berikut :


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ.


Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasûlullâh Saw melaknat pemberi suap dan penerima suap. (HR. Ahmad, no. 6532, 6778, 6830; Abu Dawud, no. 3582; at-Tirmidzi, no. 1337; Ibnu Hibban, no. 5077).


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي


Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasûlullâh Saw bersabda, “Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap”. (HR. Ahmad, no. 6984; Ibnu Majah, no. 2313.)


Dengan pertimbangan seperti di atas maka kami berkesimpulan, bahwa menerima pemberian uang atau bantuan dari anggota legislatif atau caleg bisa menjadi haram, apabila:


  1. Pemberian uang, barang atau jasa tersebut diketahui bertujuan untuk keuntungan dirinya dengan cara membenarkan sesuatu yang bathil dan membathilkan sesuatu yang haq.
  2. Pemberian uang atau jasa tersebut hanya diberikan di momen yang akan memberikan keuntungan pasti untuk diri dan tujuannya.
  3. Pemberian uang atau jasa tersebut membuat orang atau Lembaga lain menjadi subjektif untuk memilih pilihan berdasarkan pengetahuan dirinya dan membutakan dirinya dari kebenaran.
  4. Pemberian uang, barang atau jasa tersebut menjadikan tersebutnya hak orang lain.
  5. Pemberian dari anggota DPR atau caleg selama halal dan tidak mengikat serta tidak menimbulkan mafsadat maka hukumnya halal. Namun seandainya dapat menimbulkan mafsadat, maka menutup mafsadat didahulukan daripada menarik maslahat.
BACA JUGA: Memahami Siasah: Memahami Strategi Dakwah Politik Umat Menuju Pemilu 2024
Reporter: redaksi Editor: Gicky Tamimi