Hindari Mubazir: Boros adalah Perilaku Saudara Setan dalam Islam

oleh Redaksi

17 Maret 2025 | 08:09

Photo by Diana Light from Pexels: https://www.pexels.com/photo/desserts-and-tea-in-bright-room-4721990/

Oleh: Ustaz Rahmat Najieb


اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا ٢٧


Sesungguhnya para mubaddzir itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS Al-isra [17] : 27)


BADDZARA – YUBADDZIRU – TABDZIRAN artinya boros, menggunakan harta yang banyak khusunya uang, misalnya untuk membeli barang-barang yang tidak berguna atau memasak makanan yang tidak dimakan atau terlalu banyak yang akhirnya dibuang. Orang yang melakukan TABDZIR adalah MUBADDZIR.


Kebutuhan manusia itu ada tiga tingkatan; primer, sekunder, dan tersier. Primer adalah kebutuhan pokok manusia yang mutlak harus terpenuhi lebih dulu; sandang, pangan dan papan. Kebutuhan sekunder adalah sebagai kebutuhan pelengkap setelah kebutuhan primer, seperti meja kursi, lemari, peralatan atau perlengkapan rumah tangga. Kebutuhan tersier artinya kebutuhan terhadap barang-barang mewah. Kebutuhan tersier dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Kebutuhan ini lebih cenderung bertujuan untuk menunjukkan status sosial atau prestise seseorang di mata masyarakat. Misalnya memiliki rumah mewah dan membeli pakaian mahal dari luar negeri.


Penggolongan kebutuhan menurut intensitasnya bersifat relatif dan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Semua itu tergantung dari pendapatan, tingkat pendidikan, kepentingan, lingkungan, dan keadaan sosial budaya daerah setempat. Mungkin sebuah komputer bagi seorang ibu rumah tangga adalah mewah, termasuk tersier, tetapi bagi seorang karyawan tertentu mungkin menjadi kebutuhan primer. Jika seseorang membeli barang yang kurang ia perlukan, hanya untuk kepentingan gaya hidup, maka termasuk mubazir.


Seseorang yang mengeluarkan harta untuk maksiat atau membeli barang yang tidak berguna walaupun harganya murah itu termasuk mubazir. Tetapi seorang muslim yang membagi-bagikan uang dan harta kepada fakir miskin sebagai shadaqah tidak termasuk mubazir selama tidak memudaratkan dirinya. Firman Allah, “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara tabdzir.” (QS Al-isra [17] : 26). Allah Swt. menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang menjadi ahli surga, di antaranya, “Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya”. (QS Alfurqan [25] : 67)


Pemerintah yang membelanjakan uang negara untuk kepentingan prestise, atau membangun sarana yang hanya dirasakan manfaatnya oleh segolongan kecil orang-orang tertentu itu termasuk tabdzir. Apalagi rakyatnya sangat membutuhkan sandang, pangan, dan papan, sehingga mereka menderita dan terlantar. Para penyelenggara negara itu tergolong mubazir dan menjadi saudaranya setan yang sangat ingkar kepada Allah. Misalnya pemerintah membuat sebuah patung dengan biaya fantastis, trilyunan rupiah. Padahal bila uang itu dibagikan untuk kebutuhan primer rakyatnya sangat bermanfaat; untuk meningkatkan gizinya, memperbaiki rumahnya, membayar biaya kesehatannya, membangun sarana pendidikan dan ibadahnya. 


Membuat patung itu selain tabdzir, suatu saat dapat menimbulkan kemusyrikan yang dosanya semakin berlipat bagi penggagasnya, pendukungnya, pembuatnya, pengeluar anggarannya, pembiarnya, dan semua yang terlibat sehingga terwujudnya. Suatu saat nanti setiap orang akan ditanya tentang hartanya, dari mana didapatkannya, dan untuk apa digunakannya. 

BACA JUGA:

Hukum Merayakan HUT RI

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon