5 Penyebab Fenomena Umat Islam Terus Menjadi Korban di Indonesia

oleh Reporter

16 Juli 2016 | 09:47

Bandung - persis.or.id, Kita beberapa minggu ini melihat fenomena sosial dimana umat yang mayoritas menjadi korban di negaranya sendiri. Sebut saja, kasus ambon, poso, dan yang terbaru kampung Luar Batang serta kasus Bitung. Mengapa sampai bisa terjadi fenomena semacam ini? Atip Latipulhayat, SH., L.LM., P.hD sebagai ahli, menyoroti fenomena tersebut. Beliau menyebutkan setidaknya ada 5 penyebab mengapa umat Islam menjadi korban di negara Indonesia saat ini. Pertama, Secara internal. "Umat Islam memiliki pemahaman dan penyikapan yang berbeda terhadap masalah ini", Atip mengawali. Ada kelompok umat Islam yang justru beranggapan bahwa sebagai umat mayoritas, umat Islam harus bertoleransi terhadap kaum minoritas, meskipun faktanya umat Islam terdzalimi. Kelompok ini mungkin punya agenda politik tertentu dengan harapan mendapat dukungan politik dari kaum minoritas. Pemahaman kelompok pertama ini yang kemudian dieksploitasi dan dipolitisasi oleh kelompok liberal Islam. Disisi lain, kelompok umat Islam yang berpendapat bahwa telah terjadi kekeliruan pemahaman dan pemaknaan toleransi yang cenderung dimaknai sebagai “tasyabuh” pencampuradukkan keyakinan yang dilarang menurut ajaran Islam. Kedua, Ada politisasi pemaknaan toleransi yang secara masif dilakukan oleh media sekuler-liberal yang menggiring opini bahwa toleransi itu hanya diperuntukkan untuk kaum mayoritas dalam hal ini adalah umat Islam. "Ujung-ujungnya membentuk opini bahwa umat mayoritas sebagai pihak yang intoleran manakala terjadi gesekan dalam relasi kehidupan beragama", Atip menimpali. Ketiga, Manipulasi makna kebebasan beragama sebagai kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah, padahal merupakan dua hal yang berbeda. Mendirikan tempat beribadah tunduk kepada aturan-aturan yang ditetapkan. "Sering terjadi, pelanggaran ijin pendirian tempat ibadah oleh kelompok agama tertentu yang kemudian diprotes oleh pemeluk agama lainnya dianggap sebagai hambatan terhadap kebebasan beragama", Atip melanjutkan. Keempat, Manipulasi pemaknaan HAM yang dimaknai sebagai perlindungan terhadap hak-hak minoritas. "Pemahaman ini sangat keliru, karena HAM sesungguhnya dibuat untuk melindungi hak-hak manusia, bukan hanya melindungi hak minoritas", tegas Atip. Kelima, Rezim sekarang tampaknya cenderung liberal-sekuler yang menyeret urusan agama hanya sebagai urusan pribadi. Atip pun memberikan gambaran bagaimanya seyogyanya kita harus bersikap. Beliau menitikberatkan keharusan menjelaskan kepada umat secara masif dan berkelanjutan makna toleransi yang benar dan harus melakukan gerakan pengarusutamaan (mainstreaming) toleransi yang benar menurut Alqur’an. Bukan hanya itu, kitapun harus melakukan penyebarluasan (diseminasi) informasi soal kehidupan beragama di Indonesia kepada media-media internasional agar mereka mendapatkan informasi yang berimbang. Atip pun mewanti-wanti tentang potensi yang akan terjadi ketika umat  Islam terus menjadi korban rezim pemerintah. "Sangat berdampak kepada stabilitas politik, sebab akan melahirkan pandangan dan perasaan perlakuan yang tidak adil padahal fakta umat Islam adalah mayoritas di Indonesia", Atip menuturkan.  Wajah sebenarnya dari Indonesia ada pada umat Islam. Jika pemerintah tidak menangani persoalan ini secara adil dan proporsional, maka akan memicu pihak-pihak yang kurang sabar untuk melakukan tindakan yang tidak proprosional pula. (HL & TG)
Reporter: Reporter Editor: admin