Transformasi Santri di Era Modern: Membumikan Jihad Ilmiah dalam Perspektif HIMA PERSIS
Oleh : Fahri Faturohman
Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PP HIMA PERSIS
Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa besar para santri dan ulama dalam perjuangan kemerdekaan serta pembangunan bangsa. Namun bagi HIMA PERSIS, peringatan ini tidak cukup dimaknai sebagai ritual historis atau seremoni simbolik. Hari Santri harus menjadi momentum kebangkitan jihad ilmiah, perjuangan melalui ilmu pengetahuan, pemikiran rasional, dan amal saleh sebagai bentuk kontribusi nyata santri terhadap kemajuan umat dan bangsa. Dalam pandangan HIMA PERSIS, santri bukan sekadar simbol tradisi pesantren, melainkan agen tajdid (pembaruan) yang menegakkan nilai tauhid, rasionalitas, serta disiplin ilmu dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Sebagai organisasi kader intelektual di bawah naungan Persatuan Islam, HIMA PERSIS memandang santri sebagai representasi ideal dari generasi muda Islam yang beriman kuat, berilmu luas, dan berorientasi pada perubahan sosial. HIMA PERSIS melanjutkan semangat tajdid yang diwariskan ulama Persis terdahulu seperti KH. Ahmad Hassan, yang menekankan pentingnya rasionalitas, kemurnian akidah, dan kejujuran intelektual dalam memahami Islam. Bagi HIMA PERSIS, santri sejati adalah mereka yang tidak berhenti pada tataran simbolik seperti pakaian atau label pesantren melainkan mereka yang menginternalisasi semangat ijtihad dan berpikir kritis untuk menjawab persoalan umat.
Dalam pandangan HIMA PERSIS, konsep Tafaqquh Fiddien di pesantren Persis harus memiliki penafsiran yang dinamis. Tafaqquh Fiddien tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan memahami ilmu agama secara tekstual, tetapi juga sebagai dasar berpikir kritis, ilmiah, dan kontekstual untuk menghadapi realitas modern. Santri yang tafaqquh fiddien bukan sekadar ahli hukum-hukum fikih, melainkan juga mampu menafsirkan nilai-nilai Islam secara aplikatif dalam bidang sains, sosial, ekonomi, dan teknologi. Dengan demikian, pesantren Persis harus menjadi ruang dialektika antara wahyu dan akal, antara teks dan konteks, antara ilmu agama dan realitas kehidupan. Inilah ruh intelektual yang ingin dihidupkan oleh HIMA PERSIS dalam pendidikan santri masa kini.
Pandangan ini melahirkan konsepsi baru tentang jihad. Dalam konteks modern, jihad bukan hanya perjuangan fisik, tetapi perjuangan ilmiah dan intelektual dalam menghadapi kolonialisme gaya baru; kebodohan, kemiskinan, disinformasi, dan kemerosotan moral. Jihad bil ‘ilm menjadi keniscayaan bagi santri masa kini. Dalam bingkai pemikiran HIMA PERSIS, jihad ilmiah mencakup tiga ranah utama: pertama, menegakkan kebenaran dan tauhid dengan argumentasi ilmiah; kedua, membangun masyarakat berpengetahuan dan berakhlak; dan ketiga, mengembangkan inovasi sosial serta teknologi yang bermanfaat bagi umat. Dalam semangat ini, pena, riset, dan karya tulis menjadi senjata santri yang tidak kalah sakral dibanding bambu runcing para pejuang kemerdekaan di masa lalu.
Agar semangat jihad ilmiah ini hidup, HIMA PERSIS menekankan pentingnya transformasi santri di empat bidang utama. Pertama, transformasi intelektual, di mana santri harus mengintegrasikan ilmu agama dengan sains modern. Pesantren dan lembaga pendidikan Islam perlu membuka diri terhadap perubahan kurikulum yang mendorong santri memahami ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan budaya secara menyeluruh. Ilmu agama tidak boleh terpisah dari realitas sosial, melainkan harus menjadi sumber inspirasi bagi inovasi dan kemajuan peradaban.
Kedua, transformasi sosial, yaitu perluasan peran santri sebagai penggerak perubahan di masyarakat. Santri masa kini dituntut hadir di ruang publik sebagai pendidik, aktivis sosial, peneliti, jurnalis, dan entrepreneur yang berjiwa dakwah. Semangat amar ma‘ruf nahi munkar harus diwujudkan dalam kerja-kerja sosial, advokasi, dan pemberdayaan umat. Santri bukan hanya bicara di mimbar, tetapi juga bekerja di lapangan, menciptakan solusi nyata bagi problem kemanusiaan.
Ketiga, transformasi kultural. HIMA PERSIS menyadari bahwa santri hidup di tengah masyarakat yang multikultural. Karena itu, santri perlu memiliki kecerdasan budaya mampu berdialog dengan keragaman tanpa kehilangan prinsip tauhid. Santri harus menjadi teladan moderasi Islam yang tegas terhadap penyimpangan, namun lembut dalam berdakwah. Inilah bentuk dakwah rasional yang diusung Persis: menolak bid‘ah dan taklid buta, tetapi tetap menghormati perbedaan dengan akhlak ilmiah.
Keempat, transformasi teknologi. Di era digital, medan dakwah dan pendidikan telah bergeser ke dunia maya. Santri perlu menjadi pionir dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk menyebarkan nilai Islam yang mencerahkan. Dakwah melalui riset, konten digital, jurnal ilmiah, dan inovasi media menjadi bentuk jihad ilmiah baru. Dunia digital bukan ancaman, melainkan ladang dakwah yang luas bagi generasi santri modern.
Lebih jauh, HIMA PERSIS juga berharap kepada seluruh pesantren di Indonesia,khususnya pesantren persis, selain mendalami ilmu agama juga mendukung para santrinya untuk memperdalam ilmu-ilmu umum. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga sebagai wadah pencetak kader umat yang ahli di berbagai bidang kehidupan. HIMA PERSIS menegaskan bahwa pesantren harus melahirkan santri yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan oleh bangsa dan umat. Santri yang demikian adalah wujud nyata dari tafaqquh fiddien yang progresif: memahami agama secara mendalam sekaligus menjadikannya pijakan untuk berkontribusi pada peradaban manusia. Santri yang ahli dalam ilmu duniawi tidak berarti kehilangan spiritualitasnya, justru memperluas ladang pengabdian kepada Allah melalui profesi yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan Persis sendiri.
Dengan keempat bentuk transformasi dan semangat penguasaan ilmu tersebut, HIMA PERSIS ingin menegaskan bahwa santri masa kini tidak boleh sekadar bertahan, tetapi harus menjadi pelopor perubahan. Santri bukan hanya penjaga tradisi keagamaan, tetapi juga penjaga peradaban. Mereka harus teguh dalam akidah, rasional dalam berpikir, profesional dalam bekerja, dan sosial dalam bertindak.
Hari Santri Nasional, dalam pandangan HIMA PERSIS, seharusnya menjadi momentum reflektif untuk menghidupkan kembali semangat tajdid, tafaqquh fiddien yang dinamis, dan jihad ilmiah. Perayaan ini bukanlah puncak kebanggaan, melainkan panggilan tanggung jawab untuk terus berjuang di jalan ilmu dan amal. Santri diharapkan menjadi generasi yang mampu menggabungkan keteguhan iman dengan keunggulan intelektual menjadikan Islam bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi sistem nilai yang membimbing peradaban.
BACA JUGA:Santri dan Pesantren Sebagai Penjaga Moral Ummat dan Bangsa