Refleksi 29 Tahun HIMI Persis: Kontributor Cendekiawan Persatuan Islam
Oleh: Siti Resa Mutoharoh
Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam (HIMI PERSIS) telah melewati perjalanan 29 tahun sebagai organisasi otonom kemahasiswaan di bawah naungan Persatuan Islam (PERSIS), membawa identitas "Muslimah Muda Cendekia" yang menjadi ciri khasnya. Sejak berdirinya pada 24 Maret 1996 di Cianjur, HIMI PERSIS hadir bukan hanya sebagai organisasi mahasiswa, melainkan sebagai ruang kaderisasi yang serius untuk mencetak generasi ilmiah dalam pemikiran, responsif dalam tindakan, dan visioner dalam merancang masa depan jam’iyyah, bangsa, dan peradaban.
Seiring dengan berjalannya waktu, perjalanan HIMI PERSIS pun mengalami fase-fase perkembangan yang menggambarkan proses pematangan identitas dan arah gerakan. Perjalanan HIMI Persis dapat dibagi ke dalam tiga fase utama di mana hal itu tertuang dalam buku Narasi Gerakan Himi PERSIS. Sepuluh tahun pertama adalah fase ideologisasi, di mana nilai-nilai dasar Islam dan visi perjuangan Persatuan Islam ditanamkan dalam-dalam. Fase ini membentuk fondasi yang kokoh, menjadikan Islam sebagai pijakan nilai dan gerakan. Fase kedua adalah fase reposisi dan resolusi gerakan, di mana HIMI PERSIS mulai mencari bentuk gerakan yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan ruh perjuangan.
Hari ini, HIMI Persis memasuki dekade ketiga yakni fase produktif dan konstruktif, di mana segala gagasan, energi, dan potensi kader diarahkan untuk memberikan kontribusi nyata, baik dalam bentuk aksi sosial, gagasan intelektual, pengaruh kebijakan terkhusu untuk perkembangan Persatuan Islam. Pada fase inilah, identitas “Muslimah Muda Cendekia” semakin menemukan relevansi dan urgensinya sebagai jati diri kader HIMI Persis di tengah realitas sosial yang kompleks. Identitas ini lahir dari proses panjang yang tidak hanya bersifat administratif atau simbolik, tetapi bersifat ideologis dan strategis.
Kata "Muslimah" menegaskan dasar keislaman yang menjadi pondasi segala sikap dan gerakan. “Muda” mencerminkan keberanian, daya hidup, dan potensi perubahan yang selaras dengan amanat Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, bahwa pemuda adalah kekuatan strategis bangsa. Sementara “Cendekia” menegaskan bahwa HIMI PERSIS adalah rumah bagi para pencari ilmu, yang menjadikan nalar dan hikmah sebagai alat perjuangan.
Diksi “Cendekia” tidak dipilih secara sembarang, melainkan merupakan pengejawantahan dari falsafah gerakan HIMI PERSIS "Innamal ‘ilmu bitta’allum” yang memiliki arti “sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar” (HR. Bukhari). Maka, menjadi cendekia bukan hanya soal kecakapan berteori atau kemampuan bernalar secara konseptual, tetapi tentang orientasi hidup yang bertumpu pada ilmu, proses berpikir kritis, dan kemampuan menerjemahkan ilmu dalam bentuk amal. Sejak berdiri, HIMI PERSIS bercita-cita melahirkan kader perempuan yang tidak hanya pandai berteori, tetapi juga mampu menawarkan solusi atas problematika keperempuanan, kejam’iyyahan dan keindonesiaan.
Peran Strategis Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam
Dalam AD/ART HIMI PERSIS ditegaskan bahwa organisasi ini memikul empat peran strategis di antaranya sebagai organisasi otonom Persatuan Islam, organisasi kaderisasi, organisasi kemahasiswaan, dan organisasi keperempuanan.
Sebagai organisasi otonom, HIMI PERSIS dituntut untuk menjadi representasi nilai-nilai jam’iyyah Persatuan Islam dalam setiap langkah geraknya. Mengacu pada pemikiran Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966), setiap organisasi sosial mesti mampu menginstitusionalkan nilai-nilai dasarnya melalui tindakan sosial yang konkret dan berkelanjutan. Maka dengan itu, HIMI Persis harus menjadikan nilai-nilai Persis seperti tajdid (pembaharuan) sebagai fondasi dalam merespons realitas kontemporer.
Dalam peran kemahasiswaan, HIMI PERSIS harus tampil sebagai laboratorium ide, pusat diskursus intelektual, serta pelopor dalam mengembangkan wacana kebangsaan yang tajam dan kontekstual. Antonio Gramsci, dalam konsep organik intelektual-nya, menyatakan bahwa mahasiswa harus menjadi agen perubahan sosial yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga aktif dalam membentuk arah kesadaran kolektif masyarakat.
Lebih lanjut, pemikiran Gramsci senada dengan gagasan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menyebutkn pentingnya pendidikan kritis sebagai alat pembebasan. HIMI PERSIS, melalui berbagai forum intelektual, diskusi publik, tulisan-tulisan kadernya dan program kerja lainnya dapat menjadi lokomotif pendidikan kritis berbasis nilai Islam yang membebaskan.
