Mengenai seorang anak yag menjadi badal orang tuanya yang sudah tidak mampu haji, bagaimana sebenarnya maksud hadits tersebut?
Sadiyah, PD Persistri Kota Bandung
Adanya kewajiban haji berbeda dengan kewajiban shalat. Kewajiban haji disyaratkan bagi yang memiliki istitha’ah (kemampuan). Istitha’ah dalam haji sebagaimana difatwakan oleh mayoritas shahabat Nabi saw dan para ulama pelanjut mereka adalah kemampuan badan dan bekal selama persiapan, keberangkatan, pelaksanaan haji dan kepulangan (Tafsir al-Qurthubi IV : 147).
Allah swt berfirman:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Padanya (Baitullah) terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.s. 3/Ali Imran : 97).
Selanjutnya hadits yang ditanyakan adalah sebagai berikut :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اِقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi saw, lalu berkata: “Sesungguhnya ibu saya bernadzar untuk berhaji, tetapi ia tidak berhaji sampai meninggalnya. Apakah saya dapat berhaji atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya, berhajilah kamu menunaikan nadzar ibumu. Apa pandanganmu jika ibumu mempunyai utang, apakah engkau akan membayarnya? Bayarkanlah (utang) kepada Allah, karena (utang) kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” Shahih al-Bukhari IV : 502, no.1852.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam beberapa bab, antara lain bab al-haji wan-nudzur ‘anil mayyit war-rajuli ‘anil mar`ah (bab haji dan menunaikan nadzar mayit, dan seorang laki-laki berhaji atas nama perempuan).” Lihat pula Umdatul Qari XVI : 125.
Dalam hal ini dikhususkan menunaikan nadzar mayyit karena zhahir haditsnya mengenai seorang anak perempuan bertanya mengenai nadzar haji ibunya. Tentu saja haji yang ditanyakan oleh anak perempuan itu bukan kewajiban haji bagi yang mampu dan belum menunaikan ibadah haji, karena nadzar akan sesuatu yang sudah menjadi kewajiban itu nadzarnya tidak sah. Akan tetapi pelaksanaan haji kedua kali dan seterusnya yang hukumnya sunat, tetapi jika dijadikan nadzar akan menjadi wajib karena nadzarnya itu sah. Oleh karena itu Rasulullah saw menjawab dengan sabdanya:
نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اِقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Ya, berhajilah kamu menunaikan nadzar ibumu. Apa pandanganmu jika ibumu mempunyai utang, apakah engkau akan membayarnya? Bayarkanlah (utang) kepada Allah, karena (utang) kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.”
Di dalam kitab an-nudzur (kumpulan bab tentang nadzar) cukup banyak kejadian pada masa Rasulullah saw yang menunjukkan nadzar orang tua itu bila tidak sempat karena meninggal sebelum dilaksanakan, maka anaknya dapat melaksanakan nadzar itu. Umpamanya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ الْأَنْصَارِيَّ اسْتَفْتَى النَّبِيَّ فِي نَذْرٍ كَانَ عَلَى أُمِّهِ فَتُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَهُ فَأَفْتَاهُ أَنْ يَقْضِيَهُ عَنْهَا فَكَانَتْ سُنَّةً بَعْدُ
Dari Ibn ‘Abbas: “Sa’ad ibn ‘Ubadah al-Anshari meminta fatwa kepada Nabi saw tentang nadzar yang dilakukan ibunya dan ia meninggal sebelum sempat menunaikannya. Maka Nabi saw memberinya fatwa agar ia menunaikannya atas nama ibunya. Dan hal itu menjadi sunnah setelah itu.” Shahih al-Bukhari, XVI : 588,no.6698.
Oleh karena itu, peristiwa seorang anak perempuan yang bertanya tentang nadzar haji ibunya terjadi pada saat haji wada. Maknanya kejadiannya lebih akhir dari peristiwa Sa’ad bin Ubadah ini. Maka dapat disimpulkan bahwa menunaikan nadzar orang tua yang belum dilaksanakan menjadi kewajiban ahli warisnya dalam hal ini anak-anaknya.
Kesimpulan
1. Nadzar haji yang dilakukan oleh orang yang belum berhaji nadzarnya tidak sah.
2. Nadzar haji untuk berhaji kedua kali dan seterusnya yang hukumnya sunat menjadi wajib dilaksanakan. Bila meninggal sebelum dilaksanakan, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya.