Oleh: Al-Ustadz Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)
I. Pengertian dan Ketentuan Qunut Nazilah
Kata Qunut (القنوت) dalam pengertian bahasa Arab digunakan untuk beberapa makna. Sehubungan dengan itu, Imam Ibnul Qayyim Al-Jawziyyah (691-751 H/1292-1350 M) menjelaskan:
فإن القنوت يطلق على القيام، والسكوت، ودوام العبادة، والدعاء، والتسبيح، والخشوع
“Sesungguhnya kata qunut digunakan untuk makna berdiri, diam, dawam (terus menerus) ibadah, du’a, tasbih, dan khusyu’” [1]
Sementara, kata Naazilah (النازلة) dalam pengertian bahasa:
النازلة هي الأمر الشديد الذي يهتم له المرء ويقلقه شأنُه
“Nazilah adalah suatu perkara berat yang dipedulikan dan dikhawatirkan oleh seseorang”
Pemaknaan demikian merujuk pada penjelasan para pakar Bahasa Arab, antara lain Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (100-170 H/718-786 M) dalam kitabnya Al-‘Ain:
النّازلةُ الشّديدةُ من شدائد الدَّهْر تَنْزِلُ بالقَوْمِ، وجمعُها: النَّوازِل
“Malapetaka yang dahsyat di antara berbagai kesulitan bencana yang menimpa suatu kaum, dan bentuk jamaknya Nawaazil” [2]
Adapun yang dimaksud dengan Qunut Nazilah adalah qunut yang dilaksanakan karena musibah besar yang menimpa kaum muslimin, dengan mendo’akan kebaikan dan keselamatan bagi kaum muslimin atau keburukan dan laknat bagi kaum penindas pada kaum muslimin.
Qunut Nazilah dilaksanakan pada setiap salat fardhu, termasuk salat Jumat, paling lama satu bulan. Sedangkan pelaksaan syariat dan waktu qunut nazilah ditentukan oleh Ulil Amri, dan di lingkungan jam’iyyah PERSIS oleh Ketua Umum PP PERSIS. [3]
Ketentuan demikian berdasarkan dalil-dalil, antara lain sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ يَدْعُو عَلَيْهِمْ عَلَى حَيٍّ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ ، وَذَكْوَانَ ، وَعُصَيَّةَ ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
Ibnu Abbas berkata, ‘Rasulullah saw. qunut selama satu bulan berturut-turut, pada waktu Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh pada akhir tiap salat, apabila beliau mengucapkan “Sami’allaahu Liman Hamidah”, yaitu pada rakaat akhir. Beliau mendoakan celaka kepada Kabilah Bani Sulaim, yaitu: Ri’lin, Dzakwan, dan Ushayyah, dan ma’mum membaca amin.” HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. [4]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي دُبُرِ صَلَاةِ الظُّهْرِ اللَّهُمَّ خَلِّصْ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَضَعَفَةَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَيْدِي الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. berdoa pada akhir shalat Zhuhur: "Ya Allah, selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abu Rabi'ah dan orang-orang lemah dari kaum muslimin dari tangan-tangan kafir Musyrikin, mereka orang-orang yang tidak mempunyai daya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)." HR. Ahmad. [5]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
Dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah Saw. jika ingin mendoakan kecelakaan kepada seseorang atau berdoa keselamatan kepada seseorang beliau selalu qunut setelah rukuk." Kira-kira ia berkata; "Jika beliau mengucapkan: "SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH ALLAAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMDU, Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, Salamah bin Hisyam, dan 'Ayyasy bin Abu Rabi'ah. Ya Allah keraskanlah hukuman-Mu atas kaum Mudlar, dan timpakanlah kepada mereka tahun-tahun paceklik sebagaimana tahun-tahun pada masa Yusuf." HR. Al-Bukhari, Ahmad dan Al-Baihaqi
II. Latar Belakang dan Penyebab Qunut Nazilah Disyariatkan
Untuk pertama kali Qunut Nazilah disyariatkan pada bulan Shafar tahun 4 H berkenaan dengan dua peristiwa dahsyat yang menimpa Islam dan kaum muslimin: Pertama, populer dengan sebutan Peristiwa Mata Air Roji', dan Kedua, popoler dengan sebutan Tragedi Bi'r Ma'unah (Sumur Maunah)
A. Peristiwa Mata Air Raji'
Rombongan ‘Adhl dan al-Qarah, kaum kafir dari kabilah Banu Lihyan, memohon kepada Rasulullah agar mengirimkan para muballigh.
