Adab dalam Keilmuan
Ada sebuah tradisi yang baik dari para Ulama Salaf yaitu mereka sering saling memuji di antara mereka, saling menyanjung di antara mereka, bukan saling menghujat dan mencaci maki. Mereka mempunyai adab/akhlak yang mulia. Dalam hal ini, sanjungan-sanjungan di antara mereka tidak kantong kosong tetapi didasari dengan keilmuan yang mereka saling merasakannya ketika dalam interaksi dan komunikasi ilmiah.
Seperti halnya sanjungan Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Syafi’i yang disebutkan dalam mukadimah Ahmad Muhammad Syakir di kitab al-Risalah bahwa “kalaulah bukan karena Imam Syafi’i niscaya aku tidak akan mengetahui fiqh al-Hadits”. juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah bahwa “Imam Syafi’i itu adalah orang yang paling faqih/faham dari manusia di dalam kitab Allah/al-Quran dan Sunnah” (Muhaqqiq al-Risalah: 6).
Begitu juga dalam adab keilmuan Islam mereka. Para ulama sering mencantumkan nama orang yang dirujuknya sebagai adab dalam ilmiah/keilmuan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab-kitab Syarahnya selalu menyebutkan kalimat “takriman atau ihtiraman li syaikhi” adalah penghormatan dan pengagungan kepada gurunya sebuah adab yang ditampakan seorang Ulama tawadhu/rendah hati. Juga sering mencantumkan kitab-kitab yang dirujuknya dalam mukadimah kitab yang hendak ia tulisnya seperti dalam mukadimah tafsir Mirah Labid (Marah Labid: 1/5).
Dalam hal adab keilmuan, seseorang seyogianya menanamkan adab di dalam keilmuannya sebagaimana seperti dalam memahami al-Quran dan al-Sunnah. Banyak orang yang memahami al-Quran dan al-Sunnah tidak menggunakan terlebih dahulu dari pemahaman para Ulama. Mereka langsung memahami al-Quran dan al-Sunnah secara manthuqnya, tekstualnya sahaja. Padahal para Ulama terlebih dahulu sudah memberikan cara atau metode dalam memahami teks-teks al-Quran dan al-Sunnah baik secara al-Ma’tsur maupun al-Ra`yu.
Seperti halnya Imam Syafi’i dalam menjelaskan sebuah ayat, ia menjelaskan ayat tersebut dengan hadits Rasulullah Saw, juga pendapat-pendapat para Sahabat dan Tabi’in serta diakhiri dengan pendapatnya sendiri (al-Umm: 1/41-42). Cara seperti ini adalah jalan untuk keselamatan dalam berijtihad dan berpendapat, tidak melenceng jauh dari pemahaman para Ulama, dan ini bagian dari adab keilmuan.
Hari ini banyak orang memahami ayat-ayat al-Quran dan teks-teks al-Hadits dengan cara-cara pengetahuannya sendiri, menganggap dirinya lebih pintar dan berkemampuan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits sehingga terjadi banyak kesalahan dalam penafsiran dan penjelasan-penjelasan haditsnya. Cara-cara seperti ini adalah cara-cara orang yang tidak mempunyai adab dalam keilmuan dan akan menjerumuskan umat pada kesesatan pemahaman.
Oleh karenanya, mujtahid sejati yang dapat memberikan sebuah istinbat hukum di dalam Islam harus orang yang mempunyai adab dalam keilmuan. Kita dapat membaca sebuah penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi (al-Minhaju Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj) yang memberikan penjelasan terlebih dahulu di dalam mensyarah hadits dengan ilmu-ilmu hadits yang dapat membantu pemahaman yang syumul (komprehensif) seperti menjelaskan terlebih dahulu manhaj Imam Muslim, apakah perbuatan dan perkataan sahabat itu bisa dijadikan hujjah?, menjelaskan Riwayat hadits dengan makna, hadits dengan dua sanad, dan lain sebagainya (Syarh Shahih Muslim: 1/35-41). Juga dalam menjelaskan sebuah kalimat, ia memulai dari kebahasaan yang menggunakan periwayatan-periwayatan para Ulama dahulu sebagai pijakan seperti Ibnu Juraij, Ibnu Aisyah, Abu Bakar, Bakar bin Kaltsum al-Sulami, dan lain sebagainya (Syarh Shahih Muslim: 1/67).
