Oleh: Cepi Hamdan Rafiq
(Ketua Bidang Pendidikan PP Pemuda PERSIS)
“Untuk masa-masa sekarang dan selanjutnya, apabila ada lagi jam’iyyah Islam yang hendak menyelenggarakan Mu’tamar (Muktamar -pen), tentunya bukan hendak memainkan “sandiwara”, yang ditunggangi oleh hawa nafsu atau dimasuki dan ditunggangi oleh golongan yang bukan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, setiap kita mengahdapi Mu’tamar (Muktamar -pen) hendaknya selalu waspada.” (KH. E. Abdurrahman)
A. Gema Muktamar XVI PERSIS
Perhelatan terbesar Muktamar XVI Persatuan Islam (PERSIS) tinggal menghitung hari. Agenda lima tahunan—yang sempat tertunda selama lebih kurang 1 tahun ke belakang ini—kini telah di ambang pintu, insyaallah akan dilaksanakan pada tanggal 23—26 September 2022.
Gemanya telah terdengar di mana-mana, terlebih setelah dilaksanakannya Grand Launching Muktamar XVI PERSIS beserta otonom (PERSISTRI, Pemudi PERSIS, Himi PERSIS) pada tanggal 27 Agustus 2022 kemarin. Puluhan ribu keluarga besar PERSIS ikut memeriahkan acara grand launching tersebut yang diselenggarakan di stadion Si Jalak Harupat, Kutawaringin, Kabupaten Bandung.
Obrolan-obrolan ringan berisi ragam respons kritik, saran, dan masukan terhadap perjalanan dakwah PERSIS selama ini mulai terdengar, baik dari unsur pimpinan di atas maupun di tingkat grassroots. Tulisan-tulisan di media sosial (FB, IG, WhatsApp, dll.) yang berisi beragam wacana transformasi gerakan dakwah PERSIS ke depan mulai berseliweran, baik yang disampaikan oleh para pakar, akademisi, aktivis dakwah dari mulai internal bahkan eksternal pun ikut meramaikan. Dan yang paling menyita perhatian keluarga besar Persatuan Islam secara khusus adalah terkait bursa calon ketua umum PERSIS ke depan.
Sudah barang tentu, para delegasi/utusan peserta Muktamar PERSIS XVI dari berbagai level pimpinan, mulai dari PC, PD, sampai PW sudah mulai mengumpulkan perbekalan bahan evaluasi, saran, ide, dan gagasan demi jam’iyyah PERSIS yang lebih baik.
Berbicara tentang muktamar, tentu bukan barang baru bagi sebuah organisasi terkhusus jam’iyyah PERSIS yang sudah mau memasuki fase 100 tahun ini. Banyak dinamika keorganisasian dan bahkan yang sifatnya politis sekalipun sering dan sudah menjadi hal yang lumrah terjadi, baik yang sifatnya positif maupun negatif yang berujung pada keretakkan rumah tangga jam’iyyah PERSIS tercinta. Dinamika ini sering kali tak dapat dihindarkan.
Untuk meminimalisasi dan mengantisipasi hal di atas terjadi, maka perlu kiranya kita membuka lembaran lama perjalanan jam’iyyah ini yang berisi pesan dan wasiat dari para founding father (para perintis) jam’iyyah PERSIS, salah satunya al-Ustadz KH. E. Abdurrahman. Beliau menyampaikan sebuah pesan yang diabadikan dalam tulisan yang tercantum dalam buku Tafsir Qanun Asasi Qanun Dakhili Persatuan Islam pada masa kepemimpinan KH. Latief Mukhtar, M.A., sekira tahun 1984. Pesan itu berisi, “Untuk masa-masa sekarang dan selanjutnya, apabila ada lagi jam’iyyah Islam yang hendak menyelenggarakan Mu’tamar (Muktamar -pen), tentunya bukan hendak memainkan “sandiwara”, yang ditunggangi oleh hawa nafsu atau dimasuki dan ditunggangi oleh golongan yang bukan untuk kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, setiap kita mengahdapi Mu’tamar (Muktamar -pen) hendaknya selalu waspada.”
B. Bermusyawarahlah dengan Sikap I’timar (Muktamar)
Telah dimaklumi oleh sekalian ahli bahasa, bahwa kata-kata itu adalah alat untuk menyatakan buah pikiran, perasaan, dan tujuan si pembicara.
