Dakwah Persatuan Islam di Sapeken tidak bisa dilepaskan dari sosok Ustadz H. ad-Dailami Abu Hurairah yang merupakan alumni Pesantren Persis Bangil. Maka dari itu seiya sekata, seluruh warga Sapeken memanggil beliau dengan panggilan “Pimpinan”. Jika mereka mengatakan: “Berdasarkan arahan Pimpinan”, “atas petunjuk Pimpinan”, “kami akan konsultasi dulu dengan Pimpinan”, “sepatah kata dari Pimpinan”, maka yang dimaksud “Pimpinan” itu bukan Pimpinan Cabang atau Pimpinan Daerah, melainkan beliau itu sendiri, Ustadz H. Ad-Dailami atau dipanggil mudahnya Ustadz Dailami.
Berdasarkan dialog penulis dengan beberapa staf Pemuda Persis Sapeken, dakwah Islam di kepulauan Sapeken itu sendiri perintisnya adalah Ustadz Abu Hurairah, ayahanda Ustadz Dailami, dan beberapa koleganya yang masih memiliki hubungan kerabat, sejak sebelum masa kemerdekaan. Merekalah penghuni pertama kepulauan ini. Mereka jugalah yang membangun di pulau ini, mengelolanya, dan membina keluarga juga warga lainnya yang berdatangan ke pulau tersebut, demikian juga pulau-pulau lainnya di sekitar Sapeken. Hanya dakwah yang dijalankan oleh Ustadz Abu Hurairah belum murni bernafaskan al-Qur`an dan sunnah, sebagaimana dakwah Persis. Dakwah Islam yang dijalankan masih dakwah Islam tradisional pada umumnya masyarakat muslim Bajo, sehingga masih ada unsur-unsur bid’ah dan syiriknya. Baru kemudian selepas Ustadz Dailami lulus dari Pesantren Persis Bangil, beliau memurnikan dakwah yang sudah dirintis oleh ayahandanya dan beberapa koleganya menjadi murni berdasarkan al-Qur`an dan sunnah sebagaiamana dakwah Persis pada umumnya. Usaha beliau tidak langsung berhasil, sempat mengalami penolakan kecil dari guru-guru lainnya juga murid-murid mereka. Akan tetapi ketokohan Ustadz Abu Hurairah yang juga menitis kepada Ustadz Dailami menjadikan penolakan itu tidak terlalu berarti. Kebanyakan dari mereka kemudian mengikuti dakwah Ustadz Dailami.
Meski kemudian di pulau Sapeken tidak bisa “di-Persis-kan” semuanya, dan masih ada satu masjid yang nahdliyyin—sementara lima masjid lainnya, sepengetahuan penulis, adalah masjid binaan Persis—tetapi hubungan di antara warga Persis dan warga nahdliyyin berjalan harmonis. Ustadz Dailami tetap dijadikan tokoh utama dan bahkan sering diundang juga ke tempat-tempat warga nahdliyyin. Itu semua karena terikat oleh tali kekeluargaan dan kekerabatan, juga ketokohan dari Ustadz Dailami dan ayahandanya, Ustadz Abu Hurairah, di kalangan warga Sapeken pada umumnya. Sebagai salah satu contohnya, pada hari Rabu sore (9/5/2018), Ustadz Dailami berangkat ke satu pulau lain untuk mengisi tabligh akbar di satu pesantren. Pesantren tersebut, menurut beberapa tokoh senior Pemuda Persis, sebenarnya pesantren nahdliyyin, tetapi pengasuhnya masih ada ikatan keluarga dengan Ustadz Dailami. Karena Ustadz Dailami yang “dituakan” oleh mereka, maka beliaulah yang diundang oleh mereka untuk melepas santri-santri yang diwisuda di pesantren bersangkutan.
