Oleh; Fachri Khoerudin - Alumi Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAIPI) Garut.
Riuh nan ribut. Itulah respon masyarakat Indonesia terhadap dukungan berbagai macam instansi dan brand internasional terhadap eksistensi LGBTIQ+ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer, dll) dari marginalitas dan pengucilan. Ada yang mengekspresikannya dengan boikot produk, ada yang memberi edukasi, ada yang hanya sekedar mengutuk saja, bahkan ada juga yang justru membela dan menganggap kita tidak perlu “baperan” sampai segitunya.
Memang, masalah seperti ini bukan yang pertama kali. Apalagi jika berbicara soal dukungan terhadap LGBTIQ+. Toh, dari dulu emang golongan “romantik” yang kerap kali mengaku menjadi korban marginalisasi tertindas itu selalu menyuarakan dan mengibarkan bendera kebebasan. Yah, meski saat itu namanya tidak sepanjang sekarang, gak sampai ada “plus-plus”-nya.
Tapi ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa tidak semua yang berulang itu basi dan tidak patut untuk dikaji. Malah Ia acap kali datang dengan membawa arus masalah yang lebih besar. Pro-kontra kasus viral akhir-akhir ini setidaknya menjadi tanda, meski penolakan masyarakat terbilang cukup besar, namun pihak-pihak yang justru mendukung kelompok mereka juga tidak kalah derasnya.
Tulisan sederhana ini tentu tidak akan berbicara banyak tentang isi dan argumentasi yang melandasi pro-kontra tersebut. Mungkin telah banyak sanggahan maupun alasan dari masing-masing pihak. Namun yang akan menjadi catatan adalah, gambaran imajiner tentang apa yang akan terjadi kedepannya; di mana standar nilai yang baku mulai berubah satu per-satu. Termasuk masalah normalisasi bagi penyimpangan orientasi seksual.
Sebagai bukti, dalam permasalahan homoseks, pengelompokan apakah prilaku itu menyimpang secara psikologis atau tidak, terus mengalami perubahan yang semakin hari semakin di anggap normal. Misal, pada tahun 1952 M, APA (American Psychiatric Association) sebagai lembaga resmi penelitian dan perhimpunan psikiater Amerika menerbitkan DSM (Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorders) yang berfungsi sebagai panduan bagi seluruh psikiatri untuk menentukan penyakit mental. Saat itu, pada periode pertama, homoseks masih dianggap “berbahaya” sebagai prilaku menyimpang dan bagian dari penyakit.
Akan tetapi, selang waktu berlalu, pada seri ketiga tahun 1973 M terbit sebuah penelitian yang akhirnya menjadi putusan bahwa homoseks tidak lagi dianggap sebagai penyakit dan menyimpang. Artinya usaha normalisasi yang mereka perjuangkan mulai menuai buahnya pada saat itu. (Nicholsi: 2001, 71-72)
Melihat bagimana perubahan sikap dalam penelitian di atas, menarik memang apabila kita melihat apa yang dikatakan oleh rasulullah lima belas abad kebelakang. Dalam suatu kesempatan, Ia pernah berkata;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّهَا سَتَأْتِي عَلَى النَّاسِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ " قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: "السَّفِيهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ" رواه احمد
Artinya:
“Sungguh, akan datang kepada manusia tahun-tahun yang sangat menipu. Para pendusta pada zaman itu dianggap sebagai orang yang jujur, sementara orang yang jujur dianggap pendusta. Para pengkhianat pada zaman itu dipercaya, sementara orang-orang yang amanah dianggap pengkhianat. Pada zaman itu pula Ruwaibidhah banyak berbicara.” Rasulullah pun ditanya, “Siapa Ruwaibidhah, wahai Rasulullah?” Beliau kemudian menjawab, “Orang dungu yang membicarakan urusan manusia.”
Sejak dahulu Rasulullah SAW seolah mengingatkan akan tiba suatu masa di mana nilai tak lagi pasti dan standar kebaikan atau keburukan menjadi absurd. Garis pemisah antara mana yang benar dan mana yang salah tidak lagi jelas. Perubahan tatanan nilai itu sedikitnya sudah tercermin, dari beberapa tekanan dari masyarakat internasional agar disorientasi seksual seperti homo dan lesbi dianggap wajar dan biasa-biasa saja.
Sekularisasi dalam tataran norma dan nilai memang bukan hal yang baru. Harvey Cox misalnya, pada tahun 1965 Ia mengarang buku The Secular City sebagai wujud dari usaha penyesuaian teologi agama Kristen dengan ide sekularisasi. Dalam bukunya, Harvey menyematkan poin “decinsecration of values” (perelatifan nilai-nilai) sebagai satu dari tiga elemen sekularisme yang mesti diterapkan.
Jauh sebelum itu, Friedrich Nietzsche -salah seorang filosof yang disebut oleh Alfin Toffler sebagai “pemikir nihilis yang radikal”- juga berusaha mendekonstruksi lalu merelatifkan nilai dan norma. Bukunya Beyond Good and Evil seolah berbicara banyak tentang hal itu. Baginya, tidak ada lagi sesuatu yang tabu dan sakral, semua bebas untuk digugat dan diubah. Alasannya sederhana; karena manusia merupakan standar bagi baik-buruk dan benar-salah, bukan Tuhan. Selama manusia bisa berubah, maka nilai pun pasti mengalami perubahan.
Masalahnya pemikiran seperti ini bukan sebatas menjadi perbincangan belaka, tapi sudah mulai menjadi pakem lalu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Lagi-lagi kasus perubahan standar nilai dari “Tuhan” ke “manusia” dalam kasus normalisasi LGBTIQ+ menjadi contoh sederhana dari ungkapan di atas.
Kedepannya, bukan tidak mungkin jika nilai-nilai lain yang sudah jelas aturannya, malah diotak-atik sedemikian rupa. Kira-kira, akan ada berapa banyak lagi huruf yang ikut nempel pada kata LGBT agar tidak lagi dimarginalisasi dan dianggap normal? Entahlah.
Maka wajar, jika dalam sebuah hadis rasul mengatakan kelak pada akan tiba masa dimana orang yang melakukan perbuatan amoral seperti berzina dilakukan secara terang-terangan, bahkan dijalanan umum (HR Abu Ya’la). Bisa jadi hal ini terjadi karena adanya pembongkaran standar nilai yang sudah mapan. Ungkapan-ungkapan seperti “asalkan suka sama suka maka tidak masalah” atau “tidak ada yang dirugikan dari dua orang yang berzina karena saling ridha”, “tubuhku adalah miliku dan bukan urusanmu” kelak menjadi nilai universal yang diyakini, sehingga mengubah “kejelekan” jadi “kewajaran”. Akhirnya sesuatu yang tidak terbayang pada saat ini menjadi nyata di masa depan.
Oleh karena itu, munculnya berbagai macam ekspresi penolakan terhadap usaha normalisasi dengan dalih “hormati minoritas” adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Karena penolakan atau penerimaan menunjukan di mana posisi keberpihakan. Selain itu, sikap itu juga menjadi usaha bagi kita untuk tidak membiarkan penyimpangan dianggap normal begitu saja.
Meskipun begitu, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dan dikembangkan lebih lanjut. di sana terdapat sebuah kritikan yang konstruktif. Kalau kita hendak berpihak, maka jangan tanggung. Alangkah baiknya kita tidak terjebak menjadi pihak protagonis musiman semata; yang hanya bertindak ketika isu viral datang. Sesudah itu, hilang tanpa jejak. Masalah isu “penormalan” terhadap kesetaraan gender dan disorientasi seksual akan tetap ada dan semakin berkembang, meski tanpa adanya viralisasi semacam itu sekalipun.
Ancaman seperti ini tentu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh begitu saja. Perlu adanya perlawanan secara konsisten, berkala dan berjenjang. Tentu “boikot-boikot”-an saja tidak akan menyelesaikan masalah meski cukup untuk menunjukan keberpihakan kita atas kebenaran. Perlu ada follow up lebih lanjut seperti melakukan edukasi ataupun counter wacana. Minimal, di lingkungan sekitar ataupun keluarga.
Dengan usaha-usaha seperti itu setidaknya dapat membendung isu normalisasi yang kini gencar dilakukan diberbagai platform media. Menggemanya tagar #Pride atau #Standwithyou menghiasi laman-laman beranda, tranding topic twitter, instastory dan lain sebagainya perlu untuk tidak dianggap angin lalu yang tidak memiliki dampak apapun sama sekali.
Terakhir, apabila kita ditanya; apa yang akan terjadi berikutnya? Tentu jawabannya adalah akan semakin berat dan menyeramkan. Saat itulah keberpihakan kita diuji dan perjuangan dakwah yang melelahkan digalakan secara terus menerus. “Mempertahankan keimanan, tak ubahnya seperti menggengam bara api” kata rasul dalam hadisnya. Semoga, pada waktu itu kita selalu berada dalam lindungan-Nya.
Kepesantrenan
19 Januari 2025 | 14:04
Daurah Al-Qur’an PPI 100 Banjarsari: Membangun Kecerdasan Spiritual Santri