Oleh: Syarief Ahmad Hakim[1]
Miqat Makani dan Miqat Zamani merupakan dua istilah yang dikenal dalam ibadah haji dan umrah. Miqat Makani ialah batas geografis atau lokasi tertentu dimana jemaah haji atau umrah harus melakukan niat haji dan atau umrah di tempat tersebut sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekah. Setiap daerah atau negara memiliki Miqat Makani yang ditentukan. Misalnya, bagi jamaah yang datang dari arah Timur seperti Indonesia, Miqat Makani mereka adalah Qarnul Manazil. Sedangkan Miqat Zamani ialah waktu atau periode tertentu dimana pelaksanaan ibadah haji atau umrah dilakukan. Misalnya, ibadah haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah, sedangkan umrah dapat dilakukan pada bulan hijriyah apa saja sepanjang tahun.
Dalam prakteknya ternyata semua ibadah yang disyariatkan Allah dibatasi oleh waktu dan tempat. Baik waktunya tersebut ditentukan secara spesifik atau sembarang waktu. Demikian juga dengan batasan tempat. Adanya istilah Muqim dan Musafir dalam praktek ibadah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara ibadah tersebut dengan tempat.
Pengertian Waktu dan Tempat
Menurut ilmu Fisika, suatu materi yang berwujud fisik seperti manusia akan terikat oleh ruang dan waktu. Ruang merupakan area abstrak di mana objek dan peristiwa terjadi. Dalam fisika, ruang merujuk pada kerangka di mana posisi dan gerakan diukur. Ia mencakup dimensi panjang, lebar dan tinggi (3D). Lokasi atau posisi spesifik dalam ruang disebut dengan tempat.
Waktu ialah suatu dimensi yang mengikat manusia terdiri dari rangkaian saat yang mengiringi setiap peristiwa di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dengan adanya waktu kita dapat mengukur durasi dan urutan setiap peristiwa yang terjadi.
Manusia merupakan makhluk Allah yang berwujud fisik. Berarti manusia pasti terikat oleh waktu dan tempat. Maka, konsekwensi logisnya setiap ibadah yang disyariatkan oleh Allah kepada umat Islam pasti terikat oleh waktu dan tempat. Misalnya dalam ibadah shalat, kalau kita perhatikan dalam kitab-kitab fikih, sebelum membahas bacaan dan gerakan-gerakan shalat maka akan dibahas terlebih dahulu tentang waktu-waktu shalatnya dan tempat-tempat yang boleh dan tidak boleh shalat di tempat itu.
Acuan Waktu
Yang dimaksud dengan acuan waktu dalam tulisan ini ialah sesuatu yang dijadikan basis atau dasar dalam perhitungan waktu.
Dalam ilmu falak dikenal dua benda langit yang lama peredarannya dijadikan dasar dalam penentuan waktu, yaitu Matahari dan Bulan. Mengapa Allah menjadikan Matahari dan Bulan saja sebagai acuan waktu, tidak dengan benda langit lainnya? Karena kedua benda langit inilah yang paling menonjol ukuran dan cahayanya dibanding benda langit lainnya. Salah satu sebabnya karena jarak kedua benda langit ini relatif dekat dengan Bumi sehingga sifat dan karakter peredarannya mudah diamati dan diketahui.
Apa yang dikenal dalam ilmu Falak ini ternyata sumber informasinya berasal dari ayat al-Qur’an, diantaranya sebagai berikut:
1. Peredaran Matahari
وَجَعَلْنَا الَّيْلَ وَالنَّهَارَ اٰيَتَيْنِ فَمَحَوْنَآ اٰيَةَ الَّيْلِ وَجَعَلْنَآ اٰيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنٰهُ تَفْصِيْلًا
“Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami). Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhanmu dan mengetahui bilangan tahun serta perhitungan (waktu). Segala sesuatu telah Kami terangkan secara terperinci”. (Al-Isrā' [17]:12).
