Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam (PART 01)

oleh Rogifi Rogib Piddiin

01 Juli 2025 | 16:57

Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam (PART 01)

Kontribusi Hadis Dalam Pembentukan Hukum Islam

Rogifi Rogib Piddiin

Part I


Abstrak: Penelitan ini memaparkan tentang kontribusi hadis terhadap hukum Islam. Hadis memiliki peran penting dalam terbentuknya hukum Islam, mengingat hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Oleh karena itu, penelitian ini berangkat dari dua permasalahan. Pertama, bagaimana kedudukan hadis dalam Islam? Kedua, bagaimana hadis dalam membentuk hukum Islam?. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research), yaitu mencari berbagai literatur untuk menguraikan pentingnya studi hadis dan kontribusi hadis dalam pembentukan hukum Islam


Kata Kunci: Kontribusi Hadis; Hukum Islam


Pendahuluan


Hadis bukanlah teks suci sebagaimana Alquran, karena ia merupakan yang berbeda dengan hadis. Karena Alquran terjaga keasliannnya. Berbeda dengan hadis, pasti di antara kita setidaknya akan menemukan hadis yang dha‘îf bahkan sampai maudhû‘. Perbedaan yang sangat terlihat antara hadis dengan Alquran ialah ketika kita membacanya. Dinyatakan di dalam sebuah riwayat hadis dikatakan, bahwa ketika kita membaca Alquran akan diberikan pahala sebanyak satu huruf sama dengan sepuluh kebaikan. Sebagaimana sabda Nabi Shallâhu alaihi wa sallam, “… bacalah Alquran, maka bahwasanya Allah akan memberikan pahala atas bacaannnya itu satu huruf senilai dengan sepuluh kebaikan …”. (Abū ‘Abdillāh al-Ḥākim, 1990)


Meskipun demikian, hadis akan selalu menjadi rujukan kedua setelah Alquran dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman. Mengingat akan penulisan hadis yang telah dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan suatu hadis, sehingga hal tersebut memunculkan sebagian kelompok yang meragukan dan mengingkari hadis sebagai sumber hukum. Sekalipun demikian, sejatinya ulama hadis telah menyusun berbagai literatur hadis untuk membuktikan keabsahan suatu hadis, sehingga hadis merupakan sumber hukum yang telah disepakati. Bahkan dengan adanya kontribusi hadis terhadap ajaran Islam, Islam menjadi sempurna, serta dapat difahami dan diamalkan oleh umat muslim.


Kedudukan hadis dalam ajaran Islam sangatlah penting, khususnya dalam masalah hukum (fiqh). Serta dengan adanya hadis juga, umat Islam dapat mengetahui bagaimana ajaran Islam yang bersifat ‘amaliah (praktek ibadah sehari-hari) dapat diimplementasikan dengan sempurna.


Dalam sebuah penelitian dikatakan, bahwa Alquran akan sulit untuk dipahami tanpa adanya intervensi hadis. Memaknai Alquran tanpa mengambil hadis sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena Alquran akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadis. Keterkaitan dengan kedudukan hadis di samping Alquran sebagai sumber ajaran Islam, maka Alquran merupakan sumber pertama, sedangkan hadis adalah sumber hukum kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara Alquran dan hadis karena keduanya adalah wahyu Allah Subhânahu wa ta'âla, hanya saja Alquran merupakan matlu (wahyu yang dibacakan oleh Allah Subhânahu wa ta'âla, baik redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi wa sallam menggunakan bahasa Arab) dan hadis merupakan wahyu ghair matlu (wahyu yang tidak dibacakan Allah Subhânahu wa ta'âla kepada Nabi Muhammad secara langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lapadnya dari Nabi sendiri).(Muhammad Ali dan Didik Himmawan, 2019)


Maka dari itu Alquran akan sampai kapanpun dalam menerapkan ajaran Islam akan selalu membutuhkan hadis, khususnya dalam masalah praktek ibadah sehari-hari, seperti shalat, zakat, shaum, ibadah haji dan yang lainnya. Bahkan dikatakan bahwasanya para ahli menyimpulkan bahwa ketergantungan Alquran terhadap hadis terkesan lebih dominan daripada kebutuhan hadis terhadap Alquran.(Abu Yasid, 2011)


Pada kesempatan penelitian ini, penulis akan berusaha mencari dan menjelaskan bagaimana literatur hadis dalam melengkapi ajaran Islam secara paripurna, di antaranya studi teologi yang berkaitan dengan hadis dan aspek hukum (fiqh) yang menjadi pelengkap ajaran Islam sehingga bisa diaplikasikan dalam praktek ibadah keseharian, baik itu yang bersifat mahdhah (ritual) maupun ghair mahdhah (sosial).


