Dakwah Dulu, Politik Kemudian

oleh Reporter

23 Desember 2018 | 01:58

Ahad lalu, 16 Desember 2018, saya mengikuti kegiatan Madrasah Duat II yang diselenggarakan oleh Bidang Dakwah Pimpinan Pusat Pemuda Persis di Ruang Musyawarah Gedung Pimpinan Pusat Persis, Bandung. Dalam kegiatan tersebut ada beberapa materi yang disampaikan.

Materi pertama mengenai “Pengembangan Dakwah di Era Digital” oleh Ust. Taufik Ginanjar, “Fikih dan Strategi Dakwah Persis” oleh KH. Zae Nandang, dan “Sejarah dan Arah Gerakan Dakwah Persis” oleh Ust. Tiar Anwar Bachtiar.

Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan apa yang saya pahami dari apa yang disampaikan dalam materi ketiga. Cukup lama juga saya tidak menghadiri secara langsung kajian-kajian dan kuliah-kuliah beliau. Selama ini, saya hanya mengikutinya dari rekaman video kajiannya di Youtube.

Di awal pembicaraan, Ust. Tiar langsung menyinggung disertasinya tentang perkembangan liberalisme dalam pemikiran Islam di Indonesia dan respon terhadap pemikiran Islam liberal tersebut. Lalu, beliau menyinggung slogan “Islam Yes, Partai Islam No”-nya Cak Nur pada dekade 1970-an sebagai entry point pembicaraan.

Ust. Tiar menyampaikan bahwa slogan tersebut lahir dalam konteks sejarah ketika umat Islam cenderung mengarusutamakan perjuangan politik praktis dan pada saat yang sama justru mengalami depolitisasi yang sistematis oleh rezim Orde Baru pada waktu itu.

Kecenderungan politik (praktis)-sentris yang terjadi dalam tubuh umat pada masa kolonial masih sangat wajar sebab pada waktu itu, musuh bersama umat Islam adalah entitas politik berupa negara kolonial. Namun kecenderungan ini menjadi tidak wajar ketika umat Islam sudah memasuki situasi baru dalam suasana negara merdeka, khususnya pada rezim Orde Baru.

Sebab pada kenyatannya, kran perjuangan politik umat Islam pada waktu itu disumbat, misalnya dengan ditolaknya usulan rehabilitasi Masyumi. Ujungnya, M. Natsir kemudian berujar,”Politik kita, tergantung dakwah kita”. Pernyataan inilah yang kemudian membingkai pembicaraan Ust. Tiar selanjutnya.

Rasa-rasanya, slogan Cak Nur “Islam Yes, Partai Islam No” dan quote Natsir “Politik kita tergantung dakwah kita” memiliki arah yang sama. Melalui slogan itu, Cak Nur ingin memberikan kritik terhadap orientasi dakwah Islam di Indonesia yang politik (praktis) – sentris sehingga umat Islam melupakan sektor perjuangan lainnya; perekonomian direbut China, pendidikan tertinggal jauh dari kelompok Kristen—yang sudah sejak dulu menyadari kondisi minoritas di arena politik sehingga fokus memperkuat sektor pendidikan.

Begitu juga dengan quote Natsir. Melalui quote tersebut Natsir ingin merubah orientasi perjuangan umat Islam; dari pencapaian-pencapaian politik praktis ke pendidikan dan kaderisasi, khususnya melalui institusi Dewan Dakwah.

Itulah lanskap sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia yang setidaknya akan terus berlangsung hingga rezim Orde Baru runtuh. Namun, apakah situasinya berubah pasca Soeharto lengser? Rasa-rasanya sama saja. Sebab reformasi memberikan euforia kebebasan berpolitik bagi seluruh warga negara. Partai-partai banyak didirikan. Seingat saya, waktu tahun 1998, ketika saya masih kelas 2 SD, jumlah partai itu 48 (CMIIW).

Sekarang juga tidak jauh beda. Semua orang bisa menjadi caleg, bahkan dilamar untuk menjadi caleg. Akibatnya, sindrom politik (praktis)-sentris kembali muncul. Ust. Tiar menyayangkan situasi ini. Sebab situasi ini pernah dialami Persis ketika masa pasca-kemerdekaan, ketika para tokoh Persis sibuk dengan berbagai aktifitas politik dan perjuangan militer.

Saat itu, Pendis bubar, majalah berhenti terbit. Padahal dua hal inilah yang menjadi core program Persis pada waktu itu. Sehingga Ust. Tiar menyebutkan bahwa sejarah paling kelam yang dialami Persis adalah pasca-kemerdekaan Indonesia, maksudnya masa revolusi. Jadi politik-praktis punya potensi dan pernah menjadi ‘sosok’ yang berhasil membuat Persis lupa pada hakikat utama perjuangan dakwahnya.

Apa itu hakikat perjuangan dakwah? Ust. Tiar menjawab secara lugas; yaitu untuk mengokohkan peradaban Islam secara utuh di semua sektor kehidupan, bukan cuma politik. Bahkan politik berpotensi menghabiskan energi dakwah, dan politisi adalah kelompok orang yang tidak begitu serius mengurusi peradaban. Dalam konteks pengembangan wilayah dakwah Persis, apakah jaringan politik sudah secara efektif berkontribusi? Kenyataannya jaringan alumni Pesantren Persis-lah yang secara efektif dapat mengembangkan dakwah Persis ke berbagai daerah.

Lalu ada satu sindrom yang lebih berbahaya lagi, yaitu persepsi bahwa “karir tertinggi dakwah adalah menjadi politisi, lalu menduduki jabatan tertentu”. Lima hingga sepuluh tahun jadi muballigh ke sana ke mari, lalu dua perioder terpilih jadi anggota legislatif, dua periode jadi menteri, dan seterusnya.

Bahayanya dimana? Seingat saya Ust. Tiar tidak mengelaborasinya lebih dalam. Namun, setidaknya dalam situasi demokrasi liberal saat ini, dorongan dan tarikan pragmatisme sangat kuat terjadi. Dalam bahasa beliau,”Beunghar acan, butuh modal kampanye iya”. Akhirnya, kita membutuhkan sumber-sumber keuangan yang instan dan tentu saja traksasional.

Akhirnya, Ust. Tiar sampai pada what should we do dalam situasi tersebut. Beliau menyampaikan agar Pemuda Persis mengenali posisinya dalam gerakan dakwah Islam. Kenali kelemahan-kelemahan umat Islam, misalnya sektor ekonomi.

Lalu, kader-kader Pemuda Persis harus menjadi solusi bagi persoalan umat di sekitarnya. Pemuda Persis juga harus mewaspadai pelemahan ideologi gerakan, sebab jika ideologi melemah, maka pragmatisme akan menguat. Orang berPersis, khawatirnya, jika Persis memberikan insentif material bagi dirinya. Ukuran idealisme kader Pemuda Persis yang terjun ke politik itu; apakah dia mampu mewarnai, bukan terwarnai.

Lalu ada satu peserta yang bertanya; mengapa Natsir, bagi kalangan eksternal Persis, tidak identik dengan Persis? Ust. Tiar menjawab, itulah salahnya Persis, yang membangun ideologi dan identitas gerakannya dari fikih, bukan sejarah. Sehingga Natsir lebih identik dengan Dewan Dakwah, misalnya. Sebab Dewan Dakwah secara konsisten menggunakan sejarah sebagai pembentukan identitas ideologisnya. (*)

 

 

 

 

***

Penulis:
Imam Sopyan (PC Persis Bekasi Selatan)

Reporter: Reporter Editor: admin