Siang dan malam adalah fenomena yang menggambarkan dua periode waktu yang berlawanan dalam sehari, yang dipengaruhi oleh rotasi Bumi pada porosnya. Siang terjadi ketika suatu wilayah berada di sisi Bumi yang menghadap Matahari, sehingga menerima cahaya Matahari. ini adalah waktu ketika langit tampak terang dan manusia dapat beraktifitas untuk mencari rizki. Sedangkan malam terjadi ketika wilayah tersebut berada di sisi Bumi yang tidak mengahadap Matahari, sehingga langit tampak gelap karena tidak ada cahaya Matahari langsung. Waktu tersebut merupakan saat yang baik untuk istirahat (tidur).
Gerak semu harian Matahari dari arah Timur ke arah Barat merupakan akibat dari gerak rotasi Bumi pada porosnya ke arah Timur langit. Lama gerak rotasi sekitar 23 jam 56 menit sehingga menyebabkan Matahari bergerak secara semu ke arah Barat dalam satu lingkaran penuh selama 23 jam 56 menit pula. Lalu pertanyaannya, mengapa dalam satu hari lama waktunya 24 jam? Waktu yang dijadikan patokan manusia dalam kegiatan sehari-harinya adalah berdasarkan gerak semu Matahari, sedangkan Matahari itu memiliki dua gerakan semu, yaitu gerakan semu harian yang ditempuh dalam waktu 23 jam 56 menit, dan gerakan semu tahunan yang ditempuhnya 4 menit per hari. Kedua waktu gerakan inilah yang membulatkan jumlah sehari semalam menjadi 24 jam.
Apabila di suatu tempat (Meridian tertentu) Matahari sedang pas berada di atasnya (kulminasi atas) kemudian Bumi itu berputar (berotasi) ke arah Timur, maka setelah 23 jam 56 menit tempat itu telah berputar sekali putaran penuh (360°), tetapi Matahari belum pas di atas tempat itu lagi, dia masih berada di sebelah Timurnya kira-kira 1°, dan untuk sampai ke kulminasi atas seperti pada waktu kemarinnya, Matahari masih memerlukan waktu 4 menit lagi. Rupanya selama 23 jam 56 menit itu, Matahari telah bergerak semu ke arah Timur langit sebesar 1°, dan sebenarnya gerakan ini sebagai akibat dari gerak revolusi Bumi.
Menurut ayat di atas juga, manfaat lain dari adanya siang dan malam ialah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Tahun adalah periode waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu orbit penuh mengelilingi Matahari, yang berlangsung sekitar 365,25 hari. Untuk mempermudah pengukuran dan penggunaan waktu, tahun dibagi menjadi 12 bulan, masing-masing berisi beberapa hari dengan jumlah yang bervariasi. Jadi periode tahun merupakan jumlah kumulatif dari hari sebanyak 365 untuk tahun Basithah atau sebanyak 366 untuk tahun Kabisah.
Adapun yang dimaksud untuk mengetahui “perhitungan” ialah bahwa Matahari -demikian juga Bulan- beredar dengan hukum yang pasti, oleh karena itu siklus posisi tertentu dari Matahari dapat dihitung dan diprediksi dengan tepat, sehingga bisa dijadikan acuan dalam penentuan waktu demikian juga dalam pembuatan kalender.
Diantara ibadah dalam syariat Islam yang waktunya didasarkan kepada peredaran Matahari adalah shalat wajib yang lima waktu dalam sehari, mulai berhenti makan dan minum untuk memulai puasa, berbuka puasa, dll.
2. Peredaran Bulan
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
“Dialah yang menjadikan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui”. (Yūnus [10]:5).
Dalam ayat ini Allah menggunakan kata yang berbeda untuk menyebutkan cahaya Matahari dan Bulan. Dimana untuk Matahari menggunakan kata ضِيَاۤءً sedangkan untuk Bulan dengan kata نُوْرًا hal ini menunjukkan adanya sumber cahaya yang berbeda antara keduanya. Matahari bersinar karena memancarkan cahayanya dari proses reaksi nuklir di dalam intinya atau dengan kata lain cahayanya milik sendiri, sedangkan Bulan bercahaya karena memantulkan cahaya Matahari, atau dengan kata lain Bulan tidak memiliki cahaya sendiri.
