Oleh: K.H. Dr. Jeje Zaenudin M.Ag (Ketum PP PERSIS)
Berita tentang rencana pemerintah menaikan Ongkos Naik Haji (ONH) 2023 yang diusulkan kepada DPR RI sejak beberapa pekan lalu, tentu saja menjadi perhatian banyak pihak. Terutama calon jamaah haji tahun ini dan tahun-tahun berikutnya.
Demikian juga lembaga-lembaga kemasyarakatan yang peduli dan bersentuhan langsung dengan penyelenggaraan ibadah haji, seperti Ormas Islam dan Yayasan yang mempunyai Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah.
Secara naluriah bahkan emosional, tentu saja semua pihak tersebut sangat keberatan dan jika diminta pendapat pastinya menolak keras. Termasuk kita di jamiyah Persatuan Islam pasti sangat menolak dengan ususlan kenaikan yang memberatkan itu.
Namun demikian, menyikapi rencana kenaikan ONH juga harus ditimbang secara rasional dari banyak aspek terkait, terutama dari aspek hukum syariah sebagai dasar kewajiban dan tuntutan untuk menunaikan ibadah haji.
Apa saja syarat atau kriteria seseorang wajib menunaikan haji menurut dalil Al-Quran dan Hadits? Kemudian juga yang harus ditimbang ulang secara syariah adalah aspek tatakelola atau manajemen penyelenggaraan ibadah haji dan pengelolaan keuangan jamaah haji.
Dari aspek persyaratan, semua ulama Islam sepakat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi, bahwa yang diwajibkan menunaikan ibadah haji itu adalah kaum muslimin dan muslimat yang telah mampu (istithoah).
Baik secara kesehatan fisik dan rohani, kesehatan dan keselamatan diperjalanan dan pada saat pelaksanaan, dan juga pembiayaan baik untuk dirinya maupun keluarga yang ditinggalkannya.
Aspek kesehatan dan keselamatan dalam perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji merupakan salah satu bagian dari kewajiban negara untuk ikut perperan aktif menjaminnya.
Tetapi aspek kemampuan biaya dan keuangan pada asalnya adalah tanggungjawab pribadi setiap orang yang sudah mampu untuk berhaji.
Walaupun secara syariat dibolehkan juga jika seseorang berangkat ibadah haji karena dibiayai oleh pihak lain, selama itu dengan uang dan cara yang halal. Termasuk dibiayai oleh lembaga sewasta maupun pemerintah.
Begitu juga sah-sah saja menunuaikan ibadah haji dengan biaya dari keuntungan bagi hasil usaha dengan pihak lain yang mengelola dana ongkos haji yang ditabungkan atau diinvestasikan terlebih dahulu sebelum keberangkatannya.
Sebagaimana telah sering disampaikan pihak-pihak bertanggungjawab dan yang terkait atas penyelenggaraan dan pengelolaan dana haji, dalam hal ini adalah Kementerian Agama, BPKH, dan DPRRI, dan juga para pengamat independent, bahwa sebenarnya para jamaah haji Indonesia selama bertahun-tahun ke belakang membayar ongkos ibadah haji di bawah dari standar biaya sebenarnya yang seharusnya dikeluarkan.
Dengan kata lain bahwa jamaah haji Indonesia selama ini sebagian besarnya menunaikan ibadah haji dengan “istithoahnya” bantuan dana dari pihak lain, yaitu pembagian laba dari dana tabungan haji yang diinvestasikan oleh lembaga pengelola tabungan, yaitu BPKH.
Sebagai contoh adalah biaya menunaikan ibadah haji pada tahun 1443 Hijriyah atau 2022 yang lalu. Biaya yang dibutuhkan untuk menunaikan ibadah haji adalah Rp 81,7 Juta per jamaah. Tetapi yang dibayarkan oleh jamaah totalnya Rp 39,9 Juta.
Artinya bahwa pemerintah melalui BPKH membayarkan 41,8 Juta Rupiah perjamaah untuk melengkapi kebutuhan biaya oprasional penyenggaraan haji secara utuh.
Jadi perbandingan tanggungannya adalah 49 persen biaya ditanggung langsung oleh calon jamaah haji, dan 51 persennya ditanggung BPKH yang diberikan kepada setiap jamaah sebagai bagi hasil dari investasi dan pengelolaan ONH yang ditabungkan bertahun-tahun.
Cara seperti ini dirasa sangat meringankan dan menguntungkan kepada dua belah pihak. Para jamaah sangat diuntungkan karena dana tabungan ONH nya sebesar Rp 25 juta dikelola oleh BPKH dan memberi keuntungan Rp 41,8 juta.
Padahal jika dikelola dan dimodalkan sendiri belum tentu semua jamaah memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan sebesar itu, dan juga sebaliknya mungkin juga ada jamaah lain yang bisa mengelola dan mendapat keuntungan jauh lebih besar dari itu.
Di sisi lain, pemerintah juga sangat terbantu dengan adanya tabungan ONH para calon jamaah haji yang menyimpan dana tabungan hajinya berbelas hingga berpuluh tahun.
Sehingga melalui BPKH sesuai dengan peraturan perundangan dapat diinvestasikan kepada proyek-proyek pemerintah maupun swasta yang membutuhkan permodalan besar dan investasi yang aman.
Dari aspek inilah sebenarnya muncul masalah penting bukan hanya soal turun-naiknya ongkos ibadah haji semata, tetapi juga menyangkut aspek syariah dan keadilan dalam tata kelola dana tabungan ONH terebut.
