Lebih Dekat dengan “Takbiran Iedul Adha”

oleh Reporter

27 Juni 2023 | 08:23

Oleh: Ustaz Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)


Sebagaimana kita maklumi, bahwa pada bulan Dzulhijjah, selain disyariatkan shalat Iedul Adha dan menyembelih hewan kuban juga terdapat syariat takbiran dengan interval waktu yang lebih Panjang daripada takbiran iedul fitri, yaitu setelah shalat shubuh 9 Dzulhijjah hingga jelang Ashar 13 Dzulhijjah.

Petunjuk syariat takbiran demikian merujuk pada sejumlah dalil, antara lain sebagai berikut:

Firman Allah Swt:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah: 203)

Berkenaan dengan firman-Nya (واذكروا الله في أيام معدودات), Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud dengan al-ayyaam al-ma’duudaat (hari-hari yang berbilang) itu adalah hari-hari Tasyriq, dan yang dimaksud dengan ‘al-ayyaam al-ma’lumaat’ adalah sepuluh hari dalam bulan Dzulhijjah (yaitu dari 1-10 Dzulhijjah).” [1]

Selanjutnya, dalam sejumlah hadis Nabi Saw, misalnya:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Dari 'Uqbah bin Amir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Hari Arafah, Idul Adha dan hari-hari Tasyriq merupakan hari raya kami sebagai kaum muslimin yaitu hari makan dan minum."(H.R. At-Tirmidzi)[2]  

Dalam hadis Nubaisyah Al-Hudzaliy dengan redaksi:

عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ ، وَشُرْبٍ ، وَذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Dari Nubaisyah Al-Hudzaliy, ia berkata Rasulullah Saw bersabda: ‘Hari-hari Tasriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah’.” (H.R. Ahmad) [3]

Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dengan redaksi:

أَلَا وَإِنَّ هَذِهِ الْأَيَّامَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Ketahuilah bahwa hari-hari ini adalah hari-hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah 'azza wajalla." (H.R. Abu Dawud) [4]

Syariat takbiran Dzulhijjah ditegaskan pula oleh para ulama generasi tabi’in dan selanjutnya, antara lain Imam Ikrimah Mawla Ibnu Abbas (w. 104)

وَقَالَ عِكْرِمَةُ: {وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ} يَعْنِي: التَّكْبِيرُ أيامَ التَّشْرِيقِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ.

Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)

Yang dimaksud dengan berzikir ialah bertakbir pada hari-hari tasyriq sesudah salat lima waktu, yaitu: Allahu Akbar, Allahu Akbar” [5]

Ketentuan Waktu Berdzikir dan Takbiran

Mengenai waktu berzikir dan takbiran banyak pendapat ulama, namun yang popular dan banyak dirujuk bahwa waktunya mulai dari subuh 9 Dzulhijjah hingga Ashar 13 Dzulhijjah (akhir hari tasyriq).

Pendapat ini merujuk kepada sejumlah hadis Nabi Saw sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُكَبِّرُ يَوْمَ عَرَفَةَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

“Dari Jabir, ia berkata: ‘Nabi Saw bertakbir sejak hari Arafah setelah shalat shubuh hingga salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah)’.” (H.R. Al-Baihaqi) [6]

Dalam riwayat lain disebutkan oleh Ali bin Abu Thalib dan ‘Ammar bin Yasir:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ فِي الْمَكْتُوبَاتِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ، وَكَانَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ ، وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ ، وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ. 

“Sesungguhnya Nabi Saw menjaharkan basmalah pada shalat-shalat wajib dan beliau berqunut[7] (panjang bacaannya) pada shalat shubuh, dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq.” (H.R. Al-Hakim dan ad-Daraquthni) [8]

Waktu takbiran Iedul Adha sebagaimana dicontohkan Nabi Saw tersebut dipraktikan pula oleh para shahabat, misalnya Umar bin Khatab (HR.Al-Hakim)[9], Ali bin Abu Thalib (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi)[10], Abdullah bin Abbas (HR.Al-Hakim dan al-Baihaqi)[11], Abdullah bin Mas’ud (HR.Al-Hakim).[12]

Teks hadis selengkapnya dapat dibaca pada buku Masalah Seputar Iedul Adha dan Qurban karya Dewan Hisbah.