Manaazil adalah bentuk jama’ dari manzilah yang secara bahasa artinya tempat atau posisi. Sedangkan kata Manaazil dalam ayat ini maksudnya tempat-tempat atau posisi-posisi Bulan dalam bidang orbitnya saat mengelilingi Bumi dengan diiringi perubahan bentuk penampakkannya, dari mulai bentuk sabit, setengah lingkaran, sampai purnama, kemudian kembali setengah lingkaran dan menjadi sabit lagi, sesuai dengan posisinya (manzilahnya). Keteraturan periode Bulan mengitari Bumi dijadikan sebagai perhitungan waktu bulanan yang lamanya sekitar 29,53 hari. Dua belas bulan setara dengan satu tahun yang lamanya 354 hari untuk tahun Basithah dan 355 hari untuk tahun Kabisah.
Awal bulan Hijriyah ditentukan saat posisi Bulan sedang berada di manzilah yang bisa terlihat pertama kali pasca ijtima’ yang disebut dengan istilah hilal.
Dengan adanya keteraturan manzilah-manzilah Bulan maka posisi hilal awal bulan akan bisa dihitung sehingga bisa dijadikan acuan waktu ibadah dan pembuatan kalender Hijriyah.
Adapun ibadah yang waktunya berpatokan kepada peredaran Bulan saat mengelilingi Bumi diantaranya memulai hari pertama puasa Ramadhan serta mengakhirinya, puasa sunah yang terkait dengan tanggal dalam kalender Hijriyah seperti puasa Arafah, Tasu’a-Asyura, pelaksanaan ibadah haji, dll.
3. Peredaran Matahari dan Bulan
وَلَبِثُوْا فِيْ كَهْفِهِمْ ثَلٰثَ مِائَةٍ سِنِيْنَ وَازْدَادُوْا تِسْعًا
“Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun”. (Al-Kahf [18]:25).
Ayat ini menginformasikan tentang pemuda Ashhabul Kahfi yang “ditidurkan” Allah selama 300 tahun dan ditambah 9 tahun, maksudnya 309 tahun. Mengapa Allah tidak langsung menyebutkan 309 tahun tapi 300 tahun ditambah 9 tahun. Tujuannya untuk menginformasikan tentang adanya dua entitas waktu yang berbeda, yang digunakan orang saat itu, yaitu tahun Matahari dan tahun Bulan. Dimana 300 menunjukkan durasi tahun Matahari dan 309 menunjukkan durasi tahun Bulan. Karena setelah diteliti, terbukti lama 300 tahun menurut kalender Matahari (peredaran Matahari/Syamsiyah) sama dengan lamanya 309 tahun menurut kalender Bulan (peredaran Bulan/Qamariyah). Dengan perhitungan sebagai berikut:
KALENDER MATAHARI |
KALENDER BULAN |
300 th |
309 th |
Dengan demikian maka selisihnya sebagai berikut: |
|
300 th |
9 th |
100 th |
3 th |
10 th |
0,3 th |
1 th atau 365,25 hari |
0,03 th |
0,03 th x 365,25 hari = 10,9575 hari, dibulatkan menjadi 11 hari. 11 hari adalah selisih antara kalender Matahari dengan kalender Bulan. |
Selisih 11 hari ini didapat dari:
JENIS TAHUN |
MATAHARI |
BULAN |
SELISIH |
Basithah |
365 hari |
354 hari |
11 hari |
Kabisah |
366 hari |
355 hari |
11 hari |
Ibadah yang waktu pelaksanaan didasarkan kepada peredaran Matahari dan Bulan adalah seperti wukuf, melempar jumrah, dll. Misalnya aktifitas wukuf dimulai dari waktu Zhuhur sampai Maghrib adalah berdasarkan peredaran Matahari, sedangkan terkait pelaksanaan wukufnya pada hari ke sembilan (tanggal 9) Dzulhijjah adalah berdasarkan peredaran Bulan.
