Menakar Peran Kalangan Perguruan Tinggi dalam Gerakan Pembaruan Persis di Milenium Kedua

oleh Reporter

08 Juni 2020 | 12:37

Oleh: Iqbal Hasanuddin
Alumni Pesantren Persis No.92, Ketua I PD Pemuda Persis Majalengka 1997-1998, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Peresmian STAIPI di Jakarta dan Universitas Persis di Bandung merupakan momen sejarah yang sangat penting bagi organisasi Persatuan Islam (Persis). Kedua perguruan tinggi (PT) tersebut persis resmi berdiri beberapa saat sebelum Persis memasuki abad kedua pada 2023 nanti. Kalangan perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menentukan arah pembaruan Islam di lingkungan Persis.

Artikel ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut. Apa posisi penting perguruan tinggi di lingkungan Persis? Dalam pengertian seperti apakah kalangan perguruan tinggi itu dapat membantu menentukan masa depan gerakan pembaruan Islam di Persis?

Perguruan Tinggi di Lingkungan Persis

Keberadaan perguruan tinggi di lingkungan Persis masih relatif sedikit jumlahnya. Pada tahap awal, Persis memiliki Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIPI) di Bandung dan Garut, serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) di Bandung. STAIPI berdiri pada 1994, sementara STKIP didirikan pada 2000. Pada 2003, STAIPI Garut berdiri.

Sebagai perguruan tinggi pertama di lingkungan Persis, STAIPI mengalami perkembangan yang semakin menjanjikan. Hingga saat ini, STAIPI sudah membuka lima program studi, yaitu: Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Komunikasi Penyiaran Islam, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Anak Usia Dini dan Ekonomi Syari'ah. Jumlah mahasiswa STAIPI sekarang telah sampai pada kisaran 1500 mahasiswa.

Di Garut, sejak 2003, STAIPI juga mulai beroperasi. STAIPI Garut membuka beberapa program studi, yaitu: Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Ilmu Hadits, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, dan Ekonomi Syari'ah. Keberadaan STAIPI di Garut tentu saja sangat strategis mengingat terdapat banyak Madrasah Tsanawiyah dan Muallimin di lingkungan Pesantren Persis di Garut. Para alumni pesantren itu bisa melanjutkan pendidikan mereka di STAIPI.

Sementara itu, sejak 2000, STKIP Persis membuka dua program studi, yaitu: Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Sejarah. Secara perlahan tapi pasti, STKIP Persis mengalami perkembangan, baik dari segi kualitas pendidikan maupun kuantitas peserta didiknya. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan pendidik yang berkualitas.

Pada 2019, STKIP bertransformasi menjadi Universitas Persatuan Islam (Universitas Persis). Jika STKIP hanya memiliki program studi Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Sejarah, Universitas Persis membuka program studi yang jauh lebih banyak, yaitu: Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Sejarah, Peternakan, Ilmu Lingkungan, Pariwisata, Informatika, dan Bisnis Digital.

Kemudian, pada 2020, STAIPI juga mulai beroperasi di Jakarta. Untuk saat ini, STAIPI Jakarta mulai membuka dua program studi, yaitu: Komunikasi dan Penyiaran Islam serta Hukum Ekonomi Syari'ah. Sebetulnya, proses akreditasi kedua program studi tersebut telah selesai 6 November 2019. Namun demikian, SK dari Kementerian Agama untuk STAIPI Jakarta baru terbit pada April 2020.

Meskipun upaya membuka perguruan tinggi di lingkungan Persis itu bisa dikatakan terlambat, seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan STAIPI (Bandung, Garut dan Jakarta) dan Universitas Persis (Bandung) niscaya akan memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi perjalanan sejarah Persis itu sendiri. Perguruan tinggi di lingkungan Persis bukan hanya berpengaruh pada dinamika kelembagaan, melainkan juga arah gerakan pembaruan Islam yang telah menjadi pusat perhatian organisasi ini sejak didirikan pada 1923.

Perguruan Tinggi dan Dinamika Organisasi

STAIPI dan Universitas Persis didirikan tentu dengan tujuan untuk tumbuh, berkembang dan menjadi perguruan tinggi yang kredibel. Oleh karena itu, upaya untuk mendorong perkembangan perguruan tinggi di lingkungan Persis sedikit atau banyak akan menciptakan dinamika baru dalam tubuh organisasi. Jika selama ini Persis sudah nyaman dengan dunia pesantren sebagai tumpuan gerak organisasinya, keberadaan STAIPI dan Universitas Persis akan sedikit membawa Persis keluar dari zona nyamannya itu.

