Menjawab Kemungkinan Jabatan Presiden Menjadi Tiga Periode

oleh Reporter

22 Maret 2021 | 17:37

Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti korup. Pernyataan paling terkenal yang disampaikan oleh Lord Acton tersebut selalu menjadi rujukan, atau bahkan sindiran satire, kepada para pemimpin yang berlaku lalim dalam jabatannya. Sejarah banyak membuktikan, terlalu lama seseorang berkuasa dapat membuat dirinya lupa diri, lupa terhadap tanggung jawabnya; sehingga kalau boleh meminjam istilah Prof Jimly Ashshiddiqie dalam wawancaranya dengan Helmy Yahya, kekuasaan dapat membuat seseorang yang dulunya ‘darah merah’ (merakyat) menjadi ‘darah biru’ (feodal).  

Ketentuan dalam UUD 1945 pasca amendemen tentang masa jabatan presiden dibatasi hanya untuk dua periode bukan ketentuan yang lahir dari bayang dan khayalan. Masa Orde lama dimana Presiden Soekarno yang men-declare sebagai Presiden seumur hidup, juga tafsir kekuasaan orde baru masa Presiden Soeharto terhadap konstitusi yang dapat membuat kekuasaannya langgeng hingga 32 tahun, membuka mata masyarakat bahwa kekuasaan adalah hal yang wajib dibatasi.

Tak ayal, beberapa kontroversi yang pernah menyambar para mantan Presiden tersebut semisal tuduhan Soekarno yang dekat dengan PKI sebagai perwujudan jargon NASAKOMnya, keluarga ‘cendana’ yang menggurita dengan menduduki jabatan strategis pada masanya, menunjukan bahwa kekuasaan adalah kursi yang sangat menggiurkan untuk dipertahankan.

Latar belakang sejarah tersebut menjadikan jabatan Presiden sebagai hal pertama yang diubah tanpa perdebatan dalam sidang pertama MPR amendemen UUD 1945 tahun 1999. Keterangan diatas menunjukan jabatan Presiden di Indonesia adalah hal yang sensitif, sehingga pasal 7 UUD 1945 tersebut tidak bisa dengan mudah diubah jikalau dikemudian hari Indonesia melaksanakan sidang amendemen yang berikutnya.

Sifat konstitusi diberbagai belahan dunia terdapat dua jenis; pertama, konstitusi fleksibel dan kedua konstitusi rigid (sulit). Fleksibel artinya mudah diubah seperti konstitusi Afrika Selatan, rigid artinya cukup sulit, seperti konstitusi Indonesia (UUD 1945). Fleksibel ataupun rigid ditentukan oleh iklim politik, sejarah bangsa, terutama momentum yang terjadi sebagaimana yang pernah dialami di Indonesia.

Proses perubahan pada amendemen dilakukan secara adendum, yang artinya perubahan bukan pada naskah asli namun terdapat poin-poin tambahan. Oleh sebab itu UUD 1945 dianggap cukup ‘keramat’ padahal pada masa Presiden Soekarno pembentukan UUD 1945 itu hanya bersifat sementara, sebagaimana perintah beliau kepada majelis konstituante untuk membentuk UUD yang lebih sempurna sekalipun pada akhirnya ‘gagal’. Sehingga perubahan-perubahan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Maka pasca reformasi masih banyak yang menilai amendemen tidak terlalu membawa Indonesia pada sistem hukum yang lebih baik.

Isu wacana amendemen ke-V mencuat dengan mengusung masa jabatan Presiden menjadi tiga periode. Isu ini bukan hanya muncul di masa Presiden Jokowi, pernah juga hal tersebut santer begitu hangat di era Presiden SBY. Apakah hal tersebut mungkin terjadi? Bagaimana tingkat kemungkinannya ?. KC. Wheare dalam bukunya menyebut terdapat empat jenis mekanisme perubahan konstitusi, (1) Some primary force, kekuatan-kekuasaan yang kuat termasuk kekuatan politik (2) formal amendement, amendemen resmi secara formal (3) Judicial interpretation, interpretasi hakim dalam hal ini Mahkamah Konstitusi (sebagai lembaga yang berwenang di Indonesia) (4) usage and convention, konvensi kebiasaan ketatanegaraan.