Sesungguhnya pertentangan yang berkecamuk di atas dunia ini kebanyakan bersumber kepada kemunafikan kata-kata yang menyebabkan timbulnya bermacam-macam tanggapan dan perkiraan. Oleh karena itu, sungguh penting sekali menyelaraskan dan memperhatikan kata-kata itu. Demikian pula tidak tepatnya kata-kata itu dinyatakan, akan memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia.
Apabila kata-kata tidak cocok lagi dengan perbuatan, artinya kata-kata telah mendapat perubahan pengertian; apabila kata-kata salah dipahamkan orang, akibatnya akan sangat luas sekali dan akan menimbulkan perselisihan dan perpecahan.
Barangkali hal tersebut di atas memang tidak jarang terjadi, begitu pun dalam memaknai kata muktamar, apakah kata itu berupa nama ataukah sifat? Jangan sampai kita sebagai peserta muktamar itu sendiri tidak memahami hakikatnya, hingga ucap dan sikap kita jauh dari nilai-nilai kemuktamaran itu.
Maka, untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang dapat menurunkan marwah jam’iyyah dalam pelaksanaan Muktamar XVI PERSIS, perlu kiranya kita sebagai anggota jam’iyyah terkhusus bagi calon peserta muktamar agar mengkaji kembali terlebih dahulu makna dan hakikat muktamar itu sendiri, sebelum berangkat ke arena muktamar.
Dalam menjelaskan pengertian muktamar, Al-Ustadz Endang Abdurrahman terlebih dahulu mengajak kita ke lingkup organisasi terkecil dalam hidup ini. Beliau memberikan gambaran lika-liku kehidupan dalam berumah tangga, sampai pada titik terendah di mana bahtera rumah tangga sudah hampir karam, disebabkan tidak ada lagi kerelaan dan keikhlasan dari suami dan istri dalam menjalani rumah tangga tersebut. Beliau lalu melontarkan sebuah pertanyaan, “Apakah yang harus dan mesti dilakukan oleh kedua orang suami-isteri untuk mengakhiri keadaan semacam itu?” Jika terpaksa perceraian yang mesti mereka tempuh, beliau lalu menyarankan, “Hendaklah perceraian itu dilakukan dengan cara yang baik, maslahat serta bertanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul kemudian.”
Terkait dengan pengamalan akhlak seorang muslim dalam mewujudkan sikap tanggung jawab, Ustadz E. Abdurrahman mengutip sebuah ayat yang secara konteks berkaitan dengan bab pemeliharaan anak pasca perceraian orang tuanya, sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka. Kata beliau, “Dalam rangka mempertanggungjawabkan pemeliharaan anak-anak, diperintahkan agar sang suami dan sang istri yang bercerai itu bermusyawarah yang bersifat i’timar (muktamar).” Dengan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa muktamar itu bukan nama, melainkan sifat yang mesti diwujudkan dalam bermusyawarah.
Menurut pemahaman beliau, musyawarah itu diadakan untuk mendapatkan dan menetapkan suatu keputusan, siapakah yang berada di pihak yang benar dan siapakah yang berada di pihak yang salah? Namun demikian, menurut beliau, i’timar (muktamar) lebih daripada musyawarah. Karena menurutnya, muktamar itu tidak hanya menghasilkan suatu keputusan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi mengandung keputusan-keputusan yang mempunyai konsekuensi, hendaklah masing-masing pihak MENGAMALKAN serta MELAKSANAKAN apa-apa yang telah diputuskan.
Lebih lanjut dalam penjelasannya, Al-Ustadz mempertegas bahwa I’timar (muktamar) mengandung pengertian akan adanya kesanggupan pada masing-masing pihak untuk menjalankan pesan satu sama lainnya. Pesan sang suami hendaklah dilaksanakan oleh sang istri dan demikian pula sebaliknya. Allah Swt. berfirman,
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ
Dan bermuktamarlah antara kamu dengan cara yang baik. (QS Ath-Thalaq [65]: 6)
Al-Ustaz KH. E. Abdurrahman menyimpulkan bahwa, “Bermu’tamar adalah merupakan kesiap-sediaan sang pimpinan dan yang dipimpin untuk bekerja sama dan beramal, merelakan dirinya untuk menjalankan tugas yang dipesankan oleh sesama kawannya.”
C. Bermuktamarlah dengan Cara Makruf
Dalam Al-Qur’an, ternyata lafaz muktamar itu bukan hanya digunakan dalam konteks yang positif, sebagaimana yang digambarkan dalam surah Ath-Thalaq ayat 6 di atas, akan tetapi juga dalam konteks yang negatif.