Macam-macam Waktu
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang menjadi acuan waktu dalam peribadatan umat Islam itu berdasarkan peredaran Matahari dan atau Bulan. Lebih tepatnya berdasarkan posisi Matahari atau Bulan dari suatu titik di permukaan Bumi. Karena bentuk Bumi bulat maka posisi Matahari, demikian juga posisi Bulan akan berbeda-beda untuk setiap tempat di muka Bumi. Dan hal inilah yang menyebabkan tidak seragamnya waktu dan tanggal di permukaan Bumi. Misalnya posisi Matahari di suatu tempat sedang pas berada di atas kepala seseorang sekitar pukul 12 siang WS (Waktu Setempat), maka pada saat yang sama di tempat yang lain Matahari sedang terbit (pukul 6 WS). dan ada yang sedang terbenam (pukul 18 WS), bahkan di tempat yang lainnya pada saat yang sama sedang tengah malam (pukul 00 WS). Demikian juga tanggal Masehi. Wilayah yang berada di Bujur Barat seperti benua Amerika akan senantiasa terlambat tanggalnya dibanding dengan wilayah yang berada di Bujur Timur seperti benua Asia, Australia, Afrika dan Eropa, meskipun perbedaannya cuma 12 jam.
Pembagian waktu dalam sehari semalam menjadi 24 jam merupakan sistem waktu yang didasarkan kepada siklus peredaran semu harian dan semu tahunan Matahari. Ini berarti dalam 1 jam di tempuh Matahari 15° bujur atau setiap 1° ditempuh dalam waktu 4 menit. Perinciannya adalah sebagai berikut: 360° ÷ 24 jam = 15° bujur, berarti 15° bujur = 1 jam, 1° bujur = 4 menit, 15' (detik busur) bujur = 1 menit dan 1' bujur = 4 detik.
Setidaknya ada 3 macam tata waktu yang biasa dipergunakan orang dalam kehidupan sehari-hari, yaitu UTC, ZMT, dan LMT.
1. UTC (Coordinated Universal Time) adalah sistem waktu standar global yang digunakan sebagai acuan untuk semua zona waktu di seluruh dunia. UTC adalah pengganti Greenwich Mean Time (GMT) dan dirancang untuk memberikan standar waktu yang lebih konsisten dengan pengukuran waktu atom. Acuan 0° untuk UTC adalah Meridian Greenwich, yaitu Meridian yang melewati Observatorium Greenwich di London, Inggris.
UTC digunakan dalam berbagai hal yang melibatkan kolaborasi internasional, seperti dalam sistem jaringan komunikasi internasional, navigasi, astronomi, transportasi, dll.
2. ZMT (Zone Mean Time) adalah tata waktu yang diberlakukan pada daerah-daerah yang waktunya bersamaan dalam satu jam. Di seluruh permukaan Bumi secara umum terdapat 24 daerah waktu. Tiap dua daerah waktu yang berdampingan berselisih waktu 1 jam. Zona-zona waktu di seluruh dunia berpangkal pada daerah waktu Meridian 0° (UTC).
Panjang Indonesia dari Barat ke Timur 46°, karena Indonesia terletak antara 95° BT dengan 141° BT dibagi atas 3 waktu daerah, sesuai dengan Kepres No. 41 tahun 1987, tentang Pembagian Wilayah RI menjadi 3 wilayah waktu. Tiga wilayah waktu dengan provinsi masing-masing yang ada saat ini adalah sebagai berikut:
a. Waktu Indonesia bagian Barat (WIB) yang berpangkal pada Meridian 105° BT. Daerahnya meliputi 18 provinsi, yaitu Nangro Aceh Darussalam, Sumut, Sumbar, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumsel, Bangka-Belitung, Bengkulu, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Kalbar dan Kalteng. WIB sama dengan UTC + 7 jam (105° ÷ 15 = 7)
b. Waktu Indonesia bagian Tengah atau WITa (120°). Daerahnya meliputi 12 provinsi, yaitu Kalsel, Kaltim, Kaltara, Sulut, Gorontalo, Sulbar, Sulteng, Sulsel, Sultra, Bali, NTB dan NTT. WITa = UTC + 8 jam.
c. Waktu Indonesia bagian Timur atau WIT (135°). Daerahnya meliputi 8 provinsi, yaitu Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan dan Papua Barat Daya. WIT = UTC + 9 jam.
3. LMT (Local Mean Time) adalah tata waktu yang hanya digunakan untuk daerah yang satu Meridian. Dengan kata lain, waktu yang hanya berlaku untuk lokasi yang nilai bujur tempatnya sama. Tata waktu ini sangat berguna, terutama untuk keperluan waktu shalat atau waktu sahur dan berbuka puasa. Misalnya kota Jakarta yang dilalui busur 106° 49' BT lebih cepat 3 menit 20 detik dari pada waktu di kota Merak yang dilalui busur 105° 59' BT. Akan tetapi, waktu di kota Jakarta lebih lambat 23 menit 44 detik daripada waktu di Surabaya yang dilalui busur 112° 45' BT.
Macam-macam Tempat
Apabila dilihat dari segi status keberadaan seseorang di tempat tertentu, maka ada dua istilah yang dikenal dalam kitab-kitab Fikih, yaitu Muqim dan Musafir. Muqim ialah status keberadaan seseorang yang menetap atau tinggal di suatu tempat. Dalam konteks ibadah, Muqim adalah orang yang tinggal di suatu lokasi lebih dari periode tertentu (tergantung pada pendapat fikih) dan dalam pelaksanaan ibadahnya harus sesuai dengan aturan standar atau sesuai dengan ketentuan aslinya (’Azimah) tanpa ada keringanan.
Sedangkan Musafir ialah merujuk pada seseorang yang sedang melakukan perjalan atau bepergian. Dalam konteks ibadah, Musafir adalah orang yang sedang dalam perjalanan jauh dari tempat tinggalnya. Menurut syariat Islam mereka mendapatkan keringanan (Rukhshah) dalam pelaksanaan ibadah, seperti melakukan shalat dengan jumlah rakaat yang dipersingkat dan diperbolehkan untuk menjama’ shalat.
Adanya pembagian dua entitas di atas menunjukkan adanya perlakuan hukum yang berbeda dalam konteks cara pelaksanaan ibadahnya. Yang sedang Muqim tidak bisa melaksanakan hukum yang Musafir atau sebaliknya kecuali ada dalil khusus.
Disamping itu, apabila dilihat dari segi keterkaitan pelaksanaan suatu ibadah dengan tempat tertentu maka ada dua macam. Pertama, adalah jenis ibadah yang pelaksanaannya terikat dengan lokasi khusus atau tempat tertentu yang telah ditetapkan oleh Syaari’ (Allah). Ibadah jenis ini tidak bisa dilaksanakan di sembarang lokasi. Contoh ibadah yang terikat dengan tempat atau lokasi tertentu adalah ibadah haji dan umrah. Kedua, adalah jenis ibadah yang bisa dilaksanakan dimana saja, tidak terpaku kepada satu lokasi khusus. Contoh ibadah jenis yang kedua diantara ibadah shalat, zakat, puasa, dll.
Waktu dan Tempat yang Mengikat Ibadah Kita
Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa waktu dan tempat itu bermacam-macam. Lantas waktu dan tempat mana yang mengikat ibadah kita itu?
Apabila kita merujuk kepada dalil yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi saw, maka diketahui bahwa waktu dan tempat yang mengikat ibadah kita adalah waktu dan tempat di mana kita berada atau Local Mean Time (LMT). Baik posisi kita sedang di tempat tinggal sendiri (Muqim) ataupun sedang berada tempat lain (Musafir). Misalnya waktu shalat kita berpatokan kepada waktu shalat dimana kita berada demikian juga dengan waktu ibadah-ibadah lainnya, sebagaimana contoh berikut ini:
1. Contoh dalil waktu shalat dalam al-Qur’an surat al-Isra [17] ayat 78:
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا
”Dirikanlah shalat sejak Matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (Al-Isrā' [17]:78)
Bergesernya Matahari dari Meridian atas ke arah Barat (دُلُوْكِ) sebagai tanda masuknya waktu shalat Zhuhur hanya berlaku bagi tempat atau daerah yang mengalami peristiwa tersebut, tidak berlaku umum untuk setiap tempat. Demikian juga orang yang sudah boleh melakukan shalat Zhuhur adalah orang yang berada di tempat tersebut, bukan orang yang berada di tempat lain yang belum mengalami peristiwa duluuk.
2. Contoh dalil waktu dan tempat ibadah puasa terdapat dalam surat al-Baqarah [2] ayat 185:
...فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ ...
“... Siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah ...” (Al-Baqarah [2]:185).
Dalam Tafsir Jalalain (1/38) dijelaskan bahwa makna شَهِدَ di sini adalah حَضَرَ artinya tidak sedang bersafar. Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna شَهِدَ adalah melihat اِسْتِهْلاَلَ (munculnya hilal) di bulan itu, dan ia orang yang مُقِيْمًا (tidak sedang safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/503).
Menurut ayat di atas, orang yang wajib puasa adalah orang yang muqim atau tidak dalam keadaan safar, sehat badannya dan telah muncul hilal awal Ramadhannya. Kata muqim terkait dengan status tempat seseorang sedangkan munculnya hilal terkait waktu di tempat orang tersebut. Dengan demikian Q.S. Al-Baqarah [2]:185 di atas menjadi dalil tentang waktu dan tempat wajibnya ibadah puasa Ramadhan di lokasi seorang mukallaf berada.
3. Contoh dalil waktu puasa menurut hadis Nabi saw.:
عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ : صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ (رواه البخاري)
Hadis diterima dari Abu Hurairah ra, ia berkata. Telah bersabda Nabi Saw: “Berpuasalah kalian setelah terlihat hilal dan berlebaranlah kalian setelah terlihat hilal, apabila hilal terhalang maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari).
Pada hadis di atas Rasulullah Saw. mengaitkan perintah puasa dengan terlihatnya hilal (bulan sabit), dan hilal tidak bisa terlihat di semua tempat di permukaan Bumi. Hilal hanya bisa terlihat di wilayah yang sudah terbit bulan sabitnya (mathla’) dengan syarat ketinggiannya sudah cukup, kondisi cuaca cerah, Matahari sudah terbenam sempurna, dan ditunjang dengan pengalaman dan alat bantu yang representatif. Di tempat atau daerah itulah bisa dimulai puasa sedangkan tempat atau daerah yang belum terbit hilalnya tidak boleh memulai puasa.
Diantara alasan penulis menolak kriteria KHGT Turki 2016 (Kalender Hijriyah Global Tunggal Turki tahun 2016) karena tidak sejalan dengan prinsip konsep waktu dalam pelaksanaan ibadah umat Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Kriteria KHGT Turki 2016 menentukan bahwa jika hilal sudah memenuhi kriteria ketinggian minimal 5° dan jarak elongasi minimal 8° di belahan Bumi manapun maka tanggal baru bulan Hijriyah ditetapkan dan diberlakukan untuk seluruh dunia meskipun saat itu ada wilayah yang hilalnya masih di bawah ufuk bahkan sekalipun masih belum terjadi ijtima’.
Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk Allah yang terikat oleh ruang dan waktu, maka konsekwensi logisnya semua ibadah yang disyariatkan Allah pasti terikat oleh ruang/tempat dan waktu. Waktu dan tempat yang mengikat ibadah kita adalah waktu dan tempat dimana kita berada. Adapun acuan waktu untuk ibadah kita berpatokan kepada peredaran Matahari dan atau peredaran Bulan.
Wallahu A’lam Bi ash-Shawwab
Jakarta, September 2024