Pertama, perguruan tinggi seperti STAIPI dan Universitas Persis membutuhkan sumber daya manusia (SDM) dengan kualifikasi lulusan S2 (master) dan S3 (doktor). Oleh karenanya, sebagai pemilik STAIPI dan Universitas Persis, mau tidak mau Persis akan berupaya untuk mendorong kader-kader terbaiknya melanjutkan studi sampai level master dan doktor di berbagai kampus yang kredibel, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Pada gilirannya, kader-kader terbaik Persis yang sudah menyelesaikan pendidikan master dan doktornya itu tidak saja akan kembali ke STAIPI atau Universitas Persis, tapi juga akan mengisi posisi-posisi penting di dalam organisasi. Karenanya, tidak aneh jika pada saat ini kita melihat ada banyak petinggi organisasi Persis yang memiliki gelar akademik doktor. Ini adalah kenyataan yang belum tampak pada 20 tahun yang lalu. Ke depan, tentu akan lebih banyak lagi master dan doktor yang terlibat dalam organisasi Persis.

Kedua, tidak seperti pesantren yang hanya berfokus pada kegiatan pendidikan dan pengajaran (teaching and learning), STAIPI dan Universitas Persis diharuskan menjalankan tiga kewajiban perguruan tinggi, yaitu: (1) pendidikan dan pengajaran, (2) penelitian dan publikasi ilmiah, dan (3) pengabdian kepada masyarakat. Pelaksanaan tiga jenis kewajiban itu sangat menentukan nilai akreditasi perguruan tinggi. Pada gilirannya, akreditasi berbanding lurus dengan minat dan jumlah calon mahasiswa yang akan mendaftar.

Tentu saja, dalam melaksanakan tiga kewajiban perguruan tinggi tersebut, perguruan tinggi Persis harus menggunakan "metode ilmiah" yang telah disepakati oleh komunitas ilmuwan sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing. Berbagai kegiatan penelitian empiris seperti ini tentu saja merupakan tradisi baru di lingkungan Persis yang selama puluhan tahun lebih akrab dengan tradisi baca kitab. Sedikit atau banyak, cara berpikir empiris ini akan berpangaruh pola berpikir orang-orang Persis pada umumnya.

Berbeda dari tradisi ngaji kitab yang cenderung bersifat involutif, penelitian ilmiah menuntut adanya kebaruan (novelty) dalam bidang yang dikaji dan memiliki relevansi akademik dan sosial sekaligus. Para dosen, peneliti dan mahasiswa STAIPI dan Universitas Persis akan berlomba-lomba untuk terjun ke dalam kegiatan penelitian dengan maksud menemukan hal-hal baru. Kemudian, kebaruan yang dihasilkan tersebut menjadi pijakan bagi pembuatan berbagai kebijakan.

Sementara itu, untuk kegiatan publikasi ilmiah, civitas akademika STAIPI dan Universitas Persis akan berlomba-lomba untuk menulis artikel di berbagai jurnal ilmiah yang memiliki reputasi, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Mereka juga akan terbiasa untuk menyelenggarakan dan menghadiri berbagai konferensi nasional dan internasional dengan harapan proceeding konferensi mereka bisa dipublikasikan dan terindeks Scopus.

Dalam konteks ini, kader-kader terbaik Persis yang terlibat aktif dalam kegiatan akademik  di STAIPI dan Universitas Persis juga dituntut berkomunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka kegiatan akademik. Perjumpaan tersebut terjadi bukan hanya dengan akademisi di lingkungan internal Persis, tapi juga dengan para akademisi dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Berbagai perjumpaan ini akhirnya akan membantu membuka wawasan dan cara berpikir kader-kader Persis terbaik itu.

Arah Pembaruan Islam di Milenium Kedua

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kemunculan budaya ilmiah atau tradisi akademik itu akan berpengaruh kepada gerakan Persis secara keseluruhan? Apakah kebiasaan kader-kader terbaik Persis di lingkungan perguruan tinggi dalam kegiatan penelitian akan berpengaruh kepada cara pandang Persis dalam melihat kenyataan? Apakah keberadaan kalangan perguruan tinggi di lingkungan Persis akan menentukan arah gerakan pembaruan Islam di milenium keduanya?

