Oleh Ilham Habiburohman S.H - Konsultan Hukum PP PERSIS
Maju tidaknya sebuah negara salah satunya dinilai dari percepatan birokrasi. Sistem pemerintahan mengatur Lembaga negara yang bertugas melayani publik secara administratif tanpa berbelit-belit dan menghabiskan waktu. Sehingga hal tersebut bisa mempengaruhi produktivitas misal sektor ekonomi, pendidikan, industri, infrasruktur dan lain sebagainya. Pemerintah mengeluarkan Omnibuslaw cipta kerja & perpajakan secara sederhana dimaksudkan untuk memangkas birokrasi dengan maksud adanya progresifitas ekonomi yang dirasa masih mandeg.
Kultur warisan Belanda yang melekat pada bangsa kita menyebabkan Indonesia bersistem Civil Law; Segala sesuatu mengacu pada hukum yang tertulis, baik birokrasi maupun hal lain mesti digariskan dalam tinta hitam. Bisa dibayangkan berapa regulasi yang ada dan mengatur segala aspek kenegaraan, dan barang tentu bukan hal yang mudah dalam menyusun draft/aturan apalagi memangkas dan menyederhanakan hukum itu sendiri.
Presiden Joko Widodo sejak periode pertama tak henti-hentinya mengingatkan ‘bawahannya’ untuk mempermudah “akses” demi menggenjot pertumbuhan fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Salah satu jalan yang ditempuh sebagaimana disebut di atas, memangkas birokrasi dan menyederhanakan aturannya (melalui mekanisme Omnibuslaw; dalam pidato pelantikannya oktober 2019). Dikutip dalam penjelasan RUU Cipta lapangan kerja, dimana regulasi yang terlampau obesitas; terdiri dari 4.451 peraturan Pemerintah Pusat dan 15.965 peraturan Pemerintah Daerah dianggap menjadi hambatan pertumbuhan.
Pertama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia istilah Omnibuslaw didengungkan; istilah tersebut memiliki arti; hukum untuk semua. Artinya, hukum itu seperti payung, satu payung menaungi banyak objek, satu hukum mencangkup berbagai macam aturan. Rencananya akan ada penyelarasan 82 Undang-Undang dan 1.194 pasal. Membentuk satu Undang-Undang saja bukan perkara yang mudah, melewati perdebatan dan birokrasi yang panjang, apalagi menyederhanakannya tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, menguras fikiran dan mempertimbangkan segala akibat hukum yang terjadi.
Dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, Undang-undang (sebagai produk lembaga legislatif dan eksekutif) bisa dijalankan bila telah ada peraturan pemerintah. Sementara dalam beberapa pasal yang tertera pada RUU Cipta kerja misalnya; penulis menemukan 500 lebih kalimat yang seolah pemerintah tidak mau ‘ambil pusing’ dengan mencantumkan kalimat “ketentuan lebih lanjut mengenai ........ diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Secara tidak langsung beban legislasi yang mestinya diampu oleh DPR sebagai lembaga otoritatif, perpindah menjadi beban pemerintah. Secara kasar RUU Omnibuslaw (ciptakerja dan perpajakan) ini bisa memicu kesewenang-wenangan yang terlampau besar pada pemerintah. Dalam bahasa ilmu hukum ialah delegatie blanco, pendelegasian wewenang yang tidak jelas diatur ruang lingkupnya. Jika RUU tersebut disepakati tanpa perubahan, DPR seolah memberi cek kosong yang mana pemerintah boleh mengisi berapapun harga yang dikehendaki.
Pada kesimpulannya, percepatan birokrasi adalah satu dari sekian banyak hal yang dimaksudkan dikeluarkannya RUU tersebut, sehingga masih banyak yang mesti dikaji lebih mendalam, sabar dan mempertimbangkan akibat hukum yang terjadi sehingga tidak terjadi potensi kesewenang-wenangan. Omnisbulaw (Cipta kerja dan perpajakan) mungkin bisa menjadi solusi namun harus ada harmonisasi dan sinkronisasi. Celakanya para pakar hukum menilai omnibuslaw (RUU cipta kerja dan perpajakan) yang terjadi sarat akan penghapusan, mengganti yang baru dan bertentangan dengan regulasi lainya.
Wallahu A’lam bissawab