Oleh: K.H. Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)
Kata “Isyraq” memiliki arti terbit. Kata Isyraq dalam pengertian ini digunakan dalam Al-Qur’an:
إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
“Sungguh kami telah menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Nabi Dawud) pada waktu petang dan pagi.” (Q.S. Shad: 18)
Sehubungan dengan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan:
أَيْ: إِنَّهُ تَعَالَى سَخَّرَ الْجِبَالَ تُسَبِّحُ مَعَهُ عِنْدَ إِشْرَاقِ الشَّمْسِ وَآخِرِ النَّهَارِ
“Yakni Allah Swt. menundukkan gunung-gunung yang bertasbih Bersama Nabi Dawud di saat matahari terbit dan di penghujung siang hari.” [1]
Dari pemaknaan ini dapat diambil petunjuk bahwa shalat Isyraq adalah shalat yang dilakukan saat terbitnya matahari.
Istilah shalat Isyraq boleh jadi lebih asing di telinga umat jika dibandingkan dengan shalat Dhuha yang juga dilaksanakan pada waktu yang relatif hampir bersamaan.
Karena itu timbul pertanyaan, adakah perbedaan di antara keduanya? Atau kedua shalat tersebut sejatinya adalah sama namun hanya berbeda istilah saja?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat: antara yang pro pembedaan dengan yang pro penyamaan di antara keduanya.
Di antara ulama yang pro pembedaan adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Imam Al-Ghazali, shalat Isyraq berbeda dengan shalat Dhuha, dalam arti shalat Isyraq merupakan syariat tersendiri yang tidak sama dengan syariat shalat Dhuha.
Namun menurut pendapat yang lain, seperti Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, shalat Isyraq dan shalat Dhuha adalah shalat yang sama berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa shalat pada waktu Isyraq disebut juga dengan shalat awwabin, sedangkan shalat awwabin merupakan nama lain dari shalat Dhuha. [2]
Menurut ulama yang pro pembedaan di antara kedua shalat itu, bahwa orang yang pertama kali mempopulerkan shalat setelah terbitnya matahari dengan sebutan shalat Isyraq adalah Hujjatul Islam Al-Ghazali.
Beliau berdalil dengan hadis Ali Ra. Berikut:
كَانَ إِذَا أَشْرَقَتْ وَارْتَفَعَتْ قَامَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَإِذَا انْبَسَطَتْ الشَّمْسُ وَكَانَتْ فِي رَبْعِ النَّهَارِ مِنْ جَانِبِ الْمَشْرِقِ صَلَّى أَرْبَعًا
“Rasulullah saw berdiri untuk shalat dua rakaat ketika matahari terbit dan mulai menjulang tinggi dari arah timur, dan apabila matahari memanjang yaitu saat seperempat siang dari arah timur, beliau kembali melakukan shalat empat rakaat” [3]
Dari hadis ini tampak jelas terlihat adanya perbedaan sikap Nabi Saw pada waktu Isyraq dengan melaksanakan shalat dua rakaat, sedangkan pada waktu Dhuha beliau melaksanakan shalat empat rakaat.
Sementara menurut ulama yang pro penyamaan di antara kedua shalat itu, bahwa orang yang pertama kali mempopulerkan shalat dhuha dengan istilah Shalat Isyraq adalah Ibnu Abbas Ra. sebagaimana hadis berikut:
Dari Abdullah bin Al-Harits, bahwa Ibnu Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami mengajaknya masuk menemui Ummi Hani. Maka aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah Ibnu Abbas tentang apa yang engkau kabarkan pada kami.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah saw datang di rumahku, lalu shalat dhuha sebanyak delapan rakaat.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar sambal mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat Isyraq kecuali sesaat, yaitu firman Allah:
( يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ) ، ثُمَّ قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ : هَذِهِ صَلاَةُ الإِشْرَاقِ
“Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyraq.” (QS. Shaad: 18). Kemudian Ibnu ‘Abbas Ra. berkata, “Ini adalah shalat Isyraq.” HR. Al-Hakim dan Ath-Thabrani. [4]
Dengan dalil ini, pihak yang pro penyamaan menyimpulkan bahwa Shalat Isyraq adalah permulaan shalat Dhuha, karena waktu shalat Dhuha itu dimulai dari terbitnya matahari.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang shalat Isyraq dan shalat Dhuha, lalu beliau menjawab, "Shalat sunnah isyraq adalah shalat sunnah Dhuha, akan tetapi jika ditunaikan segera sejak matahari terbit dan meninggi seukuran tombak, maka dia disebut shalat Isyraq, jika dilakukan pada akhir waktu atau di pertengahan waktu, maka dia dinamakan shalat Dhuha.
Akan tetapi secara keseluruhan dia adalah shalat Dhuha. Karena para ulama berkata, bahwa waktu shalat Dhuha adalah sejak meningginya matahari seukuran tombak hingga sebelum matahari tergelincir." [5]
Penyebab Perbedaan dipicu Hadis Tentang Shalat Isyraq
Hemat kami, munculnya perbedaan pemahaman tentang shalat Isyraq sebagai ibadah tersendiri atau Shalat Isyraq sebagai permulaan shalat Dhuha tak bisa dilepaskan dari keberadaan sejumlah hadis berikut:
Pertama: Riwayat Imam At-Tirmidzi
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
Dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa shalat subuh berjama'ah, kemudian duduk berdzikir sampai matahari terbit, lalu shalat dua raka'at, niscaya dia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah." Ia (Anas) berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Sempurna, sempurna, sempurna." HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, II: 482, No. 586.
Kalimat:
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“sampai matahari terbit, lalu shalat dua raka'at” menurut Imam Al-Mubarakafuri, “Yaitu setelah matahari terbit” Imam Ath-Thibiy berkata:
أَيْ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ أَنْ تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ قَدْرَ رُمْحٍ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُ الْكَرَاهَةِ ، وَهَذِهِ الصَّلَاةُ تُسَمَّى صَلَاةَ الْإِشْرَاقِ ، وَهِيَ أَوَّلُ صَلَاةِ الضُّحَى
“Yaitu kemudian shalat setelah matahari meninggi seukuran tombak sehingga lewat waktu dimakruhkan shalat, dan shalat ini dinamakan shalat Isyraq, yaitu awal shalat dhuha.” [6]
Derajat Hadis
Para ahli hadis berbeda penilaian terhadap kehujjahan hadis ini. Sebagian menilainya sebagai hadis Shahih/hasan, namun sebagian yang lain menilainya sebagai hadis dha’if disebabkan terdapat rawi Abu Zhilal Hilal Al-Qasmaliy.
Hadis ini dinilai hasan oleh Imam At-Tirmidzi, dengan mengatakan: “Haadzaa Haditsun hasanun ghariebun” [7]
Hemat kami, penilaian hasan apalagi shahih pada hadis ini layak ditinjau kembali, mengingat pada kapasitas intelektual (Dhabth) atau integritas moral (‘Adalah) rawi Abu Zhilal Hilal Al-Qasmaliy terdapat cacat, sebagaimana dinyatakan para ulama berikut:
Imam Yahya bin Ma’in, Guru Imam al-Bukhari, menilainya dha’if. Abbas Ad-Dury berkata:
عن يحيى بن معين : أَبُو ظِلَالٍ هو هِلَالُ الْقَسْمَلِيُّ ضَعِيفٌ لَيْسَ بِشَيْءٍ
Dari Yahya bin Ma’in: “Abu Zhilal adalah Hilal Al-Qasmaliy, ia dh’aif, laisa bi syai’in (tidak bernilai sama sekali).” [8]
Rawi itu dinilai dhaif pula oleh para ulama lainnya, semisal Imam Abu Hatim[9], Imam Al-Bukhari[10] (dengan ungkapan ia mempunyai hadis-hadis munkar), Imam Muslim dan An-Nasai[11] (dengan ungkapan Laisa bi Syai’in) dan Imam Ibnu Hiban mengatakan:
شَيْخٌ مُغَفَّلٌ لَا يَجُوزُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ بِحَالٍ يَرْوِي عَنْ أَنَسٍ مَا لَيْسَ مِنْ حَدِيِثِهِ
“Syekh yang lemah ingatan, tidak boleh dipakai hujjah dalam keadaan apapun, ia meriwayatkan sesuatu dari Anas yang bukan dari hadisnya.” [12]
Ia dinilai dhaif pula oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar[13] dan Imam Adz-Dzahabi[14]
Dari berbagai penjelasan itu, kami cenderung mengikuti para ulama yang mendhaifkan hadis ini mengingat dijelaskan sebab dhaifnya (Mufassar).
Kedua, Riwayat Imam at-Thabrani
مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي جَمَاعَةٍ، ثُمَّ ثَبَتَ فِي الْمَسْجِدِ يُسَبِّحُ اللَّهَ سُبْحَةَ الضُّحَى كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ تَامًّا لَهُ حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ
“Barangsiapa shalat subuh secara berjamaah, kemudian tetap berada di masjid sambil bertasbih kepada Allah dengan shalat sunat dhuha, ia akan mempunyai pahala seperti pahala haji dan umrah yang sempurna haji dan umrahnya.” HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, XV:123, No. 13.764
Derajat Hadis
Para ahli hadis berbeda penilaian terhadap kehujjahan hadis ini. Sebagian menilainya sebagai hadis Shahih/hasan, namun sebagian yang lain menilainya sebagai hadis dha’if disebabkan terdapat rawi Al-Ahwash bin Hakim.
Imam Al-Haitsami berkata:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ الْأَحْوَصُ بْنُ حَكِيمٍ، وَثَّقَهُ الْعِجْلِيُّ وَغَيْرُهُ، وَضَعَّفَهُ جَمَاعَةٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ وَفِي بَعْضِهِمْ خِلَافٌ لَا يَضُرُّ
“Hadis itu diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, dan pada sanadnya terdapat rawi Al-Ahwash bin Hakim. Ia dinilai tsiqah oleh Al-‘Ijli dan lainnya, dan dinilai dhaif oleh sekelompok ulama, sedangkan para rawi lainnya tsiqah, dan pada sebagian mereka terdapat khilaf yang tidak merusak.” [15]
Para ulama yang menilai dhaif Al-Ahwash bin Hakim, antara lain Imam Abu Hatim dan ad-Daraquthni dengan mengatakan, “Munkar Al-Hadits.”[16] Ia dinilai dhaif pula oleh Imam An-Nasai.[17] Menurut Al-Hafzih Ibnu Hajar, “Ia lemah hapalannya (Dha’if Al-Hadits)” [18]
Dari berbagai penjelasan itu, kami cenderung mengikuti para ulama yang mendhaifkan hadis ini mengingat dijelaskan sebab dhaifnya (Mufassar).
Ketiga, Riwayat Imam Al-Baihaqi
عَنْ حَسْنِ بْنِ عَلِيٍّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ قَعَدَ فِي مَجْلِسِهِ يَذْكُرُ اللهَ
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَلْفَحَهُ أَوْ تَطْعَمَهُ "
Dari Hasan bin Ali ra, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa shalat subuh kemudian ia duduk di majelisnya berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia shalat dua rakaat, niscaya Allah akan haramkan dirinya dijilat atau dimakan api neraka’.” Syu’ab Al-Iman, IV: 384, No. 2697.
Derajat Hadis
Para ahli hadis sepakat dalam menilai hadis ini derajatnya sangat dha’if disebabkan terdapat rawi Sa’ad bin Tharif. Kata Imam Al-Mubarakafuri:
قَالَ ابْنُ مَعِينٍ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَرْوِيَ عَنْهُ وَقَالَ أَحْمَدُ وَأَبُو حَاتِمٍ ضَعِيفُ الْحَدِيثِ وَقَالَ النَّسَائِيُ وَالدَّارَقُطْنِيُّ مَتْرُوْكٌ وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ كَانَ يَضَعُ الْحَدِيثَ عَلَى الْفَوْرِ وَقَالَ الْبُخَارِيُّ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ عِنْدَهُمْ كَذَا فِي الْمِيزَانِ
“Ibnu Ma’in berkata, ‘Tidak halal bagi seorang pun meriwayatkan darinya.’ Ahmad dan Abu Hatim berkata, ‘Ia Dha’if Al-Hadits.’ An-Nasai dan Ad-Daraquthni berkata, ‘Ia Matruk.’ Ibnu Hiban berkata, ‘Ia memalsukan hadis dengan segera.’ Al-Bukhari berkata, ‘Ia tidak kuat menurut mereka.’ Demikian dalam Mizan Al-I’tidal.” [19]
Dalam penilaian Imam Abu Hatim, “Sa’ad Munkar Al-Hadits.” [20] Penilaian yang tidak kalah tegas disampaikan pula oleh Imam Ibnu Al-Jawziy, “Sa’ad bin Tharif, ia memalsukan hadis” [21]
Keempat, Riwayat Imam Ahmad
عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ اَلْجُهَنِي، أَنَّ رَسُولَ اللهِ r. قَالَ: مَن قَعَدَ في مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكعتَيْ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْراً، غَفَرَ اللهُ خَطَايَاهُ وإِن كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ.
Dari Mu'adz bin Anas Al-Juhani, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa yang duduk di tempat salatnya setelah salat Subuh tatkala (yang lain) pergi hingga salat Duha dua rakaat dan tidak mengatakan kecuali kebaikan, maka Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya walaupun semisal banyaknya buih di lautan." HR. Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 24, hlm. 387-388.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, Melalui jalur yang sama: Zabban bin Faa’id/Faayid, dari Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy, dari Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy. [22]
Derajat Hadis
Para ahli hadis sepakat dalam menilai hadis ini derajatnya sangat dha’if disebabkan terdapat rawi bernama Zabban bin Faa’id/Faayid dan Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy. Kata Imam Al-Mundziri, “Sahl bin Mu’adz Dha’if dan Zabban bin Faayid Al-Hamrawi, rawi yang menerima dari Sahl bin Mu’adz dha’if pula”[23]
Kata Imam Badruddin Al-‘Ainiy, “Pada Sanadnya terdapat rawi Zabban bin Faa’id, ia dinilai dhaif oleh Ibnu Ma’in, dan Ahmad berkata, “Hadis-hadisnya Munkar” [24]
Berkenaan dengan rawi Sahl bin Mu’adz, Ibnu Hiban berkata:
لا يعتبر حديثه ما كان من رواية زبان بن فائد عنه
“Hadisnya tidak teranggap selama hadis itu termasuk riwayat Zabban bin Faa’id darinya” [25]
Sementara berkenaan dengan rawi Zabban bin Faa’id, Ibnu Hiban berkata
منكر الحديث جدا ، يتفرد عن سهل بن معاذ بنسخة كأنها موضوعة لا يحتج به
“Sangat munkar Al-Hadits, hanya ia sendirian yang meriwayatkan suatu naskah dari Sahl bin Mu’adz, seakan-akan naskah itu dipalsukan, ia tidak bisa dipakai hujjah.”[26]
Dari berbagai penjelasan para ulama tentang kehujahan hadis shalat Isyraq sebagaimana terurai di atas, tidak berlebihan sekiranya disimpulkan:
- Hadis-hadis yang menerangkan shalat pada saat isyraq/syuruq (matahari terbit) tidak dapat dijadikan sebagai hujjah kesunnahan shalat Isyraq, karena statusnya dhaif.
- Hadis-hadis yang menerangkan shalat pada saat isyraq/syuruq tidak dapat dijadikan hujjah bahwa waktu utama shalat dhuha pada saat isyraq/syuruq karena status hadis-hadisnya dhaif
Analisa Kehujahan Shalat Isyraq adalah Shalat Dhuha dari Aspek Waktu
Dalam kamus bahasa Arab disebutkan bahwa kata Ad-Duha, ad-Dhahwu, ad-Dhahwah, dan ad-Dhahaa’u berarti Waktu duha (waktu matahari terbit/naik).[27]
Menurut Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili:
وَأَصْلُ مَعنَى الضُّحَى: وَقْتُ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ وَإِضَاءَةِ الدُّنْيَا أَوَّلَ النَّهَارِ
“Makna asal Duha adalah waktu matahari meninggi dan bumi mulai bercahaya pada awal siang.”[28]
قَالَ الخَطَابِيُّ : اَلْمُرَادُ وَقْتُ الضُّحَى وَهُوَ صَدْرُ النَّهَارِ حِيْنَ تَرْتَفِعُ الشَمْسُ وَتُلْقِي شِعَاعَهَا
Imam Al-Khathabi berkata, “Duha ialah waktu permulaan siang tatkala matahari meninggi dan memancarkan cahayanya.” [29]
Ibnu Sayyidah menerangkan, “Sebagian ahli bahasa mengatakan, ‘Ad-Duha wa Ad-Dhahaa adalah satu waktu atau menunjukkan waktu yang sama. Namun menurut sebagian besar ahli bahasa, bahwa Ad-Duha (waktu) dimulai ketika matahari terbit sampai membentangnya siang dan matahari dalam keadaan sangat putih sekali. Kemudian setelah itu disebut Ad-Dhahaa sampai dekat ke tengah hari. Dan terkadang, matahari disebut Duha dikarenakan jelasnya (cahaya matahari) pada waktu itu.”[30]
Sementara menurut pemahaman dan perhitungan Dewan Hisbah bersama Dewan Hisab dan Rukyat PP Persis disepakati bahwa: Dilihat dari ukuran waktu, dhuha mulai masuk sekira 15 menit setelah syuruq (terbit matahari). Sedangkan waktu afdhal shalat dhuha adalah saat anak unta kepanasan yakni sekitar jam 09.00-11.00. Adapun akhir waktu Dhuha 5 menit sebelum waktu zhuhur. [31]
Dengan demikian, hemat kami tidak tepat pendalilan bahwa shalat Isyraq adalah shalat Dhuha dilihat dari aspek kesamaan waktu, mengingat perbedaan waktu di antara keduanya, yakni waktu Dhuha dimulai 15 menit setelah syuruq. Wallaahu A’lam.
Bandung, 4 Rabi’ul Awwal 1445 H/20 September 2023
[]
[22] HR. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, 1/496, No. 1287), Al-Baihaqi (As-Sunan Al-Kubra, 3/49, No. 4985), Ath-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir, 2/196, No. 18.619).