Tapi ternyata mereka berkhianat, 8 orang di antara utusan Rasul yang dipimpin Ashim bin Tsabit (kakek Ashim bin Umar bin Khatab) itu dibunuh dengan cara yang kejam, di pangkalan air milik Hudzail di daerah yang disebut ar-Raji’ (sekitar Hijaz), sedangkan 2 orang ditangkap dan ditawan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual.
Kedua orang tersebut ialah Khubaib bin ‘Adi dan Zaid bin ad-Datsinah. Dalam keadaan terkepung dan sebelum dibunuh, Ashim berdoa:
أَللَّهُمَّ أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ
“Ya Allah, kabarkanlah kepada nabi-Mu tentang kami.”
Peristiwa itu terkenal dengan nama ar-Raji’[6]
B. Tragedi Bi'r Ma'unah dan Qunut Nazilah
Rombongan Ri’lin dan Dzakwan, kaum kafir dari kabilah Banu Sulaim, mengundang mubaligh-mubaligh Islam, dan berjanji akan menjamin keamanannya.
Tapi ternyata mereka berkhianat, membunuh secara biadab 70 orang al-Qurra. Al-Qurra adalah mereka yang pada siang hari giat mencari rezeki dengan jalan yang halal, kemudian hasilnya dipergunakan memenuhi keperluan makan para ahli Suffah.
Para Ahlu Suffah adalah para pelajar yang menetap di serambi mesjid Rasulullah Saw.
Al-Qurra itu sendiri pada malam harinya turut juga belajar kepada Rasulullah Saw., pada setiap malam mereka giat mendirikan salat dan membaca Alquran. Peristiwa itu terkenal dengan nama Bi’ru Ma’unah.[7]
Kedua peristiwa di atas terjadi pada bulan dan tahun yang sama (Shafar 4 H). Karena berdekatannya peristiwa tersebut, oleh Imam Al-Bukhari keduanya dijadikan judul secara bergandengan dalam kitab al-Maghazi. [8]
Rasulullah Saw sangat terpukul setelah mendengar berita peristiwa dahsyat tersebut, sebagaimana diterangkan Anas bin Malik Ra:
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ – رواه البخاري –
“Sesungguhnya Nabi saw. berqunut sebulan lamanya ketika al-qurra dibunuh, dan saya tidak pernah melihat beliau berduka cita yang lebih mendalam dari itu.” (H.R. Al-Bukhari)
Berhubung peristiwa dahsyat yang melukai hati dan mencederai perasaan itu, Rasulullah Saw berdo’a dengan do’a khusus, yang dilakukan setelah I’tidal pada rakaat terakhir dalam salat wajib, yang disebut dengan Qunut Nazilah.
Sebagaimana diterangkan dalam berbagai hadis, antara lain Anas Ra. mengatakan:
قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لِحْيَانَ – رواه البخاري –
“Beliau qunut sebulan lamanya pada salat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah-kabilah Arab, yaitu Ri’il, Dzakwan, Ushayyah, dan Banu Lihyan.” (H.R. Al-Bukhari).
Imam Al-Qasthalani berkata, “Dari doa ini akan disangka bahwa Banu Lihyan termasuk kaum yang membunuh al-Qura di Bi’ru Ma’unah. Padahal tidak demikian, karena yang membunuh al-Qura hanya Ri’il, Dzakwan, Ushayyah, dan sahabat mereka dari kaum Banu Sulaim, sedangkan Banu Lihyan adalah yang membunuh utusan ar-Raji’.