Al-Qur’an memerintahkan agar kita bermuktamar dengan cara yang ma’ruf (baik). Artinya, ada muktamar yang dilakukan dengan cara yang tidak baik. Gambaran dalam Al-Qur’an dinyatakan ada suatu komplotan yang bermaksud jahat karena hendak melakukan pembunuhan terhadap Nabi Musa as., mereka juga terlebih dahulu melaksanakan suatu muktamar. Allah Swt. berfirman,
يَامُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ
Wahai Musa! Sesungguhnya sekomplotan orang yang sedang bermuktamar memperbincangkanmu untuk membunuhmu. (QS. Al-Qashash [28]: 20)
Jadi jelaslah, jika memperhatikan ayat di atas, tentunya kita harus meningkatkan kewaspadaan, bahwa ternyata muktamar bisa dijadikan gelanggang “adu gulat” para pemimpin dan tim suksesnya. Mereka megadu konsepsi, menghambur-hambur prasaran atau mengadu kekuatan, dan berebut kedudukan serta pengaruh. Bahkan, tidak sedikit sampai menggunakan politik belah bambu, yang satu diangkat (dielu-elukan) dan yang lain diinjak (dijatuhkan kehormatannya). Sehingga, perdebatan dan perselisihan pun tak dapat dihindarkan, mirisnya bisa sampai mengabaikan adab-adab seorang muslim dalam berucap dan bersikap.
Padahal sekalipun tujuan kita baik, tetapi bila tidak dicapai dengan cara yang baik, tidaklah akan menjadi manfaat dan kebaikan. Islam mengajarkan agar setiap cita-cita dan tujuan dapat dicapai dengan cara yang baik.
مَنْ أَمَرَ بِمَعْرُوفٍ فَلْيَكُنْ أَمْرُهُ ذَلِكَ بِمَعْرُوفٍ
“Barang siapa yang menyelenggarakan kebaikan, maka hendaklah urusannya pun harus baik pula.” (HR Al-Baihaqi, no. 7198)
Alhasil, faktanya, menurut ustaz E. Abdurrahman, muktamar hanyalah menjadi tempat memperbincangkan kecantikan Islam, tetapi tidak menjadi tempat untuk “mengawini” Islam dengan rela dan ikhlas, kemudian mencintainya dengan sepenuh hati yang suci. Muktamar semacam itu tidak menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.
Ustaz E. Abdurrahman menegaskan, “Sesungguhnya apabila Islam itu “dikawini” dengan baik, dijadikan way of life (jalan hidup) para pemeluknya dengan mutlak, banyaknya organisasi serta jam’iyyah Islam tidak akan menjadi bukti terpecah belahnya ummat, akan tetapi akan merupakan shaf-shaf yang memiliki syakilah (bentuk, ranah, dan makanah -pen) masing-masing, sedang imamnya tetap satu, yaitu Al-Qur’an!”
Beliau menambahkan, telah banyak “sandiwara” yang dimainkan oleh mereka yang menyusup ke dalam jam’iyyah Islam, yang telah memberi peluang kepada pemadaman cahaya Islam.
Untuk menghindari hal-hal di atas terjadi, sudah semestinya peserta muktamar itu adalah orang-orang yang telah memenuhi kriteria yang layak mengikuti syura (musyawarah). Imam Al-Mawardi dalam bukunya “Adab ad-Dunya wa ad-Dien”, sebagaimana dikutip oleh Ustaz Abu Nabhan Hamdan dalam bukunya “Mudaku Ibadahku”, bahwa orang yang layak ikut syura adalah
- Mempunyai akal sempurna dan pengalaman masa lalu,
- Memiliki agama dan ketakwaan,
- Pemberi nasihat dan penyayang,
- Berpikiran sehat dari kegelisahan yang memutuskan dan kesusahan yang menyibukkan,
- Tidak mempunyai tujuan dan keinginan pada urusan yang dimusyawarahkan.
Sekarang, saatnya telah datang, masanya telah tiba, agar umat Islam terkhusus bagi jam’iyyah PERSIS tercinta untuk bermuktamar benar-benar, dengan ruh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
[]
Referensi:
Tafsir QA QD PERSIS, tahun 1984.
Risalah, no. 49-50 Th. V
Mudaku Ibadahku, Hamdan Abu Nabhan.
Editor: Dhanyawan