Islam mempunyai konsep yang jelas tentang kepemimpinan. Setiap pemimpin mempunyai hak dan kewajiban, demikian pula dengan yang dipimpin juga sama punya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin saling berkaitan. Hak bagi pemimpin menjad kewajiban yang dipimpi.
Sebaliknya, hak bagi yang dipimpin menjadi kewajiban bagi pemimpin. Dalam konteks inilah, umar bin khattab pernah berkata dalam sambutannya ketika diangkat menjadi khalifah 'orang yang paling lemah diantara kalian (rakyat) adalah yang paling kuat dihadapanku.
Orang yang paling kuat diantara kalian adalah yang paling lemah dihadapanku. Pernyataan umar tersebut untuk menggambarkan, semakin lemah yang dipimpin sebenarnya semakin kuat posisinya untuk mendapatkan perhatian dan keadilan dari pemimpin. Pemimpin harus memberikan kepedulian dan perhatian yang ekstra kepadanya karena kelemaha mereka adalah tanggungjawab pemimpin. Sementara orang yang kuat, mapan secara finansial, secara sosial dan politik, hakikatnya meringankan beban pemimpin untuk lebih memperhatikannya.
Hubungan antara kewajiban dan hak pemimpin dan yang dipimpin digambarkan al-Quran dalam dua ayat berurutan. Qs. Al-Nisa; 58 dan 59. Alloh swt berfirman;
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam pandangan ibn taimiyah seperti dinyatakan dalam kitabnya, siyasah syariyyah, ayat pertama diatas adalah perintah Allah terhadap pemimpin. Kewajiban pemimpin adalah menyampaikan amanah kepada ahlinya. Kemudian menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Penegakkan hukum ini tidak hanya diperuntukkan kaum muslim saja atau kepada non muslim saja. Tetapi berlaku kepada seluruh umat manusia, tidak melihat suku, ras, agama dan kedekatan.
Surah An-Nisa :135
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Konsepsi keadilan seperti itu terlihat dalam ayat lainnya yang secara tegas Allah tekankan bahwa keadilan harus ditegakkan, jangan sampai kebencian terhadap orang lain membuat kita tidak berbuat adil.
Surah Al-Maeda : 8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّ
ا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Maka pemimpin dalam islam bukanlah raja yang bisa seenaknya berbuat apa saja kepada rakyatnya. Namun, pemimpin adalah pelayan rakyat. Dia menjalankan apa yang seharusnya didapatkan oleh rakyatnya. Mewujudkan apa yang diperlukan rakyatnya. Semakin lemah rakyat, semakin kuat posisinya untuk dilayani oleh pemimpin. Itulah yang disebut dengan menunaikan amanah kepada ahlinya.
Amanah tersebut konsisten dan saling berkaitan dengan konsepsi keadilan. Karena dalam islam, adil bukanlah diukur dari segi kuantitas. Namun yang dijadikan ukurannya adalah kebenaran dan compatible (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Dua hal inilah yang digambarkan dalam al-quran sebagai tugas pokok pemimpin terhadap rakyatnya.
Adapun kewajiban rakyat (yang dipimpin) adalah imamah-imaroh (taat) kepada pemimpinnya. Inilah makna dari ayat setelah kewajiban pemimpin dalam al-nisa; 58 diatas. Tugas rakyat adalah taat kepada Allah dan rasulNya plus kepada ulil amri (pemerintah). Namun demikian, ada yang menarik dari perintah taat kepada Allah dan rasulNya yang kemudian disusul dengan perintah taat kepada ulil amri (pemimpin).
Mengapa kata-kata taat itu hanya dipakai kepada Allah dan rasulNya saja, tapi kepada pemimpin hanya menggunakan wau ataf (kata sambung dan). Ada hikmah besar dari itu semua. Jika taat kepada Allah dan rasulNya mutlak, tidak ada syaratnya, maka ketaatan terhadap pemimpin tidaklah mutlak, ada syaratnya. Ketaatan terhadap pemimpin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Maka kepemimpinan dalam islam unik sekaligus rasional.
Hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin seperti yang dijelaskan diatas digunakan oleh sebagian ahli politik islam untuk membangun konsep revolusi. Revolusi disini dimaknai sebagai menggulingkan pemimpin yang dianggap sudah tidak lagi amanah dan adil sehingga tidak ada kewajiban untuk mena'atinya. Dalam bahasa politik islam, melepaskan baiat (kontrak politik untuk memberi dan menerima; memberi ketaatan kepada pemimpin, menerima amanah dan keadilan dari pemimpin). Konsep revolusi dalam artian mengganti pemimpin ini dasarnya sebenarnya jelas apabila kemudian pemimpin sudah melanggar syari'at.
Dalam sejarahnya, Pelanggaran syariat telah membawa perselisihan yang panjang pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan Muawiyah dan Aisyah radiyallohu anhuma pada saat itu, Ali bin Abi Thalib tidak akan diakui kepemimpinannya selama tidak melaksanakan huku hudud, dalam hal ini hukuman qishas terhadap pembunuh Utsman bin Affan yang diduga dilakukan oleh Muhammad bin Abi Bakrah.
