Materi Khutbah Jumat: Etika Menyampaikan Kebenaran, Ujian dalam Menerimanya

oleh Cepi Hamdan Rafiq

12 September 2025 | 13:25

Cepi Hamdan Rafiq, S.Th.I., M.Pd

Khutbah Pertama

اِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَاَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَمَّا بَعْدُ:

Jama’ah jum’at rahimakumullah,

Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah ﷻ dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Jama’ah jum’at rahimakumullah,


Mengapa Tema Ini Penting?

Allah memerintahkan umat-Nya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Tetapi yang sering dilupakan, amar ma‘ruf bukan hanya sekadar menyuarakan kebenaran, tapi juga bagaimana cara menyampaikannya, serta bagaimana seorang pemimpin menyikapinya.


Kisah Nabi Musa dan Fir‘aun dalam QS. An-Nazi‘at [79]: 15–26 adalah pelajaran penting. Musa tampil sebagai teladan rakyat yang berani menyampaikan kebenaran dengan santun. Fir‘aun menjadi contoh buruk pemimpin yang menolak kebenaran karena kesombongan.


Apa Inti Pelajarannya?

Al-Qur’an telah mengisahkan dialog antara Nabi Musa ‘alaihissalam dan Fir‘aun, yang menyimpan pelajaran besar bagi umat hingga akhir zaman. Allah ﷻ berfirman:


﴿ اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴾

“Pergilah engkau kepada Fir‘aun; sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (QS. Al-Nazi‘at: 17).


➡️ Tafsir Ibn Katsir: Fir‘aun disebut ṭaghā karena telah melewati batas kemanusiaan; ia menindas Bani Israil dan bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Namun, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk tetap menggunakan pendekatan yang lembut:

﴿ فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَىٰ أَن تَزَكَّىٰ • وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخْشَىٰ ﴾

“Maka katakanlah: Adakah keinginan bagimu untuk menyucikan diri? Dan aku akan menunjukkanmu jalan menuju Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya.” (QS. Al-Nazi‘at: 18–19).


➡️ Tafsir al-Tabari: Musa tidak langsung menghakimi Fir‘aun, tetapi mengajaknya kepada tazkiyah (penyucian jiwa), karena dakwah harus dimulai dengan kelembutan.

Ayat lain menegaskan:

﴿ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا ﴾

“Berkatalah kepadanya dengan kata-kata yang lembut.” (QS. Thaha [20]: 44).


➡️ Ibn Katsir: Kata-kata yang lemah lembut lebih menyentuh hati, bahkan pada orang yang sombong sekalipun.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ

“Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim no. 55).


➡️ Syarah Imam Nawawi: Nasihat harus diberikan dengan kasih sayang, keikhlasan, dan kelembutan, bukan dengan kekerasan atau cacian.

Jama’ah jum’at rahimakumullah,


Pelajaran untuk kita:

Musa mengajarkan bahwa kebenaran harus disampaikan dengan adab, bukan kemarahan. Fir‘aun menunjukkan bahwa kesombongan adalah penghalang terbesar menerima kebenaran. Pelajarannya: penyampai harus santun, penerima harus rendah hati.


Seruan Takwa

Jamaah Jumat rahimakumullâh, mari kita jadikan kisah Musa dan Fir‘aun sebagai pengingat. Kebenaran harus disampaikan dengan adab, dan diterima dengan jiwa yang lapang.



Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ اَمَرَنَا بِالتَّقْوَى وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ الْهَوَى. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَمَّا بَعْدُ:

Jama’ah jum’at rahimakumullah,

Jika Nabi Musa memberikan teladan adab dalam menasihati, Fir‘aun menunjukkan contoh buruk bagaimana seorang pemimpin menolak kebenaran. Allah ﷻ berfirman:

﴿ فَحَشَرَ فَنَادَىٰ • فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ ﴾

“Maka ia mengumpulkan kaumnya lalu berseru: ‘Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.’” (QS. Al-Nazi‘at: 23–24).


➡️ Tafsir al-Baghawi: Inilah puncak kesombongan, tidak hanya menolak nasihat, tetapi juga melawan Allah dengan mengaku sebagai Tuhan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91).


➡️ Syarah Ibn Hajar: Fir‘aun adalah contoh ekstrem dari kesombongan: menolak kebenaran yang nyata, dan meremehkan rakyatnya.


Bagaimana Cara Mengamalkannya?

  1. Sebagai rakyat / kader: meneladani Musa; berani menyampaikan kebenaran, tapi dengan hikmah dan adab.
  2. Sebagai pemimpin / orang berkuasa: jangan meniru Fir‘aun; terbuka pada kritik, karena kritik yang jujur adalah tanda kasih sayang.

Al-Mawardi dalam Adab al-Dunya wa al-Din:

“Pemimpin yang menolak nasihat berarti menutup pintu kebaikan bagi dirinya sendiri dan rakyatnya.”


Kesimpulan:

Jama’ah jum’at rahimakumullah,

Dalam keluarga, organisasi, maupun negara, kebenaran akan menjadi cahaya jika rakyat menyampaikan dengan bijak, dan pemimpin menerima dengan rendah hati.


Apa yang Harus Kita Lakukan?

  1. Mari jadi rakyat yang berani tapi santun.
  2. Mari jadi pemimpin yang tegas tapi rendah hati.

Jadikan kisah Musa vs Fir‘aun sebagai cermin kehidupan: Musa teladan rakyat berani nan santun, Fir‘aun contoh buruk pemimpin sombong nan menolak kebenaran.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. اَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَ لَكُمْ

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




BACA JUGA:

Hidup Tenang di Tengah Ujian: Kunci Syukur dan Sabar dalam Islam