Redaksi dan Kaifiyat Takbir

Petunjuk tentang redaksi dan kaifiyat takbir didapatkan dari ucapan atau amal sahabat (hadis mawquf), baik secara khusus berkaitan dengan Ied maupun bukan Ied.

Keterangan redaksi takbir selain Ied merujuk kepada penjelasan Salman al-Farisi, sebagai berikut:

عَنْ أَبِى عُثْمَانَ النَّهْدِىِّ قَالَ : كَانَ سَلْمَانُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يُعَلِّمُنَا التَّكْبِيرَ يَقُولُ : كَبِّرُوا: "اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا"

Dari Abu Usman an-Nahdi, ia berkata, “Salman mengajarkan takbir kepada kami, ia berkata, ‘Bertakbirlah! Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar kabiira’.” (H.R. Al-Baihaqi) [13]

Sedangkan redaksi takbir berkenaan dengan ied, merujuk kepada keterangan para shahabat Nabi Saw sebagai berikut:

عَنْ أَصْحَابِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ صَلاةَ الْغَدَاةِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَيَقْطَعُ صَلاةَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ، يُكَبِّرُ إِذَا صَلَّى الْعَصْرَ قَالَ: وَكَانَ يُكَبِّرُ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Dari para shahabat Ibnu Mas’ud, dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia bertakbir sejak shalat shubuh pada hari Arafah dan berhenti pada shalat Ashar di hari Nahar (10 Dzulhijjah), setelah shalat Ashar beliau bertakbir, ia (Rawi) berkata, ‘kaana yukabbiru.’: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.” (H.R. Ath-Thabrani) [14]

Dalam riwayat lain disebutkan:

عَنْ أَبِي الأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

Dari Abu al-Ahwash, dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia bertakbir pada hari-hari tasyriq: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.”  (H.R. Ibnu Abi Syaibah) [15]

Pengamalan takbir versi Ibnu Mas’ud itu sejalan dengan Ali bin Abu Thalib, sebagaimana dijelaskan Syarik bin Abdullah an-Nakha’i:

قُلْتُ لأَبِي إِسْحَاقَ : كَيْفَ كَانَ تَكْبِيرُ عَلِيٍّ ، وَعَبْدِ اللهِ ؟ فَقَالَ : كَانَا يَقُولاَنِ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

Saya bertanya kepada Abu Ishaq, ‘Bagaimana takbir Ali dan Ibnu Mas’ud?’ Maka ia menjawab, ‘Keduanya mengucapkan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu’.  (H.R. Ibnu Abi Syaibah) [16]

Begitu pula pengamalan Umar bin Khatab, sebagaimana diterangkan Ubaid bin Umair:

أَنَّ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلاةِ الْغَدَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّاِم التَّشْرِيْقِ يُكَبِّرُ فِي الْعَصْرِ يَقُوْلُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Bahwa Umar bertakbir sejak shalat shubuh pada hari Arafah hingga shalat Zuhur pada akhir hari tasyriq, beliau bertakbir pada waktu Ashar dengan mengatakan: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.”  (H.R. Ibnu al-Mundzir) [17]

Pengamalan takbir demikian itu bukan ijtihad pribadi shahabat, melainkan ijma shahabat, karena selain merupakan amal jama’i (bersama) juga tidak didapatkan pengingkaran dari salah seorang pun shahabat Nabi Saw.

Amalan demikian itu sebagaimana diterangkan oleh Ibrahim an-Nakha’i:

كَانُوا يُكَبِّرُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَأَحَدُهُمْ مُسْتَقْبِلٌ الْقِبْلَةَ فِي دُبُرِ الصَّلاَةِ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

“Mereka bertakbir pada pada hari Arafah, dan salah seorang di antara mereka menghadap kiblat setelah melaksanakan shalat: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.”  (H.R. Ibnu Abi Syaibah) [18]

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa redaksi takbir dalam Iedul Fitri dan Iedul Adha, yang sesuai dengan petunjuk syariat, dapat menggunakan dua versi redaksi:

(1)     Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.” 

(2)    Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar kabiiraa.

Sementara dengan lafal Allaahu Akbar tiga kali dan tambahan redaksi lainnya, tidak berlandaskan dalil yang shahih, bahkan tidak berdalil sama sekali.

Sehubungan dengan itu, Imam Ahmad menegaskan takbir Ibnu Mas’ud (Allaahu Akbar dua kali) merupakan takbir yang shahih.

Imam Abu Dawud berkata:

قُلْتُ لِأَحْمَدَ: كَيْفَ التَّكْبِيرُ؟ قَالَ: كَتَكْبِيرِ ابْنِ مسعودٍ، يَعْنِي: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.قَالَ أَحْمَدُ: يَرْوُوْنَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: يُكَبِّرُ ثَلَاثًا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ (اللَّهُ أَكْبَرُ) ، قَالَ أَحْمَدُ: كَبِّرْ تَكْبِيرَ ابْنِ مسعودٍ.

“Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Bagaimana bertakbir?’ Ia menjawab, ‘Seperti takbirnya Ibnu Mas’ud, yaitu Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illalaahu wallaahu Akbar, Allaahu Akbar walillaahil hamdu.’ Ahmad berkata, ‘Mereka meriwayatkan dari Ibnu Umar: ‘Ia bertakbir tiga kali: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Ahmad berkata, ‘Bertakbirlah seperti takbirnya Ibnu Mas’ud’.”[19]

Penutup dan Kesimpulan

Berbagai keterangan di atas, baik hadis marfu’ (Amaliah Nabi) maupun mawquf (amaliah shahabat) menunjukkan takbiran Iedul Adha dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga Ashar 13 Dzulhijjah.

Meski demikian, karena pada hadis-hadis itu tidak diterangkan teknis pelaksanaanya, maka kita dapat mengaturnya sedemikian rupa, baik ketika berkumpul di masjid maupun di rumah masing-masing, setelah shalat wajib, sebagaimana direkomendasikan oleh Imam Ikrimah.

Sebab pada prinsipnya selama lima hari itu (9-13 Dzulhijjah) tidak “kosong” dari gema takbir.

Dalam konteks penanggalan Dzulhijjah 1444 H, bagi kaum muslim yang mengambil 1 Dzulhijjah 1444 H di hari Selasa 20 Juni 2023, maka takbiran dimulai hari Rabu, 9 Dzulhijjah 1444 H/28 Juni 2023 M bada shubuh hingga akhir hari Tasyriq Ahad 13 Dzulhijjah 1444 H/2 Julu 2023 sebelum waktu Ashar.

Sunah Rasul pada Iedul Adha ini tampaknya mulai “ditinggalkan” oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia yang lebih besar perhatiannya pada Takbiran semalam suntuk yang sebenarnya tidak berdalilkan hadis yang shahih. Semoga kita dapat menjadi teladan dalam Ihyaa As-Sunnah (Menghidupkan Sunnah Nabi saw)

Bandung, 7 Dzulhijjah 1444 H/26 Juni 2023



[1]Tafsir Ibnu Katsir, V:560

[2]Sunan At-Tirmidzi, II: 134, No. 773

[3]Musnad Ahmad, IX: 4802, No. 21.053

[4] Sunan Abu Dawud, III: 58, No. 2813

[5]Tafsir Ibnu Katsir, V:560

[6]As-Sunan al-Kubra, III:312, No. 6501

[7] Qunut yang dimaksud di sini ialah berdiri lama, sebagaimana disebutkan dalam hadis lain:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ

Dari Jabir ia berkata; Rasulullah Saw. bersabda: "Shalat yang paling Afdlal (utama) adalah shalat yang lama berdirinya." (HR. Muslim)

[8]HR. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:439, No. 1111,  ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II:49, No. 26

[9]HR. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:439, No. 1112. 

[10]HR. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:440, No. 1113, as-Sunan al-Kubra, III:314, No. 6069

[11]HR. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:440, No. 1114, as-Sunan al-Kubra, III:314, No. 6070

[12]HR. Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:440, No. 1115.

[13]As-Sunan al-Kubra, III:316, No. 6076

[14] Al-Mu’jam al-Kabir, IX:307, No. 9538.

[15] Al-Mushannaf, I:490, No. 5651

[16] Al-Mushannaf, I:490, No. 5653.

[17] Al-Awsath fii as-Sunan wa al-Ijmaa’ wa al-Ikh tilaaf, IV:33.

[18] Al-Mushannaf, I:490, No. 5650

[19]Masaa’il al-Imaam Ahmad Riwayah Abu Dawud as-Sijistani, I:88

Reporter: Reporter Editor: admin