Pendidik Sebagai Aset Bangsa dan Agama; (Menghapus Sekularisme Dengan Refleksi Shalat 5 waktu)

oleh Reporter

05 Mei 2020 | 13:29

PENDIDIK SEBAGAI ASET BANGSA DAN AGAMA
(Menghapus Sekularisme Dengan Refleksi Shalat 5 waktu)
Pendidikan merupakan salah satu pokok landasan bagi kehidupan yang paripurna. Setiap manusia yang berpendidikan secara sendirinya akan terangkat derajat dan martabatnya. Sikap dan perilaku kesehariannya pun menempati kasta yang berbeda dengan orang yang jauh dari nilai pendidikan. Pada dasarnya setiap negara menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan, kebudayaan dan norma-norma yang melekat pada masyarakatnya.
Indonesia dengan semangat kemerdekaan 1945 mencitakan negara yang adil dan sejahtera terlepas dari segala bentuk imperialisme, juga membentuk dan mewujudkan generasi penerus bangsa yang bisa menjalankan semangat kemerdekaan ini sampai darah penghabisan. Dengan menciptakan sistem pendidikan yang baik, Indonesia berharap dapat mencetak anak-anak bangsa yang cemerlang dan beradab.
Pendidikan diberi tempat spesial dalam sistem dan sejarah Indonesia. Tujuan Pendidikan di Indonesia tertera dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, “Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Bisa kita garis bawahi bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah membentuk juga menanamkan ketakwaan dan keimanan (yang merupakan buah dari pengajaran agama) pada setiap diri yang dididik. Hal ini menunjukkan bahwa secara konseptual hingga fungsional, sistem pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan kemurnian agama.
Secara de facto, Pendidikan di Indonesia sudah dimulai sejak masa pra Kolonial. Meskipun belum terformalisasi, citra pendidikan sudah terbangun di lingkungan masyarakat Indonesia. Tepatnya pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Materi pendidikan dan pengajaran meliputi bidang syari’at seperti Fikih mazhab dan Ilmu Kalam, dengan sistem pendidikan secara informal berupa majelis ta’lim dan halaqah.
Selanjutnya pada masa Kolonialisme, pendidikan formal mulai didirikan dengan bentuk yang bermacam-macam. Pengajaran umum mulai terpisahkan dengan pengajaran agama. Ekspedisi Kolonialisme dengan tiga semboyannya Gold, Glory dan Gospel, memberi banyak pengaruh terhadap kehidupan pendidikan Indonesia. Salah satunya sekularisme dengan fungsinya memisahkan hal-hal yang bersifat duniawi dengan yang bersifat keagamaan.
Sekularisme dalam pendidikan terus mengalir bersamaan dengan perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia. Disadari atau tidak pemisahan pengajaran umum dan agama sebagai salah satu bentuk terkecil dari sekularisme. Sekolah yang bergerak di bidang umum, mengesampingkan pengajaran keagamaan, begitupun sebaliknya. Status "pintar" di sekolah pun secara tidak langsung terpengaruh dengan adanya pembidangan tersebut. Anak yang dinilai pintar di sekolah umum, terkadang kurang memperhatikan akhlak dan perilaku terhadap gurunya sendiri. Kemudian "gelar pintar" tersebut menjadi negatif dalam pandangan guru-guru agama. Lahirlah pengertian "pintar" yang berbeda yaitu yang disertai dengan akhlak terpuji.
Kondisi ini mengakibatkan anak mengalami "krisis jati diri". Orang tua menyekolahkannya di tempat yang mengatasnamakan "sekolah agamis" namun masih saja anaknya tidak mengerti cara menghormati orang tua, anaknya tidak tau cara berprilaku pada guru, anaknya tidak faham cara bersyukur pada pencipta. Oleh karena itu, kita harus membangun relasi yang kuat antara guru, orang tua dan masyarakat. Karena tidak ada pihak yang selalu benar dan selalu salah. Semua elemen masyarakat berwenang dan berkewajiban menjunjung tinggi pendidikan demi menciptakan anak-anak bangsa yang beradab.
Sejarah mencatat beberapa tokoh yang aktif di dunia pendidikan dan dakwah seperti Ki hajar Dewantara, Dr.Soetomo, HOS Tjokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Buya Hamka, dan guru-guru lainnya yang hingga kini masih menjaga citra pendidikan Indonesia, menciptakan suasana pendidikan yang agamis, yang mengajar dengan ikhlas demi mencetak anak-anak bangsa yang berkemajuan, selalu mendo'akan anak didiknya dengan tanpa diminta sekalipun.
Demikianlah nuansa pendidikan Indonesia yang sangat tidak bisa dipisahkan dari agama. Selain itu, secara aplikatif, pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan dakwah. Pendidikan adalah dakwah dengan tablighnya, pendidikan adalah dakwah dengan cita mencerdaskannya, pendidikan adalah dakwah dengan tujuan mengimankannya. Oleh karena itu salah satu metode yang dipakai dalam menyampaikan pengajaran adalah dengan ceramah (dakwah). Pun kita menyebut orang yang menyampaikan materi khutbah, dengan orang yang setiap hari menjelaskan pelajaran di sekolah dengan sebutan yang sama "ustadz".
Pada dasarnya, guru harus memahami kunci pendidikan dalam Islam yang salah satunya dapat direfleksikan melalui rukun Islam ke dua, yaitu shalat. Secara definitif, shalat merupakan salah satu ibadah yang segala bentuk prosesinya sudah diatur secara baku. Tidak bisa dikembangkan ataupun disingkat. Menjadi seorang muslim adalah salah satu syarat wajib shalat, hal ini menjadikan shalat sebagai ibadah pembeda antara muslim dengan non muslim. Begitupun Rasul memerintahkan untuk memukul anak yang meninggalkan shalat dengan batas usia 7 tahun, usia anak yang mulai masuk ke Sekolah Dasar. Dengan demikian para pendidik yang aktif di sekolah dasar memiliki tuntutan yang besar untuk menyampaikan dasar-dasar agama ini.
Shalat menuntut kita menjadi manusia yang ta’at, disiplin waktu, tertib, wara’, sosialis dan lainnya. Shalat dilaksanakan 5 kali sehari digambarkan seperti seseorang yang memiliki kolam didepan rumahnya lalu ia mandi 5 kali sehari di kolam tersebut. Jarak waktu dari satu shalat ke shalat yang lain difungsikan sebagai penghapus dosa.  Menanamkan keta’atan pada peserta didik dengan mengerjakan ibadah secara berkesinambungan. Selama proses Kegiatan Belajar Mengajar anak didik akan terus ta’at pada peraturan sekolah untuk tidak membuat kegaduhan baik saat gurunya terlihat maupun tidak.  
Kemudian syari’at adzan sebagai panggilan untuk shalat memupuk kedisiplinan dalam menjalankan tugas dan perintah. Shalat yang dilaksanakan sebelum adzan berkumandang tidak akan dihitung sebagai ibadah yang sah. Ibadah yang paling utama adalah shalat di awal waktu, muslim yang ta’at akan disiplin dalam menjaga shalat tepat waktu, begitupun sikap disiplin akan tercermin saat dia bersekolah dengan datang tepat waktu juga mengerjakan tugas sesuai perintah.
Saat shalat sudah didirikan, makmum harus berdiri di belakang imam, imam dipilih dari orang yang paling hafal dan faham tentang Al-Qur’an, dari segi bacaan maupun maknanya. Bukan dipilih dari jabatan, kekayaan, dan gelar. Presiden bisa saja berdiri di belakang rakyatnya, profesor bisa saja berdiri di belakang mahasiswanya, atasan bisa saja berdiri di belakang bawahannya. Karena yang paling penting adalah tingkat pemahaman pada agama. Dari sudut pandang lain, makmum harus membangun shaf yang rapi, tidak bercelah, karena syetan berjanji tidak akan putus asa mengajak manusia pada kesesatan, dengan mengganggu kekhusyuan dalam setiap shaf shalat yang berjarak.
Rukun pertama, bertakbir, berdiri dan membaca Al-Fatihah disertai surat yang ringan, merefleksikan bahwa setelah dewasa, anak-anak didik itu akan bertugas menyuarakan kebenaran. Gerakan selanjutnya adalah rukuk, mereka tidak terus menerus menengadah ke atas, namun juga harus mempertimbangkan dan memperhatikan kondisi lingkungannya, dan aspirasi-aspirasi masyarakat yang memohon kebenaran itu ditegakkan. Sistem managerial yang baik dalam kehidupan adalah terorganisir segala bentuk pilarnya. Untuk menegakkan hak perlu ada perencanaan yang matang, disambung dengan mengkoordinir tujuan yang hendak dicapai dengan kemampuan yang dimiliki, selanjutnya mengaktualisasikan rencana. Hal terakhir yang tidak boleh terlupakan adalah mengevaluasi proses yang telah dilalui. Aspek ini direfleksikan dari gerakan terakhir dalam shalat yakni sujud. Anak-anak yang dikemudian hari membawa misi pendidikan tersebut dilatih untuk tidak lupa bermuhasabah pada Allah dari segala faktor. Karena pada dasarnya manusia tidak bisa mencapai kesempurnaan, selalu terikat dengan kekurangan, dari dirinya, lingkungan, keluarga dsb.
Melalui refleksi shalat inilah kita bisa menghindarkan generasi anak bangsa dari sekularisme. Karena pada dasarnya sekularisme  bukan berasal dari syari’at Islam. Peradaban Utsmaniyah yang telah hancur oleh sekularisme, cukup menjadi sejarah terakhir keruntuhan umat Islam, tidak akan pernah terulang kembali.
Dan melalui pendidikanlah salah satu bentuk pengabdian terbaik, mendidik anak-anak dari usia dini seperti mengukir di atas batu, menumbuhkan kesadaran dalam benak mereka bahwa shalat (ibadah yang pertama kali dikenalkan oleh orang tuanya) menjadi kunci kesuksesannya di masa depan.
Oleh: Ekie Batholah Wahidiyah - Himi Persis Jawa Barat

Reporter: Reporter Editor: admin