Kemudian, sebagai organisasi kaderisasi, HIMI PERSIS punya tugas mencetak kader yang siap menempati berbagai posisi strategis dalam umat dan bangsa. Dan sebagai organisasi keperempuanan, tentu selaras dengan jargonnya “Ilmiah, Responsif dan Visioner”, HIMI PERSIS harus berani tampil sebagai garda depan dalam isu-isu perempuan, membawa perspektif Islam.
Lantas Sudahkah HIMI PERSIS Menjadi Kontributor Cendekiawan Persatuan Islam?
Seperti yang disampaikan sebelumnya, HIMI PERSIS senantiasa membawa cita-cita besar sebagai organisasi otonom dalam tubuh Persatuan Islam. Sejak awal pendiriannya, HIMI Persis tidak pernah bercita-cita menjadi organisasi biasa. Organisasi yang sudah beranjak 29 tahun ini lahir dari semangat perjuangan, dibesarkan dalam nilai keilmuan, dan dibentuk untuk menjadi kontributor strategis bagi kemajuan jam’iyyah, umat dan bangsa.
Lalu, pertanyaan reflektif pun muncul Sudahkah HIMI PERSIS menjadi kontributor cendekiawan bagi Persatuan Islam? Pertanyaan ini bukan untuk meragukan, melainkan untuk memperkuat arah langkah ke depan.
Memang, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan. Penguatan tradisi intelektual menjadi keharusan, bukan pilihan. Kader-kader HIMI PERSIS perlu terus mendorong lahirnya karya pemikiran, wacana segar, publikasi ilmiah, dan gerakan yang berbasis riset. Sebab, hanya dengan itu, HIMI PERSIS dapat hadir sebagai sumber referensi pemikiran keislaman dan keperempuanan yang aktual dan solutif.
Dalam konteks Persatuan Islam, HIMI PERSIS tidak boleh hanya menjadi pelengkap organisasi yang bersifat simbolik. HIMI PERSIS harus tampil sebagai lokomotif perubahan, terutama dalam isu-isu strategis perempuan muda, pendidikan, dan kebangsaan. HIMI PERSIS mesti berani berdiri di garis depan, menjadi laboratorium ide besar yang menyuplai narasi, gagasan, dan arah gerakan bagi jam’iyyah dan masyarakat luas. Identitas sebagai mahasiswa harus dimaknai sebagai keharusan untuk berpikir luas, bertindak nyata, dan menyuarakan keadaban.
Jika K.H. Muhammad Yunus di masanya mampu melahirkan generasi pembaharu dan memelopori semangat tajdid, maka HIMI Persis hari ini di usianya yang ke-29 mesti membuktikan diri sebagai pelanjut estafet itu dalam lanskap zaman yang terus berubah. Dengan semangat Muslimah Muda Cendekia nya, HIMI PERSIS harus menjadi agen perubahan yang tidak hanya berpijak pada idealisme, tetapi mampu menjadi kader Persatuan Islam yang ilmiah dalam pemikiran, responsif dalam tindakan, dan visioner dalam merancang masa depan jam’iyyah, bangsa, dan peradaban sebegaimana yang dicita-citakan.
HIMI PERSIS hari ini sudah waktunya untuk tidak sekadar bergelut pada dinamika internal. Kita harus melompat lebih jauh, hadir dalam diskursus publik, mengambil peran dalam wacana nasional, dan menjadi bagian dari solusi atas problem keumatan dan kebangsaan yang lebih kompleks. Sebab, organisasi ini bukan hanya rumah bagi mahasiswi Persatuan Islam, tapi juga potensi besar yang dapat memberikan kontribusi riil untuk umat dan bangsa.
Kini adalah saatnya HIMI PERSIS menegaskan eksistensinya. HIMI PERSIS tidak ingin dikenal hanya sebagai organisasi mahasiswi yang berjalan tanpa arah, tapi sebagai rahim peradaban tempat lahirnya para pemikir, pemimpin, dan pelayan umat. Jika tidak ada lompatan besar, sejarah tidak akan mencatat kontribusi HIMI PERSIS. Namun jika berani melompat dan menciptakan jejak, maka sejarah tidak akan pernah lupa.
Sebagai penutup, tulisan ini bukan sekadar refleksi kelembagaan, tetapi juga refleksi pribadi saya yang hari ini diamahani sebagai Ketua PW HIMI PERSIS Jawa Barat. Saya meyakini bahwa menjadi bagian dari HIMI PERSIS adalah amanah sejarah. Amanah untuk menjadikan organisasi ini sebagai pilar penting dalam pembangunan peradaban, rumah pembinaan kader intelektual, dan kawah candradimuka bagi para Cendekiawan Persatuan Islam.
Mari bergerak bersama. Menulis lembar sejarah berikutnya dengan gagasan, karya, dan keberanian berpikir.
Wallahu a’lam bishshawab.
BACA JUGA: Grand Launching Himi Persis Entrepreneur: Membangun Ekonomi Unggul sebagai Pilar Kemajuan Bangsa