Indonesia sudah mengalami tiga mekasime perubahan konstitusi, perubahan secara formal yang terjadi pada 1999-2002, interpretasi hakim MK terhadap UUD 1945 seperti kewenanganya menguji Perppu (padahal dalam UUD tidak disebut), Konvensi ketatanegaraan, sebagaimana yang terjadi ketika Indonesia pernah berubah dari sistem presidensil ke sistem parlementer, tanpa merubah pasal dan diterima oleh rakyat. Namun beberapa catatan diatas menurut penulis ada beberapa pertimbangan yang mesti dikaji.

Pertama, bila berkaca pada lipatan sejarah yang telah dibahas sebelumnya, amendemen merupakan sebuah momentum besar yang dihasilkan dari peristiwa besar. traumarik sejarah, otoriterianisme menjadi sebab amendemen 1999-2002 terjadi. Sehingga perubahan konstitusi di Indonesia harus menemukan sebuah Big Event atau peristiwa besar yang memancing kesadaran masyarakat untuk sepakat merubah UUD 1945.

Kedua, kalaupun amendemen tersebut terjadi, apakah urgensi merubah pasal 7 UUD 1945 menjadi tiga periode? Bagaimana analisis secara ilmiahnya? Apakah pasal 7 merupakah pasal yang akan mudah disentuh untuk diubah atau justru pasal tersebut terkunci oleh sejarah?. Jika seandainya perubahan menjadi tiga periode benar-benar terjadi maka ini akan menjadi buruk bagi kebiasaan ketatanegaraan, sebab tidak menutup kemungkinan dengan kekuatan-kekuatan yang tak terduga pasal tersebut akan berubah demi kepentingan kekuasaan.

Ketiga, Prosedur perubahan UUD 1945 adalah kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945 “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR”. Sidang dapat dilaksanakan bila dihadiri duapertiga jumah anggota, dan keanggotaan MPR adalah gabungan Anggota DPR dan DPD. Sehingga faktor ketiga ini akan sangat dipengaruhi salah satunya oleh konfigurasi politik yang ada di DPR dan DPD.

Keempat, Interpretasi Hakim MK dengan kebolehan menguji perppu menurut penulis disebabkan adanya kekosongan hukum, kalau-kalau legislatif bergerak lambat, dan perppu dinilai merugikan maka peradilan sebagai jalan masyarakat untuk mencari keadilan. Pertanyaanya, apakah pasal tentang masa jabatan dapat diinterpretasikan?

Bila menelisik kemungkinan jabatan Presiden menjadi tiga periode maka jawabannya adalah mungkin namun akan sulit terjadi tanpa adanya syarat dan pertimbangan diatas. Menurut penulis, kemungkinan yang paling besar adanya perubahan UUD 1945 adalah dengan kemestian terjadinya peristiwa besar yang memaksa baik masyarakat umum didukung perangkat negara dalam hal ini para anggota yang berwenang bersepakat untuk merubah konstitusi; tinggalah persitiwa besar seperti apa yang meungkinkan masa jabatan seorang Presiden layak untuk diperpanjang?. Begitupula sulit jika dipaksakan sekalipun situasi politik di MPR memungkinkan itu. Dan pasal tentang masa jabatan Presiden untuk beberapa dekade kedepan adalah pasal keramat, yang tidak mudah untuk diubah.  Sebab konstitusi, adalah kesepakatan yang luhur, dipatuhi bersama untuk kemajuan bangsa dan negara.

Wallahua’lam bissawaab

 

 

***

Penulis: Ilham Habiburohman (Anggota Laznah Bantuan Hukum PP Persis)

Reporter: Reporter Editor: admin