Dan berita kematian mereka (peristiwa Bi’ru Ma’unah dan ar-Raji’) sampai kepada Nabi pada waktu yang sama, lalu beliau menduakan para sahabatnya yang terbunuh di dua tempat dengan du’a yang sama.” [9]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Dalil yang menunjukkan berdekatannya kedua peristiwa tersebut adalah hadis Anas bahwa Nabi menyatukan (penyebutan) antara Banu Lihyan dan Banu Ushayyah serta yang lainnya pada doa beliau” [10]
Dari latar belakang dan penyebab disyariatkan Qunut Nazilah itu dapat dipahami bahwa Qunut Nazilah dilakukan oleh Nabi Saw dengan memperhatikan kualitas orang yang terkena musibah itu, bukan semata kuantitas, bukan pula karena dahsyatnya peristiwa yang terjadi, melainkan karena hilangnya sokoguru kehidupan Islam untuk masa depan.
Wafatnya kader-kader terbaik yang kuat akidahnya serta patuh terhadap Islam secara lahir batin.
Kaum muslimin kehilangan “tangan-tangan suci” untuk perjuangan suci, kehilangan “putera-putera” Islam yang layak menempati kedudukan mulia. Dengan wafatnya mereka, niscaya hakikat Islam akan hilang dari muka Bumi.
III. Kaifiyat Pelaksanaan Qunut Nazilah
Berkenaan dengan kaifiyat (Tatacara) Qunut Nazilah, Dewan Hisbah Persis dalam sidangnya di tahun 1992 dan 2021 menetapkan panduan sebagai berikut:
- Qunut Nazilah dilaksanakan pada setiap salat fardhu, termasuk salat Jumat pada rakaat terakhir setelah I’tidal (Setelah Bangkit dari rukuk terakhir), baik berjamaah ataupun munfarid.
- Redaksi doa qunut dapat disesuaikan dengan konteks musibah dan kezaliman
- Doa qunut dibaca jahar baik dalam shalat jahar maupun sir (sendiri).
- Pada salat berjamaah yang sir dan jahar doa qunut tetap dibaca jahar oleh imam dan diamini oleh makmum (setelah selesai doa qunut imam diaminkan oleh makmum).
- Membaca doa qunut sambil mengangkat tangan. Jika imam mengangkat tangan dalam pelaksanaan qunut, maka makmum mengikuti imam. [11]
Adapun contoh redaksi doa Qunut Nazilah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَاشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
(Ya Allah! Selamatkanlah orang-orang yang lemah dari mu'minin dan keraskanlah siksaan-Mu atas kaum yang zhalim)
IV. Masa Keberlakuan Syariat Qunut Nazilah
Ada yang berpendapat bahwa Syariat Qunut Nazilah hanya berlaku satu kali disebabkan peristiwa Ar-Raji’ dan Bi’r Ma’unah di Shafar 4 H. Setelah itu dihapus keberlakukannya dengan diturunkan Q.S. Ali Imran: 128.
Sehubungan itu, Dewan Hisbah menetapkan bahwa Syariat Qunut Nazilah tetap berlaku selama sebabnya masih ada.
Dalam hal masa keberlakuan syariat yang berkaitan dengan sebab, Dewan Hisbah sejalan dengan pandangan para ulama, antar lain Imam Badruddin Az-Zarkasyi (745-794 H/1344-1392 M), beliau berkata:
فَالْأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ نَوْعَانِ: نَوْعٌ ثَابِتٌ بِالخِطَابِ لَا يَتَغَيَّرَ كَالْوُجُوْبِ وَالْحُرْمَةِ, فَالتّغَيُّرُ في هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْأَحْكَامِ لَا يَكُوْنُ إِلَّا بِالنِّسْخِ, وَنَسَخُ الْأَحْكَامِ لَا يَكُوْنُ إِلَّا مِنَ اللهِ. نَوْعٌ مُعَلَّقٌ عَلَى الْأَسْبَابِ, وَهِيَ الْأَحْكَامُ الَّتِي ثَبَتَتْ شَرْعًا مُعَلَّقَةٌ عَلَى أَسْبَابِهَا فَهَذَا النَّوْعُ مِنَ الْأَحْكَامِ يَتَغَيَّرَ بِتَغْيِيْرِ الْأَسْبَابِ, فَالْأَحْكَامُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا فَتَغَيَّرُ بِتَغْيِيْرِ الْعِلَّةِ
“Hukum-hukum syara’ ada dua macam:
1. Hukum yang tetap dengan khitab, tidak berubah seperti wajib dan haram. Maka tidak ada perubahan pada hukum macam ini kecuali dengan naskh (penghapusan) dan penghapusan hukum-hukum itu tidak ada kecuali dari Allah.
