Ustadz boleh bertanya apakah persis itu mazhab?
Persatuan Islam disingkat Persis menurut resminya berdiri pada tahun 12 September 1923 dan merupakan Organisasi Masyarakat.
Persatuan Islam terbentuk dengan dimulai oleh suatu kelompok penela’ahan di Bandung. Yang mengkaji, meneliti serta menela’ah ajaran-ajaran Islam yang diterimanya. Sedangkan pada saat itu kaum muslimin di Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat, tahayul, bid’ah dan syirik sebagaimana terdapat di dunia Islam lainya yang diperkuat oleh cengjkraman kamu penjajjah Nashrani belanda melalui penasehatnya, orientalis yang ulung dalam menggariskan politik keagamaan di tanah air.
Sungguh Persatuan Islam terbentuk dan berdiri pada masa itu, tidaklah berdasarkan atas suatu kepentingan para pendirinya atau kebutuhan masyarakat pada masa itu.
Para pendirinya tidak mendapatkan kepentingan diri mereka didalamnya dan tidak pula ada udang dibalik batu, tapi semata mata terpanggil oleh kewajibannya dan tugas risalah dari Allah swt., sebagaimana halnya Rasulullah Saw., berdiri diatas bukit tidaklah berdasarkan kepentinagn beliau sendiri bahkan yang ada sebaliknya, segala kepentingan beliau sendiri menjadi tertutup dan terhambat karenanya bahkan jiwa raganyapun ikut terancam kebencian masyarakat. Dengan bahasa sederhana nya para pendiri PERSIS itu ” Menghidupkan jam’iyyah bukan mencari hidup di jam’iyyah”
Persatuan Islam didirikan karena Ia diperlukan adanya, sebagaimana kedatangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagai pembaharu dan perombak bagi masyarakat jahiliyyah.
Tidak ada seorang anakpun yang membutuhkan lembaga pendidikan, tapi orang dewasa dan sadar itulah menganggap perlu adanya sekolah.
Persatuan Islamberdiri bukan atas dasar kepentingan si pendiri atau kebutuhan anak, tetapi diperlukan untuk menciptakan manusia beradab.
Oleh karena itu, Persatuan Islam lebih merupakan lembaga pendidikan dari pada jamiyyah dalam arti siyasah. Persatuan Islamadalah pesantren sebelum menjadi jamiyyah. Karena itu sifat pesantren tidak akan lepas dan dilepaskan dari Persatuan Islam, sejak dulu, sekarang dan In syaa Allah pada masa-masa yang akan datang.
Persatuan Islam adalah nama jamiyyah bukan sifat jam’iyyah, sebagaimana seorang bapak memberi nama untuk anaknya, merupakan wadah harapan serta cetakan cita-cita, maka nama Persatuan Islam diberikan untuk mengarahkan Ruhul Ijtihad dan Jihad terwujudnya harapan dan cita-cita : Persatuan Pemikiran islam, persatuan rasa Islam, persatuan usaha Islam dan persatuan suara Islam.Nama ini diberikan kepada jamiyyah ini, diilhami oleh firman Allah swt., dalam surat Ali Imran :103.
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا
Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah seluruhnya dan janganlah kamu sekalian bercerai berai. (Q.S Ali-Imran 103).
Serta hadits yang berbunyi :
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
Kekuatan Allah itu beserta jama’ah
Berdasarkan penerangan diatas, maka PERSATUAN ISLAM itu adalah Ormas, danPersatuan Islam itu bermadzhab sebagaimana para imam bermadzhab, yaitu kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun madzhab-madzhab itu hanya sekedar metodologi
Para Ulama madzhab berkata:
Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah berkata:
إِذَا صَحَّ الْحَديثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.” )Ibnu Abidin dalam al-Haasiyah (1/63)
لاَ يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ بِقَولِنَا مَا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ * فإِنَّنَا بَشَرٌ نَقُولُ القَولَ اليّومَ ونَرْجِعُ عَنْهُ غَدًا
“Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’laamu al-Muwaq’iin (hlm. 2/309)
Dalam riwayat lainnya:
حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يُفْتِيَ بِكَلَامِي
“Haram bagi seseorang menggunakan pendapatku untuk memberikan fatwa.”
Imam Malik bin Anas berkata:
إِنَّمَا أَنَا بَشْرٌ، أُخْطِئُ وَأُصِيْبُ، فَانْظُرُوْا فِي رَأْيِيْ؛ فَـكُلُّ مَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَخُذُوْهُ، وَ كُلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sejalan dengan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, maka ambillah. Dan setiap pendapatku yang tidak sejalan (menyelisihi) Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah dia. (Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ Bayanil ‘Ilmi (2/32), Ibnu Hazm dalam Ushuulul al-Ahkam (6/149)لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيَتْرُكُ إِلَّا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan perkataannya bisa diambil dan bisa ditinggalkan, kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ibnu Abdil Barr dalam al-Jaami’ (2/91)
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahulla
فَاْلقَوْلُ مَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَوْلِي.
Maka apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah pendapatku.” Tarikh Damaskus Ibnu Asakir (15/1/3)
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوْا مَا قُلْتُ .وفي رواية فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد .
“Jika kalian mendapatkan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ambilah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkan perkataanku (dalam satu riwayat: ikutilah sunnah dan janganlah menoleh kepada perkataan seseorang).” An-Nawawi dalam al-Majmuu’ (1/63)
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
لاَ تُـقَـلِّـدْنِيْ وَلاَ تُـقَـلِّـدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِيَّ وَلاَ الْأَوْزَاعِيَّ وَلاَ الثَّوْرِيَّ؛ وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا
“Janganlah kalian taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).” (Ibnu Qayyim dalam I’laamul Muwaqi’in (2/302)]
لاَ تُقَلِّدْ دِيْنَكَ أَحَدًا مِنْ هؤُلَاءِ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ فَخُذْ بِهِ ثُمَّ التَّابِعِيْنَ بَعْدَ الرَّجُلِ فِيْهِ مُخَيَّرٌ
“Janganlah taklid kepada siapapun dalam urusan agama, apa saja yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya maka ambilah ia, adapun terhadap orang sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya (tabi’in) seseorang boleh memilih pendapatnya. Abu Dawud dalam Masaa`il al-Imam Ahmad (hlm. 276-277).
Majlis Istifta PERSIS