Aksi Massa dan Dilema Kekerasan: Membaca Ulang Tan Malaka di Tengah Bara Ketidakadilan

oleh Izhhari Ichlasul Dwitama

02 September 2025 | 18:13

Izhhari Ichlasul Dwitama, S.I.Kom - Bidang Politik & Keamanan PC. Pemuda Persis Banjaran

Beberapa waktu terakhir, Indonesia kembali menyaksikan gelombang demonstrasi besar-besaran. Rakyat tumpah ke jalan, memprotes ketidakadilan struktural, tekanan ekonomi, dan ketimpangan respons negara terhadap penderitaan masyarakat.


Namun di tengah lautan tuntutan yang sah, muncul juga pemandangan yang mengkhawatirkan: pembakaran kantor pemerintahan, penjarahan toko milik warga, perusakan fasilitas umum, dan kekerasan sporadis atas nama kemarahan kolektif.


Fenomena ini mengundang pertanyaan kritis: sejauh mana kekerasan dapat dibenarkan dalam aksi massa? Apakah tindakan anarkis merupakan bentuk paling otentik dari ekspresi rakyat yang muak? Ataukah justru itu merupakan gejala dari kehilangan arah dan krisis kepemimpinan gerakan?


Untuk menjawabnya, kita perlu kembali membaca Tan Malaka, seorang pemikir revolusioner Indonesia yang menulis karya penting Aksi Massa pada 1926. Bagi Tan, aksi massa bukan sekadar kerumunan marah, melainkan proses politik yang terorganisir, sadar kelas, dan bertujuan strategis.


Ia membedakan secara tegas antara aksi massa sejati dengan putsch—gerakan elite kecil yang meledak secara kekerasan tanpa dukungan luas rakyat. Bagi Tan, perubahan sejati hanya mungkin lahir dari konsolidasi kesadaran dan organisasi rakyat, bukan dari ledakan emosional.


BACA JUGA:

PW PERSIS Jabar Ajak Tokoh Agama Redam Emosi Publik di Tengah Aksi Demonstrasi