Ketokohan Ustadz Dailami tersebut menjadikan dakwah Persis di Sapeken menjadi tersentral kepada beliau. Pada masa kepemimpinan Ustadz Shiddiq Amien, sudah pernah dibentuk PC. Persis Sapeken, tetapi sampai penulis datang ke sana perannya nyaris tidak terlihat. PC. Persistri dan Pemudi Persis Sapeken juga sudah dibentuk, kegiatannya baru sebatas pengajian-pengajian di kalangan ibu-ibu dan pemudi saja. Sementara PC. Pemuda Persis baru dibentuk akhir 2017, itu pun atas prakarsa Ustadz Dian Herdiana dan pemuda-pemuda Sapeken binaannya yang memang banyak mesantren di pesantren yang dikelolanya, yakni as-Sakinah, di Padasuka, Bandung timur. Meski sebenarnya dorongan dari Ustadz Dailami sudah dari sejak awal. Beliau dalam beberapa acara Pemuda Persis selama tiga hari itu sering menekankan bahwa dimana ada Persis, maka harus ada Pemuda Persis. Ustadz Dailami betul-betul menaruh harapan besar kepada para pemuda ini, sebab di tangan merekalah masa depan dakwah Persis Sapeken berada. Penyebab PC. Pemuda Persis itu sendiri baru dibentuk resmi karena memang santri-santri binaan Ustadz Dailami di Pesantren Abu Hurairah pada umumnya berdakwah merantau ke luar pulau bahkan ke seluruh penjuru Nusantara. Yang tinggal di Sapeken pada umumnya bukan alumni-alumni Pesantren. Mereka rata-rata lulusan sekolah umum yang menetap di Sapeken tetapi mulai haus dengan ilmu-ilmu dan aktivitas-aktivtas keislaman.
Dalam surat-surat edaran yang penulis baca di papan-papan pengumuman di Masjid Agung Abu Hurairah, al-Mujahadah dan as-Sakinah, diketahui bahwa surat-surat yang berisi tentang jadwal waktu shalat, jadwal kegiatan Ramadlan, jadwal Jum’at, perihal penghimpunan zakat, dan sebagainya ditandatangani langsung oleh Ustadz Dailami sebagai Imam Masjid Agung dan Pimpinan Pesantren Abu Hurairah. Bahkan untuk konteks adzan saja, di masjid al-Mujahadah itu menunggu adzan di masjid Agung dahulu berkumandang. Ketika penulis konfirmasi sudah masuk waktu shalat, imam masjidnya mengatakan, menunggu adzan di masjid Agung dahulu.
Jadi karena memang sejak awal pola dakwah Persis di Sapeken tersentral kepada Ustadz Dailami, pergerakan kejam’iyyahan di Sapeken pun masih berlaku secara tradisional dengan seorang ulama yang menjadi titik sentralnya. Dalam hal ini adalah Ustadz Dailami sebagai Imam Masjid Agung dan Pimpinan Pesantren Abu Hurairah. Maka sangat bisa dimaklumi jika kemudian dakwah berbasis organisasi modern seperti Persis di Bandung tidak berjalan. Baik PC. Persis, PC. Persistri, dan PC. Pemuda Persis, kegiatannya hanya mengikuti kegiatan dakwah yang sudah dibakukan oleh Pimpinan yaitu Ustadz Dailami. Penulis secara pribadi tidak melihat ini sebagai sebuah kekurangan, melainkan justru sebuah keunggulan akibat dari ketokohan Ustadz Dailami di Sapeken. Bahkan selama Ustadz Dailami masih bisa memimpin, sebaiknya pola dakwah di Sapeken tetap saja seperti ini, karena memang cocoknya seperti ini. Hanya hemat penulis, pola dakwah seperti ini akan menjadi terasa kekurangan ketika Ustadz Dailami tidak lagi memimpin. Dalam hal ini segenap pengurus PC. Persis, Persistri, Pemuda, dan Pemudi Persis harus siap mengantisipasi peralihan pola dakwah tradisional menjadi modern yang berbasis pada organisasi. Terkecuali jika warga di Sapeken kelak berhasil menemukan sosok pengganti Ustadz Dailami yang ketokohannya setara dengan beliau. Maka pola dakwah yang tradisional sebagaimana berlangsung saat ini masih bisa dipertahankan.