Menurut saya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu sedikit melihat kembali perjalanan sejarah organisasi Persatuan Islam. Didirikan pada 1923-1924, sebagaian besar anggota Persis adalah para saudagar dan kelompok terpelajar di kota Bandung yang sangat kosmopolitan. Karenanya, Persis saat itu sebetulnya adalah jawaban bagi kebutuhan kelas menengah perkotaan akan wacana keislaman yang terbuka, rasional dan kritis.

Selain memiliki tingkat literasi yang tinggi, kelas menengah perkotaan biasa terlibat dalam berbagai proses sosial (ekonomi dan politik) yang sedang terjadi. Karenanya, ketika memilih wacana keagamaan, mereka tidak akan tertarik dengan jenis pemahaman keislaman yang konservatif alias jumud. Sebaiknya, mereka memilih paham keislaman yang relevan untuk mengatasi problem-problem sosial, sekaligus membawa masyarakat kepada keadaan yang lebih baik.

Karenanya, tidak mengherankan jika Persis saat itu bukan hanya berfokus pada masalah-masalah ibadah, tapi juga masalah ekonomi dan politik. Sebagai kelas menengah perkotaan, para aktivis Persis memiliki wawasan yang memadai untuk berbicara tentang isu kesejahteraan, keadilan, dan wacana kenegaraan lainnya. Dengan berbekal wawasan tersebut, mereka juga terlibat langsung dalam praktek sosial, baik sebagai pelaku maupun kritikus.

Pada titik ini, semboyan "gerakan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah" tidak lain adalah sebuah mekanisme wacana untuk mengkritik konservatisme pemahaman Islam tradisional yang justru lebih banyak dianut oleh kalangan Muslim yang tinggal di wilayah pedesaan. Dengan kata lain, gerakan pembaruan Islam yang dilakukan oleh Persis ketika itu adalah jawaban terhadap krisis pemahaman tradisionalisme Islam yang gagal menjawab problem-problem sosial yang ada, khususnya yang dihadapi oleh kelas menengah perkotaan.

Namun demikian, wacana keislaman yang khas kelas menengah perkotaan itu tidak bisa berkembang terus karena dipengaruhi juga oleh struktur kesempatan politik yang ada. Menghadapi Orde Baru yang menolak keterlibatan wacana Islam dalam isu-isu publik,  Persis kemudian terpaksa mundur teratur dan memilih untuk bergerak dalam bidang pendidikan pesantren. Karenanya, Persis kemudian kehilangan karakternya sebagai gerakan pembaruan Islam kelas menengah perkotaan.

Dalam konteks ini, upaya K.H. Abdul Latief Muchtar, Ketua Umum Persis 1983-1997, untuk mendirikan perguruan tinggi di lingkungan Persis dan mendukung kalangan akademisi di berbagai perguruan tinggi pada umumnya adalah cara lain untuk menghidupkan kembali wacana keislaman yang terbuka, rasional dan kritis pada level akademik. Jika pada masa kelahirannya, secara teori dan praktek, Persis terlibat dengan problem-problem sosial, Latief Muchtar tampaknya sedang merintis kembali gerakan ke arah itu. Minimal, rintisan itu dilakukan pada tingkat teori atau akademik.

Di sini, kelompok akademisi Persis, baik yang ada di perguruan tinggi milik Persis maupun perguruan tinggi secara umum, bisa mewujudkan upaya tersebut. Dengan tingkat literasi yang tinggi, keterbukaan pada realitas dan kultur ilmiah yang dimilikinya, kader-kader terbaik Persis yang aktif di perguruan tinggi dapat membantu Persis kembali tampil sebagai gerakan pembaruan Islam yang dapat menjawab problem-problem sosial, sekaligus terlibat untuk memperbaiki keadaan menjadi lebih baik.

Namun demikian, hal itu juga tergantung pada asumsi bahwa kader-kader terbaik Persis yang berasal dari kalangan perguruan tinggi memiliki kesempatan untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam kepemimpinan organisasi Persis. Jika tidak, Persis akan kehilangan kesempatan untuk melakukan gerakan pembaruan Islam kembali di usianya yang akan memasuki abad (milenium) kedua pada 2023 nanti.

Reporter: Reporter Editor: admin