2. Hukum yang berkaitan dengan sebab-sebab. Yaitu hukum-hukum syara’ yang ditetapkan berkaitan dengan sebab-sebabnya. Maka hukum macam ini dapat berubah dengan perubahan sebab. Hukum itu bergantung pada ‘illat (sebab)-nya dalam hal ada dan tidaknya. Maka hukum itu berubah dengan perubahan ‘illat.” [12]
Sementara dalam hal masa keberlakuan Qunut Nazilah berkaitan dengan sebab, Dewan Hisbah sejalan dengan pandangan Imam Ibnul Qayyim Al-Jawziyyah (691-751 H/1292-1350 M), beliau berkata:
إَنَّمَا قَنَتَ عِنْدَ النَّوَازِلِ لِلدّعَاءِ لِقَوْمٍ وَلِلدُّعَاءِ عَلَى أخَرِيْنَ ثُمَّ تَرَكَهُ لَمَّا قَدِمَ مَنْ دَعَا لَهُمْ وَتَخَلّصُوا مِنْ الْأَسْرِ وَأَسْلَمَ مَنْ دَعَا عَلَيْهِمْ وَجَاءُوا تَائِبِيْنَ فَكَانَ قُنُوْتُهُ لِعَارِضً فَلَمَّا لِعَارِضٍ فَلَمَّا زَالَ تَرَكَ الْقُنُوْتَ -زاد المعاد في هدي خير العباد-
“Nabi Saw hanya melaksanakan qunut ketika terjadi bencana/musibah untuk mendoakan kebaikan suatu kaum (muslimin) dan mendoakan kejelekan kepada kaum yang lain kemudian beliau menghentikannya tatkala orang yang didoakan kebaikan olehnya kembali dari tawanan dan orang yang didoakan kejelekan olehnya masuk Islam dan mereka datang dengan bertaubat. Maka qunut yang beliau laksanakan itu karena suatu sebab, ketika sebab itu hilang, beliau menghentikan qunut.” [13]
Selain itu, Dewan Hisbah merujuk pada Qaidah Fiqhiyyah
وَالْقَاعِدَةُ أَنَّ الْحُكْمَ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا, فَمَا دَامَ أَنَّ النَّازِلَةُ مَوْجُوْدَةٌ فَالْقُنُوْتُ يَسْتَمِرُّ حَتَّى يَزُوْلُ الْعَارِضُ وَتَرْتَفِعَ النَّازِلَةُ, فَإِذَا زَالَتْ الْعِلَّةُ وَارْتَفَعَتْ النَّازِلَةُ تُرِكَ الْقُنُوْتُ
“Qaidah fiqhiyyah: bahwa hukum berlaku menyertai illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan illatnya. Selama Nazilah terwujud, maka Qunut terus berlaku sehingga hilang sifat dan terangkat Nazilahnya. Maka apabila illat telah hilang dan Nazilah telah terangkat niscaya Qunut ditinggalkan”
Adapun tentang masa keberlakuannya tidak pernah dihapus dengan diturunkan QS. Ali Imran: 128, telah dijelaskan oleh para ulama, antara lain
Imam Al-Qurthubi berkata
زَعَمَ بَعْضُ الْكُوفِيِّيْنَ أَنَّ هَذِهِ الأيَةَ نَاسِخَةٌ لِلْقُنُوْتِ الَّذِيْ كَانَ النّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ بَعْدَ الرُّكُوعِ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيْرَةِ مِنَ الصُّبْحِ, وَاحْتَجَّ بِحَدِيْثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ بَعَدَ رَفْعِ رَأْسِهِ مِنَ الرُّكُوعِ فَقَالَ: (أَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فِي الْأَخِيْرَةِ -ثُمَّ قَالَ- اَللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا) فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ "لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْ ءٌ أَو يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَو يُعَذِّبَهُمْ" الايةَ. أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ, وَأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ أَيْضًا مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَتَمَّ مِنْهُ. وَلَيْسَ هَذَا مَوضِعَ نَسْخٍ وَإِنَّمَا نَبَّهَ اللهُ تَعَالَى عَلَى نَبِيِّهِ عَلَى أَنَّ الْأَمْرَ لَيْسَ إِلَيْهِ, وَأَنَّهُ لَا يَعْلَمُ مِنَ الْغَيْبِ شَيْئًا إَلَّا مَا أَعْلَمَهُ. وَأَنَّ الْأَمْرَ كُلُّهُ لِلَّهِ يَتُوْبُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَيُعَجِّلُ الْعُقُوْبَةَ لِمَنْ يَشَاءُ. وَالتَّقْدِيْرُ: لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْ ءٌ وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ دُوْنَكَ وَجُوْنَهُمْ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَتُوبَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ. فَلَا نَسَخَ. وَاللهُ أَعْلَمُ. -تفسير القرطبي-
“Sebagian orang-orang Kufah mengira bahwa ayat ini menghapus qunut yang dilaksanakan oleh Nabi Saw setelah ruku pada rakaat terakhir shalat shubuh, dan berhujjah dengan hadis Ibnu Umar bahwa ia mendengar Nabi Saw berdoa pada shalat shubuh setelah mengangkat kepalanya dari ruku, beliau membaca, “Allahumma rabbanaa walakal hamdu” pada rakaat yang terakhir kemudian beliau berdoa, “Ya Allah laknatlah si fulan dan si fulan”, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat “Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau meng-azabnya..” (QS. Ali Imran: 128). Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan diriwayatkan juga oleh Muslim dengan redaksi yang lebih lengkap darinya. Ayat ini konteksnya bukan naskh (penghapusan) tetapi Allah Swt mengingatkan kepada Nabi-Nya bahwasannya urusan itu bukanlah kewenangannya, ia tidak mengetahui perkara gaib sedikitpun melainkan apa yang diberitahukan kepadanya dan urusan itu semuanya bagi Allah; Dia menerima taubat orang yang Dia kehendaki atau menyegerakan siksaan kepada orang yang Dia kehendaki. Perkiraaan maksud ayat tersebut: “Sedikitpun urusan itu bukanlah wewenangmu dan milik Allah apa yang ada di langit dan di bumi bukan (wewenang) kamu dan mereka. Dia mengampuni orang yang Dia kehendaki dan menerima taubat orang yang Dia kehendaki”. Wallahu a’lam.” [14]
KH.E.Abdurrahman berkata:
"Adapun ayat Ali Imran: 128, diturunkan, disyari’atkan pada tahun ketiga dari hijrah. Bila ayat itu dinyatakan sebagai larangan qunut nazilah yang dilakukan pada tahun setelah larangan turun, maka artinya Rasulu'lLah telah melanggar firman Allah s.w.t., hal seperti itu hukumnya mustahil. Jadi jelas ayat itu tidak ada sangkut pautnya dengan qunut nazilah dan tidak mengandung larangan melakukan qunut termaksud… Adapun maksud ayat tersebut, Allah swt. menerangkan taqsim atau tanwi’ dengan menggunakan kata-kata au, yakni menerangkan golongan kafir yang menerima bermacam-macam nasib. Allah menakdirkan terjadinya peperangan, antara lain perang Uhud, yaitu Allah hendak membagi manusia kafir menjadi beberapa macam, ada sebagian yang musnah binasa, dan ada golongan yang lemah rendah, ada golongan yang diberi tobat, dan ada golongan yang disiksa, dan dalam ketentuan tersebut semuanya ada pada kekuasaan Allah, tidak ada sedikitpun wewenang dan kekuasaan pada kamu (wahai Muhamad).” [15]
V. Qunut Nazilah Dalam Pertimbangan Jam’iyyah PERSIS
Syariat Qunut Nazilah telah ditetapkan oleh Jam’iyyah PERSIS merujuk pada keputusan Dewan Hisbah PERSIS yang ditetapkan dalam tiga kali persidangan:
1. Sidang Lengkap di Cisarua, Bogor 18 Jumadi Tsaniyah 1413 H 12 Desember 1992 M, tanpa berkaitan dengan Nawaazil (peristiwa besar) tertentu
2. Sidang Lengkap di Gedung Qarnul Manazil Ciganitri, Kab. Bandung, hari Ahad 11 Syawwal 1442 H/ 23 Mei 2021 M, berkaitan dengan Nawaazil di Palestina dan beberapa negeri lainnya
3. Sidang Terbatas, di Lt.2 Gedung Qarnul Manazil Ciganitri, Kab. Bandung, Kamis 27 Rabi’ul Awwa1445 H/ 12 Oktober 2023 M. dengan Nawaazil di Palestina semata
Sidang ketiga Qunut Nazilah (Sidang Terbatas, 12/10/2023) dalam rangka merekomendasikan kepada Ketua Umum PP PERSIS berkenaan dengan situasi peperangan Palestina dan Israel saat ini.
Rekomendasi Hasil sidang terbatas ini dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) bernomor 012 Tahun 1445 H/ 2023 M.
Beberapa pertimbangan rekomendasi tersebut, antara lain melihat situasi saat ini yang marak terjadinya penindasan kepada kaum muslimin oleh orang-orang dzhalim, khususnya di Palestina.
Juga maraknya upaya-upaya melemahkan Islam dan kaum muslimin oleh musuh-musuh Islam di berbagai tempat berdasarkan pada sumber informasi yang sahih.
Dalam situasi peperangan Palestina dan Israel saat ini, Dewan Hisbah memandang bahwa perang yang sedang terjadi saat ini, Palestina masih dapat melawan dan banyak pihak yang membantu.
Namun, apabila perkembangan situasi dan kondisi mengakibatkan Islam dan kaum muslimin Palestina tertindas dan tidak dapat melakukan perlawanan, maka dapat dilakukan Qunut Nazilah.
Rekomendasi dari Dewan Hisbah telah direspon oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum PP Persis dengan menerbitkan surat PERNYATAAN SIKAP PP PERSIS TENTANG SITUASI KONDISI PERANG PALESTINA – ISRAEL, bernomor : 0690/JJ-C.3/PP/2023.
Isinya antara lain tentang Qunut Nazilah, sebagai berikut: “Menyerukan dan mengajak seluruh kaum muslimin untuk membantu perjuangan Bangsa Palestina dengan do'a Qunut Nazilah dan do'a pada waktu-waktu mustajab; menggalang bantuan kemanusiaan untuk pembelian obat-obatan, makanan, pakaian, tenda-tenda pengungsian, dan pembangunan sarana umum darurat yang sangat mendesak dibutuhkan”
Beberapa pertimbangan seruan dan ajakan melaksanakan Qunut Nazilah tersebut, antara lain:
1. Situasi, kondisi dan perkembangan perang Israel-HAMAS/Palestina yang semakin mengkhawatirkan bagi nasib rakyat Ghaza dan nasib Bangsa Palestina, bahkan Nasib kemanusiaan secara umum
2. Situasi di lapangan bahwa perang Israel dan HAMAS/Palestina adalah perang yang tidak seimbang dimana posisi HAMAS dan penduduk Gaza/rakyat Palestina benar-benar dalam keadaan ruang gerak terbatas dan terjepit dengan perlengkapan perang yang sangat tidak seimbang, sehingga terus menjadi objek serangan dengan mudah dan target pembumihangusan dengan sewenang wenang dan membabi buta