Namun yang terjadi, Ali bin Ali Thalib justru mengangkat Muhammad bin Abi Bakrah sebagai gubernur. Ali radiyallohu anhutentu mempunyai alasan mengapa tidak menghukum Muhammad bin Abi Bakrah. Bagi Ali setidaknya ada dua alasan mengapa tidak menghukumnya seperti yang diinginkan Muawiyah dan Aisyah radiyallohu anhuma. Pertama, Bagaimana Ali radiyallohu anhu akan menghukumnya dan memenuhi tuntutan Muawiyah dan Aisyah radiyallohu anjuran sementara mereka berdua tidak mau berbaiat mengakui kepemimpinannya. Kedua, yang berada pada tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan Utsman sangat banyak.
Muhammad bin Abi Bakar memang sempat berselisih sebelum terjadi pembunuhan, namun ketika utsman terbunuh, dia tidak ada ditempatnya. Bahkan nailah, istri dari Utsman bin Affan radiyallohu anhu bersaksi bahwa memang dia melihat Muhammad bin Abi Bakar, tapi dia tidak melihat betul apakah dia yang membunuh Utsman bin Affan radiyallohu anhu. Karenanya, Ali radiyallohu anhu berijtihad dengan menyandarkan pada hadits idrau al-hudud bi al-syubuhat (tinggalkanlah hudud apabila tidak jelas pelakunya).
Sementara bagi Muawiyah dan Aisyah tidak mengakui kepemimpinan Ali karena beberapa alasan; pertama, Ali radiyallohu anhu tidak menjalankan syariat karena tidak melakukan qishas kepada pembunuh Utsman radiyallohu anhu. Ali bahkan mengangkat Muhammad bin Abi Bakar malah diangkat jadi gubernur. Tentu saja bagi Muawiyah dan aisyah radiyallohu anhuma apa yang dilakukan Ali radiyallohu anhu telah mencederai keadilan. Ali radiyallohu anhu tidak pantas untuk dijadikan sebagai pemimpin.
Perbedaan pandangan keagamaan tersebut menyulut perselisihan yang tajam. Bagi Muawiyah, pemimpin yang telah melanggar atau tidak menlankan syariat bisa diberhentikan. Sementara bagi Ali radiyallohu anhu, kelompok yang melawan pemerintah yang sah adalah bughat karenanya bisa diperangi. (lihat qs. Al-hujurat;9). Namun demikian, perselisihan mereka hanya pada tataran ijtihad, tidak sampai pada persoalan akidah. Karenanya, tidak ada urusan ghonimah saat selesai konflik, tidak ada tuduhan kafir.
Mereka hanya berijtihad dalam menegakkan syariah. Jika dibaca pada beberapa kitab sejarah seperti thabaqat ibn sa'ad, kelompok yang bertikai hanya ketika di medan atau lapangan saja, setelah selesai dilapangan mereka semua menjalankan roda kehidupan seperti biasa. Saling bercengkrama, saling bercanda, saling tolong menolong. Tidak ada takfir (pengkafiran), saling mencela dan sejenisnya.
Artinya, mereka hanya berbeda dalam persoalan ijtihad kepemimpinan, mereka terikat dengan baiat yang telah diberikan kepada para pemimpinnya.
Konflik menjadi meruncing kepada peperangan yang sudah membawa pada pengkafiran setelah Ali radiyallohu anhu menerima kepemimpinan Muawiyah dan tidak mau berperang kembali terhadap Muawiyah. Kelompok yang disebut khawarij sudah mulai membawa persoalan kepemimpinan kepada akidah, yang tidak sependirian dengan nya adalah kafir.
Ali dan Muawiyah radiyallohu anhuma disebut kafir karena telah berhukum (bertahkim) tidak dengan hukum Allah. Padahal, tahkim melalui delegasi masing-masing kelompok secara tersirat ada dalilnya. Diantara dalil tersebut adalah qs. Al-Nisa ; 35
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Meskipun ayat tersebut membicarakan tentang tahkim dalam urusan keluarga, apabila terjadi perselisihan diantara suami istri, maka al-quran memerintahkan agar diutus delegasi dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Bila urusan keluarga saja Allah memerintahkan agar ada tahkim dengan mengutus delegasi supaya menyelesaikan perselisihan, apalagi persoalan kepemimpinan negara.
Maka tuduhan takfir terhadap Ali dan Muawiyah radiyallohu anhuma jelas keliru, karena sesungguhnya tahkim yang mereka lakukan ada landasan dalilnya.
Kembali kepada mengganti atau menggulingkan pemimpin negara dalam khazanah politik islam, bukan sesuatu yang baru. Konsepnya jelas. Pemimpin itu tidak mutlak ut dita'ati, ada syaratnya. Ketika syarat tersebut sudah hilang, maka keta'atan tersebut bisa dilepaskan. Bila pemimpin sudah pada titik melanggar syariat, maka menggantinya dibolehkan. Bahkan dalam kondisi tertentu, merebutnya bisa jadi wajib. Yang paling terpenting adalah bagaimana kemudian penggantian pemimpin memberikan kemashlahatan bagi manusia.
Dalam hal ini, jangan sampai mengganti atau menggulingkan pemerintah atau kepemimpinan justru menimbulkan kemadharatan yang lebih besar. Bukannya pemimpin dituntut untuk diganti karena telah merusak syariat, dimana syariat tujuannya adalah kemashlahatan? Maka penggantian pemimpin apabila tidak memberikan kemashlahatan, harus betul-betul dipertimbangkan. Karena sekali lagi, ada syarat yang harus dipenuhi. La darara wala diroro (tidak madharat dan tidak memadharatkan).
***
Penulis:
Nizar Ahmad Saputra, Ketua Umum Hima Persis