Dari aspek syariahnya yaitu bahwa apakah sesuai dengan konsep syariah pembagian hasil keuntungan atau nilai manfaat dari investasi dan pengelolaan dana ONH ditetapkan secara baku setiap tahun adalah kurang lebih Rp 41,8 juta perjamaah, sementara keuntungan usaha itu setiap tahun tentu tidaklah bisa terus menerus sama dan konstan.
Apakah perhitungan pembagian nilai manfaat kepada semua jamaah itu berdasarkan bagi keuntungan dari hitungan tabungan ONH masing-masing jamaah, ataukah berdasarkan persentase bagi hasil dari keuntungan secara general dari dana tabungan ONH secara keseluruhan? Dalam hal ini tentu berkaitan aspek syariah dan keadilannya.
Kita mengetahui bahwa masing-masing wilayah di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia memiliki masa tunggu atau antrean yang berbeda-beda. Dari yang menunggu di bawah sepuluh tahun hingga lebih dari lima belas tahun.
Jika pemberian nilai manfaat atau bagi hasil dari ivestasi itu berdasar nilai tabungan masing-masing jamaah, tentu saja jumlah nominal nilai bagi hasilnya harusnya berbeda-beda pula.
Bisa ada yang kurang dari yang seharusnya dibayar, sebaliknya bisa juga ada yang keuntungannya sudah lebih dari jumlah yang harus dibayar. Maka jika dibayarkan kepada masing-masing jamaah dengan cara bagi rata, tentu saja bertentangan dengan prinsip keadilan yang diperintahkan oleh syariat, kecuali jika masing-masing pihak sudah melakukan perjajian secara sadar dan paham atas kemauan sendiri.
Atas dasar itu, maka untuk terpenuhinya prinsip syariah secara benar tentang batasan syarat istithoah dalam aspek kemampuan keuangan atau pembiayaan ibadah haji para calon jamaah, perlu ditetapkan besaran yang pastinya, kemudian disosialisasikan dan dipahamkan kepada semua calon jamaah.
Kemudian berapa dana yang telah ditabungkan masing-masing jamaah, berapa bagi keuntungan masing-masing jamaah tersebut sesuai dengan lama masa tunggu masing-masing. Apakah dari dua komponen itu sudah memenuhi jumlah biaya haji yang dibutuhkan atau belum?
Jika hal ini tidak dilakukan maka akan terjadi menyelisihi prinsip akad syariah dan keadilan. Bisa jadi hak individu atau kelompok jamaah yang dipakai oleh individu atau kelompok jamaah yang lain tanpa ada akad penghalalan.
Bahkan bisa terjadi bahwa nilai manfaat dan bagi laba yang dipakai menyubsidi jamaah yang berangkat itu diambil dari jatah manfaat bahkan mungkin saja diambil dari dana tabungan para jamaah yang belum berangkat dikarenakan terjadinya penurunan keuntungan pengelolaan dan hasil investasi yang minim.
Sehingga ketika para jamaah yang sudah menunggu lama itu tiba giliran keberangkatannya, sementara dana manfaat dan bagi keuntungan pengelolaan tabungan mereka sudah menyusut bahkan tidak ada karena terpakai oleh para jamaah yang sudah berangkat tahun-tahun sebelumnya, maka mereka harus membayar penuh atau lebih besar dari persentase biaya jamaah sebelumnya, dan disitulah terjadi keributan karena ketidak adilan distribusi bagi laba dan nilai kemanfaatan.
Berangkat dari paparan sederhana di atas, bisa dipahami bahwa masalah utamanya bukan terletak pada setuju dan tidak setuju, menerima atau menolak kenaikan ongkos ibadah haji, tetapi pemerintah harus bertanggungjawab dan menjelaskan secara transparan mengapa hal ini bisa terjadi?
Mengapa komposisi ongkos ibadah haji pada tahun-tahun sebelumnya bisa 49 % dibayar jamaah dan 51 % dibayar pemerintah dari bagi laba dan nilai manfaatnya.
Sementara pada tahun ini jamaah harus menanggung 70 % dan pemerintah hanya siap menanggung 30 % nya. Apakah ada kesalahan tatakelola, kesalahan perhitungan, atau aspek lainnya.
Jika kemudian pada tahun 2023 ini banyak jamaah yang mengundurkan diri akibat tidak mampu melunasi biaya ONH yang 70 %, maka sebenarnya pada tahun-tahun sebeumnya pemerintah telah berbuat tidak adil dengan memberangkatkan banyak jamaah yang sebenarnya belum mampu tetapi hanya mampu 49 persennya.
Berarti orang-orang yang benar-benar mampu pada tahun itu menjadi terhalang karena sistem antrian dengan adanya tabungan ONH meskipun mereka belum seratus persen mampu untuk haji.
Jadi jika kemudian dari bagi laba hasil pengelolaan dana ONH yang ditabungkan para calon jamaah haji yang berpuluh tahun daftar tunggunya itu tidak bisa lagi menjamin mampu menyubsidi para jamaah secara adil dan merata setiap tahun, maka sistem tabungan haji dengan daftar tunggu itu lebih baik dipertimbangkan untuk distop, karena sudah tidak ada lagi jaminan manfaat material yang akan didapat para calon jamaah. Sementara uang mereka ditumpuk di Bank.
Biarlah para jamaah mengelola dana mereka masing masing untuk dikelola dan dipakai usaha mereka, kemudian nanti mendaftar sesuai dengan istithoahnya pada saat dibuka pendaftarannya setiap tahun.
Daripada uang tabungan haji mereka khawatir terpakai untuk menyubsidi kekurangan biaya para jamaah lain yang berangkat lebih duluan tanpa ada akad kerelaan di antara mereka.
Wallahu A’lam bishawab!
[]
Editor: Fia Afifah
Foto: BBC News Indonesia