Dari pemaparan di atas, dapat memberikan sebuah gambaran bahwa adab di dalam keilmuan sangat diperlukan dan sangat urgent. Seyogianya kita sebagai orang yang hidup di abad 14 Hijriah ini tidak akan bisa melepaskan diri dari peran-peran orang dahulu baik dari generasi para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, juga para Ulama.
Terkadang seseorang terjebak dalam slogan back to al-Quran dan al-Sunnah (kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah) dengan sporadis memahami al-Quran dan al-Hadits dengan tidak menggunakan adab dalam keilmuan, yaitu tidak melibatkan para Mujtahid dahulu sebagai pijakan atau standar. Mereka menganggap bahwa yang dimaksud dengan al-Ruju’ ila al-Qur`an wa al-Sunnah (Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah) itu adalah langsung membacakan teks-teks al-Quran dan al-Sunnah tanpa melibatkan pemahaman para Ulama, padahal cara-cara seperti ini adalah hilangnya adab keilmuan dan menjauhkan diri dari pemahaman yang benar.
Ibnu Taimiyah pernah menjelaskan bahwa setingkat Imam Malik mengatakan bahwa sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa yang terkadang aku berbuat benar dan berbuat salah. Juga Imam Ahmad mengatakan bahwa janganlah bertaqlid kepadaku, juga kepada Malik, juga kepada Syafi’i dan Tsauri (Majmu’ah al-Fatawa: 20/211). Artinya, adab di dalam keilmuan itu harus dijadikan pijakan sebagaimana mereka telah melakukannya, tidak menjadi para penganut agama Islam yang arogan.
Adab dalam keilmuan akan mencerminkan ketawadhuan seseorang, juga akan mencerminkan kejujuran, dan akan mencerminkan keamanahan, serta akan nampak keluhuran ilmunya dari sikap beradab tersebut. Adab dalam keilmuan adalah upaya menjaga tradisi baik para Ulama dalam dunia ilmiah, jika kita melepaskannya niscaya akan terlihat kerusakan dalam ilmu.
Epilog
Estafeta adab Ta’lim al-Muta’allim senantiasa harus terus diajarkan dari generasi ke generasi Islam sebagaimana yang dijelaskan Imam Ibnu Miskawaih bahwa ilmu dan adab ini adalah penting (Tahdzib al-Akhlaq Wa Tathhir al-A’raq: 14). Perhatian para Ulama sangat besar terhadap adab Ta’lim al-Muta’allim ini sehingga mereka memberikan kontribusi besar untuk Umat Islam dalam menjaga adab para pencari ilmu juga para pengajarnya. Keberhasilan mendidik adab para generasi Islam akan melahirkan para Ulama dan Umara (pemimpin) yang mampu memberikan cerminan atau tauladan bagi Masyarakat, Umat dan Bangsa.
Oleh karenanya, pendidikan adab bagi umat Islam adalah sesuatu yang penting untuk diajarkan dan diamalkan dalam sehari-hairnya baik dari aspek kejujuran ilmiah, ketawadhuan dalam bersikap, dan keamanahan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Adab ini akan menghiasi agama Islam menjadi sesuatu yang menarik dan unique, kekhasan dan keistimewaannya akan nampak dipermukaan oleh khalayak ramai, bukankah Nabi Saw diutus itu untuk menyempurnakan akhlak manusia. ***Wallahu’alam bishshawab
BACA JUGA:Menyiapkan Creative Minority Untuk Kemajuan Peradaban Islam