Oleh: Dr. Jeje Zaenudin, M.Ag
Ketua Umum PP PERSIS 2022-2027
Cinta akan kesenangan duniawi merupakan tabiat umum manusia. Ia bagian penting dari fitrah dasar yang Allah ciptakan pada jiwa manusia, sebagaimana firman-Nya “Telah dihiaskan kepada manusia mencintai syahwat…”. (Ali Imran: 14)
Sebagai sebuah fitrah naluriah, kecintaannya pada kesenangan dan kelezatan dunia tanpa memerlukan pendidikan dan pengajaran, ia muncul dan tumbuh dengan sendirinya dalam hati manusia. Karenanya manusia akan terus mencari cara dan sarana untuk meraih kesenangan tersebut.
Sarana dan alat untuk meraih kesenangan dunia itu adalah harta kekayaan dan jabatan. Dengan harta manusia dapat membeli apa saja yang disukainya. Sedang dengan jabatan ia memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk meminta, menyuruh, dan menguasai apa yang diinginkannya. Maka jikapun seseorang mau berkorban dengan hartanya yang banyak untuk meraih suatu jabatan, karena ia punya agenda bahwa dengan jabatan yang didudukinya ia dapat meraih kesenangan lain yang lebih mudah dan lebih banyak.
Seringkali kecintaan pada kekayaan itu membuat manusia buta pikiran dan hatinya. Sehingga telah bergeser dari tujuan menikmati kekayaan itu sendiri. Ketika kekayaan sudah melimpah ruah, melebihi dari batas kebutuhan hidupnya secara wajar, maka kesenangan yang diharapkannya bukan lagi sekedar untuk menikmati enaknya makanan yang lezat, pakaian yang mahal, istana yang megah, kendaraan yang mewah, tetapi menganggap bahwa dengan harta melimpah segala sesuatu bisa diselesaikannya. Bahkan mengira bahwa harta bendanya itu menjadi jaminan keselamatan dan kekekalan hidupnya. Sehingga mengukur segala sesuatu hanya dengan timbangan materi duniawi semata.
Hanya orang-orang yang lebih kaya darinya yang merasa ia patut dihormatinya, sedang semua manusia yang dianggapnya miskin adalah manusia hina dihadapan dirinya. Pandangan dan sikap berlebihan seperti inilah yang diisyaratkan dalam Al-Quran, “Semoga celaka setiap para pengumpat dan pencela. Yaitu yang menumpuk harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Dia pasti akan dilemparkan ke dalam neraka Huthamah”. (Al Humazah: 1-4)
Para budak harta tidak akan merasa puas hanya dengan mencukupi keinginan syahwatnya, tetapi telah bergeser kepada mencari kepuasan di luar dari apa yang dinikmatinya, yaitu ia ingin pamer dan berbangga-bangga pada manusia yang tidak beruntung seperti dirinya. Dengan itu ia mendapatkan kesenangan lain dari tujuan materi itu sendiri, yaitu merasa puas dan senang ketika mendapat pujian orang lain sekaligus membuat iri dan menyiksa perasaan orang-orang yang tidak seberuntung dia. Muncullah budaya flexing di media sosial, yaitu budaya memamerkan kekayaan secara mencolok kepada publik guna meraih pengakuan, popularitas, hingga kepuasan jiwa yang tidak rasional.
Manakala kecintaan terhadap harta dunia sudah seperti itu, apalagi diperoleh dengan cara haram melalui korupsi dan kolusi dengan kekuasaan, maka alamat kebinasaan telah dekat kepadanya. Sebagaimana telah diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah Saw. “Binasalah hamba dinar dan dirham, binasalah hamba pakaian kemewahan..” (Hadits Sahih Bukhari)
Al-Quran bahkan memberi contoh nyata tentang bahayanya cinta dan pamer kekayaan serta tidak memiliki rasa empaty terhadap kesusahan masyarakat miskin. Ketika Al-Quran mengisahkan kesombongan Qarun, kemudian pada akhirnya dibinasakan Allah dan ternyata hartanya sama sekali tidak mampu menolong dirinya sedikitpun ketika terjadi gempa dahsyat yang menenggelamkan dia dengan seluruh harta bendanya,
Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku." Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.
Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar."
Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah)." (Al Qashash : 78-82)
Al-Quran menggambarkan bahwa ketika Qarun memamerkan kekayaan dan kemegahannya, penilaian masyarakat terbelah dua. Masyarakat awam yang cinta dunia tidak paham darimana kekayaan Qarun diperoleh serta tidak memahami makar jahatnya kepada Nabi Musa dan orang-orang beriman, mereka memujinya dan menginginkan bisa bernasib baik seperti Qarun. Sementara orang-orang beriman dan berilmu yang memahami bahwa kekayaan Qarun tidaklah semua dengan cara yang benar. Melainkan dengan posisinya sebagai menteri kepercayaan Firaun dalam urusan Bani Israil, Qarun memanfaatkannya untuk untuk mengeruk kekayaan melimpah ruah dengan cara yang cepat.
Tidaklah mungkin Allah membinasakannya dengan begitu dramatis di dunia ini jika Qarun tidak berbuat persekongkolan jahat dengan Firaun untuk mencelakakan Nabi Musa. Sekaligus menjadi peringatan keras kepada orang-orang yang kafir menentang dakwah Nabi Musa dan pelajaran bagi orang-orang yang bimbang dalam imannya dan masih terpedaya dengan gemerlap dunia.
Atas dasar itu, sangat wajar ketika Nabi Muhammad Saw memperingatkan umatnya tentang bahayanya kekayaan dunia ketika telah dijadikan tujuan dan objek yang diperebutkan:
“Bukanlah kefakiran yang aku takuti kepada kalian, tetapi aku takutkan kepada kalian ketika kekayaan dunia telah dibukakan kepada kalian, kemudian kalian berlomba-lomba dan bersaing-saing seperti bersaing-saingnya kaum terdahulu, sehingga kalian binasa sebagaimana kaum terdahulu binasa.” (HR. Bukhari-Muslim).
Al-Quran dan Hadits sama sekali tidak benci dan anti kekayaaan, justru banyak ayat dan hadits mendorong kaum muslimin menjadi kaya dan jauh dari kemiskinan. Akan tetapi Al-Quran dan Sunnah mengingatkan bahaya cinta dunia yang membutakan hati dan pikiran. Sehingga manusia terjerumus kepada pendewaan harta kekayaan lalu dijadikan alat kebanggaan dan kesombongan yang dipamer-pamerkan. Harta telah berubah dari sarana ibadah dan alat kebaikan di dunia menjadi tujuan hidup untuk meraih kesenangan dan kepuasaan yang dikiranya akan mengekalkan. Pada saat itulah harta dunia telah menjadi perangkap yang menjerat pemiliknya ke lubang kebinasaan.
BACA JUGA:Bagaimana Hukumnya Seorang Anak yang Menggugat Harta Wakaf Orang Tuanya?