Gono gini adalah harta milik bersama suami-istri yang didapat oleh mereka berdua setelah perkawinan. Dalam masyarakat Sunda dikenal dengan nama raja kaya, sedangkan di masyarakat Sumatra dinamakan seguna sekaya.
Jika terjadi perceraian akibat kematian atau talak/khulu’ maka pembagiannya ada yang menggunakan pembagian semua harta bersama dibagi tiga, dengan ketentuan sepertiga buat istri sedangkan dua per tiga buat suami. Adapula pembagiannya dengan dibagi rata antara suami dan istri.
Dalam Islam tidak ada gono gini. Istilah dan hukumnya lebih merupakan hukum adat yang ada di Indonesia dari pada berdasarkan syariat Islam. Adapun berdasarkan fiqh muamalah dibahas dalam bab syirkah.
Jika suami atau istri bercerai atau meninggal maka dalam harta bersama harus diperhitungkan pembagiannya. Adapun harta pribadi, maka tetap menjadi hak milik masing-masing, misalnya harta yang dibawa sebelum menikah, warisan, hibah pribadi dan lainnya.
Adapun asas pembagiannya berdasarkan saham yang telah mereka kumpulkan masing-masing
عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ وَالْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَانَا شَرِيكَيْنِ فَاشْتَرَيَا فِضَّةً بِنَقْدٍ وَنَسِيئَةً فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهُمَا أَنَّ مَا كَانَ بِنَقْدٍ فَأَجِيزُوهُ وَمَا كَانَ بِنَسِيئَةٍ فَرُدُّوهُ
Dari Abi al-Minhal sesungguhnya zaid bin Arqam dan Bara’ bin Azib semoga Allah meridhai mereka, berserikat dalam membeli perak secara tunai dan secara penangguhan sampai waktu tertentu pembayarannya. Hal tersebut sampai kepada Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam, maka beliau memerintahkan keduanya apa yang dibayarkan maka boleh, sedangkan yang ditangguhkan pembayarannya untuk dikembalikan ) H.R. Ahmad, Musnad Ahmad, No. 19307)
{ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ } [النساء: 32]
Bagi laki-laki bagian dari apa yang mereka telah usahakan, dan bagi perempuan juga bagian dari apa yang telah mereka usahakan (a-Nisa’ : 32)
Secara bentuk saham, ada dua macam, pertama saham berbentuk materi. Kedua saham berbentuk jasa. Adapun terkait dengan istri yang tidak bekerja, maka masuk kategori kedua yaitu saham berupa jasa terhadap suami sebagai penghargaan atas jasanya.
Ada dua kemungkinan, pertama jelasnya saham masing-masing dalam bentuk materi sehingga dapat dibagikan sesuai dengan sahamnya. kedua, jika susah untuk dihitung, maka dikembalikan kepada musyawarah dengan perdamaian, kesepakatan saling ridha diantara keduanya, seadil-adilnya tanpa ada yang didzalimi dan dirugikan. Begitu juga dengan saham yang berupa jasa.
وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Ali Imran : 159)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ ». زَادَ أَحْمَدُ « إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً ». وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ».
Dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perjanjian damai diperbolehkan di antara orang-orang Muslim." Ahmad menambahkan, "kecuali perjanjian damai yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal." Sedangkan Sulaiman bin Daud menambahkan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang-orang Muslim terikat di atas syarat-syarat mereka." (H.r. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 3/332)
Adapun bagi istri yang tidak bekerja, maka dari harta suami sebelum dibagikan kepada ahli waris, dipisahkan sebagiannya untuk istri, diluar bagian waris, sebagai jasa bagi pengabdianya kepada suami bukan sebagai saham dalam syirkah secara materi. Ketentuannya berdasarkan musyawarah dan kesepakatan diantara mereka.