Keutamaan Waktu Shalat Isya dan Akhir Waktu Shalat Dhuha Menurut Hadis Shahih

oleh Redaksi

19 Februari 2025 | 13:01

Keutamaan Waktu Shalat Isya dan Akhir Waktu Shalat Dhuha Menurut Hadis Shahih

Pertanyaan: Keutaman waktu pelaksanaan salat Isya dan Akhir waktu Dhuha

  1. Dalam melaksanakan Sholat Isya apakah Afdol di awal waktu atau waktu atamah (waktu akhir isya)?
  2. Akhir waktu Sholat Duha jam berapa?



JAWAB:


Untuk pertanyaan pertama mari simak keterangan dari sahabat Abu Barzah al-Aslami:


عَنْ أَبِيْ بَرْزَةَ الْأَسْلَمِي قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنَ الْعِشَاءِ الَّتِي يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قبلها... 


Dari Abu Barzah al-Aslami, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. menyukai untuk mengakhirkan shalat isya yang mereka menyebutnya dengan atamah. Beliau juga tidak menyukai untuk tidur dulu—sebelum melaksanakan sholat isya… (H.R. al-Jama'ah, Nail al-Authar, 1/369)


Hadis di atas dengan jelas mengatakan bahwa mengakhirkan shalat isya adalah sesuatu yang disukai oleh Rasulullah Saw., dari pada mengawalkan waktu (ta'jil). 


Secara hukum, mengakhirkan shalat isya itu mustahab (sunnah). Hal tersebut berdasarkan tiga alasan:


Pertama, berdasarkan dalil bahwa Rasulullah Saw. menyukai shalat isya di akhir waktu seperti hadis yang termuat di atas. Juga, hadis dari Abu Hurairah R.A.:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِتَأْخِيرِ الْعِشَاءِ


Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda: "Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya." (H.R. al-Syafi’i, Ahmad, Ibn Majah: Musnad al-Syafi’i, 1/13; Musnad Ahmad, 12/296; Sunan Ibn Majah, 1/226)


Kedua, pendekatan bahasa. Pada kalimat tersebut terdapat kata لَوْلَا yang diikuti oleh fi'il mudhari'/mustaqbal (kata kerja untuk peristiwa akan datang) yang memberi faidah anjuran. Tentunya anjuran ini ditekankan selama tidak memberatkan untuk dilakukan. Senada dengan hal itu, Abu al-Baqa' al-'Ukbari mengatakan:


(لَوْلَا) هٰذِهِ إِذَا وَقَعَ بَعْدَهَا الْمُسْتَقْبَلُ كَانَ تَحْضِيْضًا وَإِنْ وَقَعَ بَعْدَهَا الْمَاضِي كَانَتْ تَوْبِيْخًا 


Kalimat ini (لَوْلَا), jika setelahnya terletak fi'il mustaqbal, maka memberi faidah anjuran. Sedangkan jika terletak setelahnya fi'il madhi, maka memberi faidah teguran/celaan (Dirasat li Ushlub al-Qur'an al-Karim, 2/699)


Ketiga, kalaulah tidak ada afdhaliyah (keutamaan) dan pahala sedikitpun dalam pengakhiran shalat isya, lantas kenapa para sahabat dengan sukarela menunggu waktu akhir isya sampai kantuk menyerang mereka. Hal ini tentu mengindikasikan adanya keutamaan. Sebagaimana termaktub dalam hadis:


عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ


Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Para sahabat Rasulullah Saw. pada masa beliau sudah biasa menunggu waktu shalat isya hingga kepala mereka mengangguk-angguk (karena mengantuk), lalu mereka mendirikan shalat tanpa berwudhu lagi." (H.R. Muslim dengan Lafazh Abu Dawud: Shahih Muslim, 1/284; Sunan Abu Dawud, 1/51)


Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka mengakhirkan shalat isya berkosekwensi kepada hukum mustahab/sunnah. Oleh karena itu, tidak salah jika Imam al-Syaukani berkomentar seperti ini:


وَهٰذَا الْحَدِيْثُ يَدُلَّ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَأْخِيْرِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ عَنْ أَوَّلِ وَقْتِهَا


Hadis ini menunjukkan kepada mustahab/sunnahnya mengakhirkan shalat isya, dari waktu awalnya (Nail al-Authar, 1/366)


Artinya, pengerjaan shalat isya hukumnya wajib, namun kita dapat pahala sunnah juga dari mengakhirkannya.


Kesimpulan:


  1. Shalat Isya dari segi waktu lebih utama diakhirkan;
  2. Akhir waktu shalat ‘Isya adalah sampai tengah malam.


Pertanyaan kedua, tentang kapan berakhirnya waktu dhuha, bisa ditemukan dalam hadis berikut:


أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى، فَقَالَ: أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ 


Sesungguhnya Zaid bin Arqam, melihat suatu kaum sedang shalat dhuha, lantas ia berkomentar: "apakah mereka tidak tahu, bahwa shalat ini lebih afdhal dilaksanakan bukan pada waktu ini? Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah bersabda, 'shalat awabin (dhuhha) itu—dilaksanakan—ketika anak unta sedang kepanasan'" (H.R. Muslim, Shahih Muslim, 1/515)


Imam Nawawi kemudian memberi judul bab tentang hadis di atas, dalam kitab Riyad al-Shalihin-nya, yaitu: 


بَابُ تَجْوِيْزِ صَلَاةِ الضُّحَى مِنِ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ إِلَى زَوَالِهَا وَالْأَفْضَلِ أَنْ تُصَلَّى عِنْدَ اشْتِدَادِ الْحَرِّ وَارْتِفَاعِ الضُّحَى


Bab “bolehnya shalat dhuha dimulai sejak matahari mulai naik—pada pagi hari—sampai waktu zawal (sebelum masuk zhuhur). Dan yang paling afdhal shalat dhuha itu, yakni ketika sedang teriknya matahari dan waktu dhuha sedang tinggi-tingginya” (Lihat Riyadh al-Shalihin, 1/337)


Artinya, waktu dhuha dalam pelaksanaan shalat tersebut dimulai semenjak sesaat setelah terbitnya matahari, sampai berakhir di siang hari, yaitu beberapa menit sebelum masuk zhuhur. Namun afdhal-nya tentu dilaksanakan ketika waktu anak unta sedang berteduh (sekitar jam 09.00 sampai 19.00).


Kesimpulan:


  1. Waktu dluha dinyatakan masuk setelah terbit matahari. 
  2. Setelah terbit matahari dipahami bila piringan matahari yang paling bawah telah menyentuh ufuk yakni 15 menit setelah syuruq.
  3. Waktu afdlal shalat dluha adalah saat anak unta kepanasan yakni sekitar jam 09.00-11.00.
  4. Waktu Dluha berakhir sampai beberapa saat sebelum kulminasi yakni 5 menit sebelum waktu zhuhur.


BACA JUGA:

Hukum Pemingsanan Hewan Sebelum Disembelih: Stunning dalam Islam

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon