BKBH PERSIS: RUU Perampasan Aset Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

oleh Henri Lukmanul Hakim

02 September 2025 | 14:19

Sekretaris Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Zamzam Aqbil Raziqin - Foto: Dok Pribadi

Bandung, persis.or.id - Sekretaris Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Zamzam Aqbil Raziqin turut angkat bicara terkait wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang terus menuai sorotan dari berbagai kalangan. Ia menyebutkan, RUU ini bisa menjadi pedang bermata dua dalam upaya pemberantasan korupsi dan tindak pidana ekonomi.


Dalam keterangannya, Zamzam menjelaskan hasil diskusi di internal BKBH. Kami mengakui, semangat di balik RUU ini layak diapresiasi karena bertujuan mempercepat proses pemulihan aset hasil tindak pidana. Namun, ia mengingatkan, pendekatan non-conviction based asset forfeiture (NCBAF) yaitu perampasan aset tanpa putusan pidana yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip dasar negara hukum.


“Efektivitas hukum tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur. Negara hukum menuntut keseimbangan antara kepentingan publik dan perlindungan hak konstitusional warga negara,” ujarnya kepada persis.or.id, Selasa (2/9/2025).


Selanjutnya, Zamzam menjelaskan, mekanisme NCBAF berbasis hukum perdata (in rem), di mana negara cukup membuktikan bahwa aset terkait dengan kejahatan, tanpa membuktikan kesalahan pemiliknya.


“Model ini, saya menilai, bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan berpotensi membalik beban pembuktian kepada warga negara,” tambah Zamzam.


Ia juga menyoroti ketidakjelasan dalam RUU ini terkait standar pembuktian apakah menggunakan standar pidana beyond reasonable doubt atau standar perdata balance of probabilities. Kekaburan ini dianggap bisa membuka ruang penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.


“Kepastian hukum hanya dapat ditegakkan jika norma hukum dirumuskan secara jelas, konsisten, dan dapat diprediksi,” kata Zamzam, mengutip pandangan pakar hukum Lon L. Fuller.


Lebih jauh lagi, Zamzam juga mengingatkan, hak atas kepemilikan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 serta Pasal 17 Deklarasi Universal HAM berpotensi dilanggar bila mekanisme perampasan aset tidak diatur secara ketat dan akuntabel.


Mengacu pada praktik internasional, ia menyebut beberapa kasus di Amerika Serikat yang menunjukkan sisi gelap dari mekanisme NCBAF, seperti kasus Bennis v. Michigan dan United States v. Bajakajian, yang menjadi bukti bahwa tanpa batasan jelas, NCBAF bisa menjadi alat yang represif.


“Dalam konteks Indonesia, di mana penegakan hukum tidak jarang diwarnai kepentingan politik dan ekonomi, RUU ini bisa menjadi senjata tumpul bagi elit, tapi tajam ke rakyat kecil,” tegasnya.


Meskipun UNCAC (United Nations Convention against Corruption) mendorong penerapan NCBAF, ia menekankan bahwa konvensi tersebut juga menggarisbawahi pentingnya prinsip due process of law dan perlindungan hak asasi manusia.


Untuk itu, Zamzam mengusulkan beberapa solusi sebagai jalan tengah:


  1. Tegaskan bahwa NCBAF bersifat perdata, dengan standar pembuktian balance of probabilities.
  2. Bentuk lembaga pengawasan independen atau kamar khusus di pengadilan untuk menguji setiap permohonan perampasan.
  3. Berikan hak keberatan bagi pihak ketiga yang beritikad baik.
  4. Pastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset yang telah dirampas, agar benar-benar kembali kepada kepentingan publik.


Menutup keterangannya, Zamzam menegaskan, RUU ini bukan sekadar instrumen teknis pemberantasan korupsi, melainkan ujian sejauh mana Indonesia konsisten dengan prinsip rule of law, bukan sekadar rule by law.


“Semangat melawan kejahatan tidak boleh mengorbankan keadilan. Negara hukum sejati menjunjung tinggi HAM dan perlindungan konstitusional warganya,” pungkasnya.

BACA JUGA:

Pemuda Proaktif Bukan Reaktif: Merespons Dinamika Kepemimpinan dengan Nilai Amar Ma’ruf Nahi Munkar