Sudah Benarkah Pilihan Kebijakan Pemerintah? (Menghadapi Kedaruratan; Perspektif Hukum Tata Negara)

oleh Reporter

11 April 2020 | 16:55

Ilham Habiburohman S.H
(Konstultan Hukum PP Persis)
 
​Ditetapkannya darurat pandemi oleh WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020 sebagai akibat dari merebaknya Virus Covid-19 pada titik yang cukup mengkahwatirkan karena menimbulkan banyak korban jiwa hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Melumpuhnya kesehatan global, memaksa banyak negara harus menanggung terjunnya kualitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya 1,5% (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
 ​Menurut Business Dictionary, kegiatan ekonomi adalah tindakan yang melibatkan produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa di semua tingkatan dalam masyarakat, artinya pergerakan perekonomian ditentukan oleh aktivitas manusia. Ketika terjadi persoalan kesehatan pada manusia (tidak adanya interaksi), maka yang paling besar terkena dampaknya ialah sektor perekonomian. Sehingga negara mesti mengambil langkah cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa rakyat salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi) namun bersamaan pula mempertahankan ketahanan ekonomi.
Percepatan virus yang cukup signifikan setiap harinya di Indonesia sejak awal maret 2020 dan status pandemi yang ditetapkan WHO mau tidak mau memaksa pemerintah menyatakan bahwa negara dalam ‘keadaan darurat’(dikeluarkannya Kepres No 11 tahun 2020). Sehingga sebagaimana diatur dalam pasal 12 dan 22 UUD 1945 Presiden dalam jabatannya berhak menyatakan 2 jenis kedaruratan negara dalam keadaan bahaya atau mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam hal-ihwal kegentingan yang memaksa. Terdapat perbedaan mekanisme dalam kedua pasal tersebut, pasal 12 (extraordinary measure) negara dinyatakann darurat oleh Presiden terlebih dahulu lalu diikuti oleh kebijakan atau peraturan berikutnya, sedangkan Pasal 22 (extraordinary rules) presiden secara langsung mengeluarkan Perpu (Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, disebabkan karena ada kegentingan yang memaksa.
Setiap negara memiliki ancaman bahaya dan kedaruratan oleh karena itu dalam prinsipnya ada beberapa akibat hukum yang terjadi jika negara dinyatakan dalam keadaan darurat/bahaya :
a. Akibat hukum terhadap penyelenggaraan negara; yang dikenal dengan Darurat sipil, darurat Militer dan darurat perang.
b. Akibat pada peraturan perundang-undangan, asas hukum dan ketentuan hukum dapat dikesampingkan
c. Akibat pada Hak asasi manusia, dalam perpu tahun 59, ketiga jenis darurat pada poin (a), HAM dapat dibatasi, terutama darurat militer dan perang. Aparat bisa menangkap tanpa surat perintah, dapat merampas hak milik jika dianggap membahayakan negara, tidak ada lagi trespassing
d. Akibat pada penegakan hukum, dalam kondisi darurat dapat terpengaruh, tidak adanya prosedur peradilan.
Tergantung pada kadar kegentingan dan kedaruratan, segala akibat hukum itu bisa bisa menjadi opsi kebijakan pemerintah, atau seperangkat akibat hukum yang dijalankan secara bersamaan. Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi tersebut di atas telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain:
b. karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
c. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
d. kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Maka pada 31 Maret 2020 lalu pemerintah mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan dan stabilitas sistem keuangan menghadapi Pandemi. Dibarengi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar. Yang pada intinya baik perpu maupun PP tersebut hanya meperluas WEWENANG pemerintah tanpa adanya KEWAJIBAN.
Jika kita nilai pada kaidah pertama, bahwa perekonomian tidak akan bergerak jika kesehatan masyarakat terganggu, baik perpu (yang hanya meng-address pada sektor ekonomi) ataupun pembatasan sosial berskala besar saja tidak akan cukup, rakyat butuh pangan yang memadai. Alhasil, kebijakan tersebut malah akan berimbas menjadi beban keuangan bagi negara  (karena minimnya pendapatan).
Kaidah kedua, akibat hukum keadaan darurat bukan bersifat opsional namun bisa dilaksanakan secara bersamaan, tegasnya; pemertintah semestinya bukan hanya memperlebar wewenangnya, namun dibarengi dengan memenuhi kewajibannya yakni melayani kebutuhan masyarakat yang kurang berkecukupan dan dibatasi ruang geraknya. Dengan kata lain, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa negara wajib melindungi rakyat, maka keselamatan rakyat adalah yang paling utama. Bagi penulis, Mengalihkan rencana anggaran APBN 2020 yang mulanya untuk proyek-proyek besar  semisal pemindahan ibukota bisa menjadi opsi yang cukup untuk pemerintah menjalankan wewenang tanpa meninggalkan kewajiban, sehingga tidak menambah beban keuangan yang tidak jelas darimana asal usulnya.
 
Wallahu’alam bis shawab

Reporter: Reporter Editor: admin