Pembahasan


Definisi Hadis

Kata hadis menurut bahasa ialah al-jadîd (sesuatu yang baru). (Muḥammad al-Sakhāwī, 2003), yaitu lawan kata dari al-qadîm (sesuatu yang lama). Kadang hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamak dari hadis ialah al-ahâdîts. (Idri dkk, 2021)


Melihat sudut pandang kebahasaan ini, kata hadis dipergunakan baik dalam Alquran maupun hadis itu sendiri. Dalam Alquran misalnya dapat dilihat pada surah al-Thûr ayat 34, surah al-Kahfi ayat 6 dan al-Dhuhâ ayat 11. Kemudian pada hadis dapat dilihat pada beberapa sabda Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam. Di antaranya hadis yang dinarasikan Zayd ibn Tsâbit yang dikeluarkan oleh Abû Dâwud, al-Tirmidzî dan Imam Ahmad yang menjelaskan tentang doa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang menghafal dan menyampaikan suatu hadis dari padanya.(Idri dkk, 2021)


Adapun secara istilah syara, hadis merupakan perkataan, perbuatan, persetujuan (diam) serta fisik dan akhlak Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam sejak Nabi diangkat menjadi Nabi. Sebagaimana didefinisikan oleh ulama sebagai berikut:


هو ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من أقواله، وأفعاله، وتقريراته، وصفاته الخلقية والخُلُقية.


Ialah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam, baik itu ucapannya, perbuatannya, persetujuannya serta sifat fisik dan akhlak Nabi. (Ḥasan al-Zuhairī al-Miṣrī, n.d.)


Melihat definisi di atas bahwasanya segala hâl ihwâl Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam, baik itu yang dituturkannya, dilakukannya, diamnya dan segala seuatu yang diperagakan oleh Nabi dalam kesehariannya, termasuk pula sifat atau karakteristik Nabi di hadapan para sahabatnya itu merupakan hadis Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam.


Berbeda halnya dengan ulama Ushul Fikih, hadis dipahami dengan sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad yang berhubungan dengan hukum syara’ baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Mereka memandang Nabi sebagai penetap hukum. Dengan pengertian di atas, segala perkataan atau aqwâl Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam yang tidak mengandung isi kerasulannya, seperti tata cara berpakaian, berbicara, tidur, makan, minum atau segala yang menyangkut hâl ihwâl Nabi, tidak termasuk hadis. Baik definisi ahli hadis maupun ahli ushul fikih di atas terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullâh tanpa menyinggung-nyinggung perilaku dan ucapan sahabat atau tabi‘in. dapat dikatakan bahwa definisi di atas bersifat terbatas atau sempit.


Ketika ada yang mendefinisikan hadis secara longgar, seperti ulama ushul fikih di atas. Menurut ahli hadis, hadis mempunyai pengertian yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam semata (hadis al-marfû‘), melainkan juga segala yang disandarkan kepada sahabat (hadis al-mauqûf) dan tabi‘in (hadis al-maqthû‘). (Idri dkk, 2021).Demikianlah hadis menurut ahli hadis, hal ini juga sesuai dengan yang disampaikan oleh al-Tarmasî sebagai berikut:


وقيل: لايختصّ بالمرفوع, بل جاء للموقوف والمقطوع.


Dikatakan (dari ulama hadis), bahwa hadis bukan hanya untuk sesuatu yang al-marfû‘ (sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam), melainkan bisa juga untuk sesuatu yang al-mauqûf yaitu sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, (baik berupa perkataan maupun lainnya) dan al-maqthû‘, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada tabi‘in. (Muḥammad Maḥfūẓ al-Tarmasī, 1435)


Maka dari perbincangan definisi hadis di atas, yang dimaksud dengan hadis tidak hanya sesuatu yang disandarkan kepada Nabi semata (al-marfû‘), akan tetapi ketika disandarkan kepada sahabat (al-mauqûf) dan juga yang disandarkan kepada tabi‘in (al-maqthû‘) itu termasuk bagian daripada hadis, sebagaimana yang didefinisikan oleh ahli hadis.



BACA JUGA:

Menggapai Keberkahan Lailatul Qadar: Ihyaul Lail Bersama Pemuda PERSIS Sulawesi Selatan