3. Rekomendasi dari Dewan Hisbah PP PERSIS sebagai hasil Sidang Terbatas pada hari Kamis, 12 Oktober 2023.
Seruan dan ajakan melaksanakan Qunut Nazilah itu dipertegas dengan Surat Intruksi PP Persis No. 0697/JJ-C.4/PP/2023, yang berisi penjelasan tentang Batasan waktu Qunut Nazilah dan kaifiyatnya sebagai berikut:
1. Qunut Nazilah dilaksanakan pada setiap salat fardhu, termasuk salat Jumat pada rakaat terakhir setelah I’tidal, setelah bangkit ruku terakhir baik berjamaah ataupun munfarid.
2. Qunut Nazilah dilaksanakan selama satu bulan (Qomariyah) terhitung sejak surat Pernyataan Sikap diterbitkan 27 Rabi’ul Awwal 1445 H/13 Oktober 2023 M hingga 26 Rabi’ul Akhir 1445 H/10 November 2023 M.
3. Apabila nazilah-nya (musibah besar yang menimpa kaum muslimin) sudah berhenti sebelum satu bulan, maka Qunut Nazilah dihentikan.
4. Doa Qunut Nazilah sebagai berikut: (boleh memilih redaksi 1 atau 2)
اَللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي فَلَسْطِيْنَ وَفِي كُلِّ مَكَانِ وَاشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى الْقَوْمِ الظَّالِميْنَ.
“Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang lemah dari mu'minin di Palestina dan di berbagai tempat dan keraskanlah siksaan-Mu atas kaum yang dzhalim.
اَللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي فَلَسْطِيْنَ, اَللَّهُمَّ انْصُرْ الْمُجَاهِدِيْنَ فِي فَلَسْطِيْنَ وَفِي كُلِّ مَكَانِ,
اَللَّهُمَّ انْصُرْ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانِ, اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى أَعْدَاءِ الدِّيْنَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ وَالظَّالِمِيْنَ فِي فَلَسْطِيْنَ وَ فِي كُلِّ مَكَانِ
“Ya Allah, selamatkanlah kaum mukminin yang lemah di Palestina, Ya Allah tolonglah orang-orang yang berjihad di Palestina dan di berbagai tempat, Ya Allah tolonglah kaum muslimin yang lemah di berbagai tempat, Ya Allah keraskanlah siksaan-Mu kepada musuh-musuh Islam, orang-orang kafir dan dzalim di Palestina dan dimana saja”.
5. Doa qunut dibaca jahar baik dalam shalat jahar maupun sir.
6. Pada salat berjamaah yang sir dan jahar doa qunut tetap dibaca jahar oleh imam dan setelah selesai doa qunut diaminkan oleh makmum.
7. Membaca doa qunut sambil mengangkat tangan. Jika imam mengangkat tangan dalam pelaksanaan qunut, maka makmum mengikuti imam.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan berkenaan dengan Qunut Nazilah dalam pertimbangan syariah dan Jam’iyyah PERSIS.
Semoga Allah SWT. memberikan kekuatan, ketabahan, dan kemenangan kepada bangsa Palestina, menghancurkan kekuatan Israel, dan semoga mencatat segala partisipasi dan kontribusi kita sebagai bagian dari jihad membela agama dan hamba-hamba-Nya.
Bandung, 04 Rabi’ul Akhir 1445 H / 19 Oktober 2023 M
[3]Keputusan Dewan Hisbah Persis, 18 Jumadi Tsaniyah 1413 H 12 Desember 1992 M dan No. 013 Tahun 1442 H./2021 M
[4]HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 2/667, No. 2790, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/541, No. 1443, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, 1/646, No. 618, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, 1/225, No. 825, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, 2/200, No. 3149
[11]Keputusan Dewan Hisbah Persis, 18 Jumadi Tsaniyah 1413 H 12 Desember 1992 M dan No. 013 Tahun 1442 H./2021 M
[15]Majalah Risalah, Rubrik Istifta, No. 121 - 122. Th. XII, Jumadi'lakhir - Rajab 1393 H. / Juli - Agustus 1973 M