Ketokohan yang menonjol dari Ustadz Dailami, sepengamatan penulis selama tiga hari, adalah dalam hal kemampuan orasi dan ceramahnya. Meski usia beliau sudah 67 tahun, tetapi di setiap selesai shalat lima waktu, di Masjid Agung, beliau selalu mengisi dahulu ceramah untuk para jama’ah. Ceramahnya bukan lagi kultum, karena minimalnya beliau berceramah selama 30 menit. Jama’ah yang hadir rata-rata sebanyak lima shaf dengan satu shaf + 30 orang. Kalaupun penulis atau Ustadz Eka di selepas shubuh dan ‘isya dijadwalkan mengisi kuliah, tetap saja beliau mengisi pengantar atau penutup selama + 30 menit. Dalam mengisi sambutan acara Bedah Buku, Daurah Pemuda, Pembai’atan Anggota, dan Pengajian Akbar pun demikian, beliau selalu mengisinya dengan ceramah + 30 menit. Menurut beliau sendiri itu masih terlalu pendek, karena pada Rabu malam ketika beliau mengisi tabligh akbar di sebuah pesantren di luar pulau Sapeken, beliau berceramah sampai 3 jam, sampai jam 01.00 malam.
Hal lain yang menjadikan beliau disegani adalah ketegasannya. Bagi penulis sendiri yang beretnis Sunda, beliau terkesan “galak”. Tetapi menurut orang Sapeken sendiri yang rata-rata beretnis Bajo dan Bugis, itu tidak termasuk galak. Beliau berani menegur langsung Pemuda yang molor datang ke acara, atau jama’ah yang ketahuan pulang lebih awal sebelum beliau selesai ceramah. Demikian halnya beliau berani memarahi santri-santrinya di hadapan penulis sendiri karena abai dari tugas menyapu masjid dan halamannya di setiap sebelum waktu shalat. Kesan tegas itu terasa juga dalam setiap ceramah beliau di berbagai kesempatannya.
Satu hal lain yang membuat penulis terkesan dari dakwah Ustadz Dailami di Sapeken adalah kepeloporan beliau dalam mengajarkan dan meneladankan sunnah. Setiba di Sapeken Senin maghrib, penulis disuguhi pemandangan makanan takjil untuk berbuka shaum yang dijajarkan di shaf pertama dan kedua Masjid Agung. Jama’ah Sapeken dan santri pun kemudian menyantapnya secara berjama’ah sebelum adzan dikumandangkan, sebab adzannya diakhirkan. Setibanya waktu adzan, muadzdzin mengumumkan melalui pengeras suara bahwa waktu berbuka sudah tiba, tetapi tidak dulu mengumandangkan adzan. Baru sekitar 10 menit kemudian, selepas takjil selesai, adzan maghrib dikumandangkan. Semula penulis mengira itu untuk hari Senin saja terkait shaum Senin. Tetapi ternyata pada hari Selasa dan Rabu pun takjil berjama’ah itu juga ada. Shaumnya ternyata bukan hanya shaum Senin, melainkan shaum Sya’ban. Sebuah sunnah mu’tabar yang diajarkan Nabi saw dalam hadits-hadits shahih tetapi belum mentradisi di jama’ah Persis manapun—sepengetahuan penulis—selain di Sapeken ini. Jama’ah Sapeken yang penulis tanya memang membenarkan bahwa Pimpinan sendiri yang menghimbau jama’ah untuk mengamalkan shaum Sya’ban dan beliau sendiri meneledankannya, sekaligus mengkoordinir takjil untuk berbuka shaum Sya’ban. Tidak hanya itu, makanan sahur untuk santri pun dikoordinir oleh jama’ah atas saran Pimpinan, sehingga para santri hampir setiap hari makan sahur berjama’ah untuk shaum Sya’ban.
Satu PR yang masih menjadi cita-cita besar Ustadz Dailami dan belum berhasil diwujudkan 100% adalah keinginannya menjadikan kepulauan Sapeken menjadi “kepulauan syari’ah”; dimana semua masyarakatnya mengamalkan syari’at Islam secara kaffah dan tidak ada lagi rentenir juga praktik-praktik zhalim lainnya dalam berniaga. Untuk urusan kemaksiatan dan kemunkaran sendiri, sudah tidak ditemukan di pulau Sapeken. PR ini sering Ustadz Dailami amanatkan kepada para pemuda untuk bisa mewujudkannya suatu hari nanti seandainya tidak bisa tercapai saat ini. (/NS)